Tahun kontestasi
A
A
A
WAKTU terus berputar dengan segala dinamika kesejarahannya. Banyak hal terjadi sepanjang 2013 yang membuat kita semakin sadar, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan untuk mengurai berbagai persoalan kebangsaan kita hari ini dan ke depan. Sebagai analis komunikasi politik, saya tertarik memberi catatan akhir tahun untuk menjadi refleksi kita jelang tahun menentukan di 2014.
Catatan kritis
Ada tiga hal menarik yang menjadi catatan kritis saya. Pertama, masih lemahnya fungsionalisasi komunikasi politik partai dengan publik internal maupun eksternalnya. Denton dan Woodward pernah mengingatkan dalam bukunya Political Communication in America (1990) bahwa karakteristik komunikasi politik itu harus punya intention (tujuan) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik.
Tetapi, faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukalah semata-mata sumber melainkan juga isi dan tujuan pesannya. Indikator lemahnya komunikasi politik parpol itu terlihat dari kesulitan mereka saat menginisiasi kerja-kerja politik mereka jelang Pemilu. Di internal, betapa sulitnya partai menyusun daftar caleg sementara (DCS) hingga menjadi daftar caleg tetap (DCT).
Seusai penetapan partai peserta Pemilu 2014, partai masih tergopoh-gopoh di awal 2013, padahal ini merupakan pemilu keempat kita sejak reformasi 1998. Kesulitan ini muncul karena secara umum struktur partai di kita belum memiliki mekanisme yang kokoh dalam hal tahapan kaderisasi. Partai kerap melompat, dari proses rekrutmen ke tahap distribusi dan alokasi orang ke jabatan-jabatan publik tanpa melalui proses pembinaan loyalis partai.
Dampaknya ada kesenjangan komunikasi (communication gap) antara partai dengan politisi-politisi yang mewakilinya. Dalam proses komunikasi saat identifikasi, pencarian dan pendistribusian orang, tidak tampak niat baik (good will) dan pemahaman (understanding) partai menangkap sinyal harapan publik yang membutuhkan keseriusan dalam penyusunan daftar caleg mereka.
Komunikasi politik ke publik eksternal pun masih belum serius. Misalnya kerja-kerja di basis pemilih masih bersifat sporadis dan dilakukan hanya jelang pemilu. Sebagai entitas publik harusnya partai bekerja reguler, hadir dan dekat dengan keseharian masyarakat terlebih di kantong-kantong konstituen mereka. Fungsi-fungsi seperti sosialisasi, agregasi kepentingan politik, kontrol dan fungsi lain harusnya optimal dilakukan sepanjang hayat partai tersebut, sehingga partai akan punya ikatan yang kuat dengan konstituennya.
Kedua, di tahun ini bangsa Indonesia benar-benar merasa kehilangan ikon pemimpin nasional yang berdiri di atas semua golongan politik. Presiden SBY di tahun ini telah mereduksi kapasitas kepemimpinannya sendiri dari sosok agung presiden terpilih dengan dukungan 61% suara menjadi ketua umum Demokrat dengan banyak jabatan lain yang melekat padanya. SBY memang menjamin posisinya sebagai ketua umum Demokrat tak akan mengganggu waktunya sebagai Presiden RI.
Benarkah? Praktis sejak SBY menjadi presiden, berbagai persoalan yang melibatkan partai Demokrat mencuat ke ruang publik. Perseteruan antara kubu SBY dengan Anas meski berbalut komunikasi konteks tinggi tetap saja menyesakkan agenda dan psikopolitik SBY. Yang terbaru, SBY sendiri harus membentuk tim hukum dan melakukan somasi kepada bloggeryang antara lain mantan fungsionaris Demokrat dan sekarang merapat ke kubu Anas.
Akhirnya, tindakan SBY ini juga menjadi preseden bagi para menteri di bawahnya. Mereka tetap berkaki ganda! Satu kaki di birokrasi, kaki lainnya sibuk mengurusi partai, dampaknya tahun 2013 kita bisa melihat tidak fokusnya pemerintahan SBY-Boediono. Semua pejabat publik seyogianya perlu merenungkan ulang ucapan presiden pertama Filipina di bawah pendudukan Amerika, Manuel L Quezon (1878-1944), yang mengingatkan agar ”loyalitas terhadap partai berhenti ketika loyalitas terhadap negara dimulai”.
Ucapan ini dikutip ulang oleh Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963) untuk menggarisbawahi perlunya komitmen kenegarawanan seorang pejabat publik. Loyalitas menjaga marwah jabatan publik harus di atas partai dan urusan komersial milik pribadi. Ketiga, semakin masifnya distorsi informasi politik dan hukum di media massa dan media sosial. Media massa dan media sosial menjadi ranah pertarungan para kontestan pemilu sepanjang 2013.
Model diseminasi informasi, propaganda, publisitas dan kampanye marak hadir di media. Tapi yang paling menjengkelkan kita adalah buka-tutup kasus hukum antar kekuatan politik dengan menjadikan media sebagai etalase atau panggung depan informasi manipulatif. Satu kasus korupsi yang melibatkan politisi partai tertentu ditutup dengan kasus lainnya. Gelembung politik kaum elite menjejali ruang publik kita, sehingga kebenaran pun tersamar di mata publik.
Menyambut 2014
Tahun 2014 segera tiba. Kita memiliki agenda besar yang menentukan yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Keduanya menjadi kunci proses demokrasi kita ke depan. Sangat penting bagi bangsa Indonesia, menempatkan Pemilu 2014 dalam perspektif konsolidasi demokrasi bukan semata-mata kontestasi pragmatis. Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation (1999) mengungkapkan, konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.
Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi pemerintahan demokratis. Dengan demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke depan. Krisis legitimasi membawa penyakit bawaan yakni melemahnya kepercayaan dan tergerusnya harapan dalam politik berbasis kekitaan antara elite berkuasa dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Posisi pemilih tentu saja menentukan! Memiliki hak suara akan sangat menentukan partai mana dan capres siapa yang akan memenangi kontestasi? Oleh karenanya strategis jika masyarakat turut berpartisipasi dalam menentukan masa depan Indonesia. Dalam tulisan Bingham, Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence (1982), partisipasi dalam pemilu menjadi salah satu faktor penting penyumbang penampilan politik (political performance) sebuah negara itu bagus atau tidak.
Saatnya pemilu 2014 menjadi pintu gerbang perubahan Indonesia. Modal tiga pemilu sebelumnya di era reformasi harusnya menjadi modal yang cukup untuk mengelola pemilu yang lebih baik. Tren yang berkembang di masyarakat saat ini adalah harapan akan munculnya pemimpin transformatif, yakni sosok yang mampu menggerakkan partisipasi warga masyarakat.
Bukan sosok elitis-birokratis melainkan sosok yang mampu menciptakan langkah ritmis dengan rakyat untuk memperbaiki bangsa ini bersama-sama. Selamat datang tahun kontestasi, semoga Indonesia menjadi lebih baik!
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Catatan kritis
Ada tiga hal menarik yang menjadi catatan kritis saya. Pertama, masih lemahnya fungsionalisasi komunikasi politik partai dengan publik internal maupun eksternalnya. Denton dan Woodward pernah mengingatkan dalam bukunya Political Communication in America (1990) bahwa karakteristik komunikasi politik itu harus punya intention (tujuan) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik.
Tetapi, faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukalah semata-mata sumber melainkan juga isi dan tujuan pesannya. Indikator lemahnya komunikasi politik parpol itu terlihat dari kesulitan mereka saat menginisiasi kerja-kerja politik mereka jelang Pemilu. Di internal, betapa sulitnya partai menyusun daftar caleg sementara (DCS) hingga menjadi daftar caleg tetap (DCT).
Seusai penetapan partai peserta Pemilu 2014, partai masih tergopoh-gopoh di awal 2013, padahal ini merupakan pemilu keempat kita sejak reformasi 1998. Kesulitan ini muncul karena secara umum struktur partai di kita belum memiliki mekanisme yang kokoh dalam hal tahapan kaderisasi. Partai kerap melompat, dari proses rekrutmen ke tahap distribusi dan alokasi orang ke jabatan-jabatan publik tanpa melalui proses pembinaan loyalis partai.
Dampaknya ada kesenjangan komunikasi (communication gap) antara partai dengan politisi-politisi yang mewakilinya. Dalam proses komunikasi saat identifikasi, pencarian dan pendistribusian orang, tidak tampak niat baik (good will) dan pemahaman (understanding) partai menangkap sinyal harapan publik yang membutuhkan keseriusan dalam penyusunan daftar caleg mereka.
Komunikasi politik ke publik eksternal pun masih belum serius. Misalnya kerja-kerja di basis pemilih masih bersifat sporadis dan dilakukan hanya jelang pemilu. Sebagai entitas publik harusnya partai bekerja reguler, hadir dan dekat dengan keseharian masyarakat terlebih di kantong-kantong konstituen mereka. Fungsi-fungsi seperti sosialisasi, agregasi kepentingan politik, kontrol dan fungsi lain harusnya optimal dilakukan sepanjang hayat partai tersebut, sehingga partai akan punya ikatan yang kuat dengan konstituennya.
Kedua, di tahun ini bangsa Indonesia benar-benar merasa kehilangan ikon pemimpin nasional yang berdiri di atas semua golongan politik. Presiden SBY di tahun ini telah mereduksi kapasitas kepemimpinannya sendiri dari sosok agung presiden terpilih dengan dukungan 61% suara menjadi ketua umum Demokrat dengan banyak jabatan lain yang melekat padanya. SBY memang menjamin posisinya sebagai ketua umum Demokrat tak akan mengganggu waktunya sebagai Presiden RI.
Benarkah? Praktis sejak SBY menjadi presiden, berbagai persoalan yang melibatkan partai Demokrat mencuat ke ruang publik. Perseteruan antara kubu SBY dengan Anas meski berbalut komunikasi konteks tinggi tetap saja menyesakkan agenda dan psikopolitik SBY. Yang terbaru, SBY sendiri harus membentuk tim hukum dan melakukan somasi kepada bloggeryang antara lain mantan fungsionaris Demokrat dan sekarang merapat ke kubu Anas.
Akhirnya, tindakan SBY ini juga menjadi preseden bagi para menteri di bawahnya. Mereka tetap berkaki ganda! Satu kaki di birokrasi, kaki lainnya sibuk mengurusi partai, dampaknya tahun 2013 kita bisa melihat tidak fokusnya pemerintahan SBY-Boediono. Semua pejabat publik seyogianya perlu merenungkan ulang ucapan presiden pertama Filipina di bawah pendudukan Amerika, Manuel L Quezon (1878-1944), yang mengingatkan agar ”loyalitas terhadap partai berhenti ketika loyalitas terhadap negara dimulai”.
Ucapan ini dikutip ulang oleh Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963) untuk menggarisbawahi perlunya komitmen kenegarawanan seorang pejabat publik. Loyalitas menjaga marwah jabatan publik harus di atas partai dan urusan komersial milik pribadi. Ketiga, semakin masifnya distorsi informasi politik dan hukum di media massa dan media sosial. Media massa dan media sosial menjadi ranah pertarungan para kontestan pemilu sepanjang 2013.
Model diseminasi informasi, propaganda, publisitas dan kampanye marak hadir di media. Tapi yang paling menjengkelkan kita adalah buka-tutup kasus hukum antar kekuatan politik dengan menjadikan media sebagai etalase atau panggung depan informasi manipulatif. Satu kasus korupsi yang melibatkan politisi partai tertentu ditutup dengan kasus lainnya. Gelembung politik kaum elite menjejali ruang publik kita, sehingga kebenaran pun tersamar di mata publik.
Menyambut 2014
Tahun 2014 segera tiba. Kita memiliki agenda besar yang menentukan yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Keduanya menjadi kunci proses demokrasi kita ke depan. Sangat penting bagi bangsa Indonesia, menempatkan Pemilu 2014 dalam perspektif konsolidasi demokrasi bukan semata-mata kontestasi pragmatis. Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation (1999) mengungkapkan, konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.
Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi pemerintahan demokratis. Dengan demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke depan. Krisis legitimasi membawa penyakit bawaan yakni melemahnya kepercayaan dan tergerusnya harapan dalam politik berbasis kekitaan antara elite berkuasa dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Posisi pemilih tentu saja menentukan! Memiliki hak suara akan sangat menentukan partai mana dan capres siapa yang akan memenangi kontestasi? Oleh karenanya strategis jika masyarakat turut berpartisipasi dalam menentukan masa depan Indonesia. Dalam tulisan Bingham, Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence (1982), partisipasi dalam pemilu menjadi salah satu faktor penting penyumbang penampilan politik (political performance) sebuah negara itu bagus atau tidak.
Saatnya pemilu 2014 menjadi pintu gerbang perubahan Indonesia. Modal tiga pemilu sebelumnya di era reformasi harusnya menjadi modal yang cukup untuk mengelola pemilu yang lebih baik. Tren yang berkembang di masyarakat saat ini adalah harapan akan munculnya pemimpin transformatif, yakni sosok yang mampu menggerakkan partisipasi warga masyarakat.
Bukan sosok elitis-birokratis melainkan sosok yang mampu menciptakan langkah ritmis dengan rakyat untuk memperbaiki bangsa ini bersama-sama. Selamat datang tahun kontestasi, semoga Indonesia menjadi lebih baik!
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(nfl)