Meracik bisnis ketika ekonomi melambat

Selasa, 31 Desember 2013 - 07:10 WIB
Meracik bisnis ketika ekonomi melambat
Meracik bisnis ketika ekonomi melambat
A A A
PERKEMBANGAN bisnis perbankan bagai sulit dibendung meski Bank Indonesia (BI) mengerem pertumbuhan kredit pada kisaran 15–17%.

Salah satu kiatnya adalah menciptakan pertumbuhan model nonorganik, katakanlah, melakukan akuisisi bank lebih kecil. Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita cermati kinerja bank nasional. Statistik Perbankan Indonesia, Oktober 2013 yang terbit pada 13 Desember 2013 mencatat kredit bank umum masih sangat subur 21,91% dari Rp2.483 triliun per Oktober 2012 menjadi Rp3.027 triliun per Oktober 2013, bandingkan dengan laju kredit per Desember 2012 yang mencapai 22,62%.

Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) kalah subur 14,17% dari Rp2.963 triliun menjadi Rp3.383 triliun pada periode yang sama. Pertumbuhan kredit dan DPK itu mengangkat loan to deposit ratio (LDR) dari 83,78% menjadi 89,47%. Angka tersebut tentunya membuat BI senang lantaran LDR bank umum sebagai representasi enam kelompok bank telah mencapai di atas LDR minimal 78%.

Dari enam kelompok bank terdapat Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan LDR 77,80% yang berarti belum mencapai LDR minimal 78% sesuai dengan kebijakan bank sentral. Apa artinya LDR minimal 78%? Artinya, ketika satu bank mampu menghimpun DPK Rp100 triliun, maka bank tersebut wajib mengucurkan kredit minimal Rp78 triliun. Konsekuensinya, BPD mau tak mau wajib membayar tambahan giro wajib minimum (GWM) 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR.

Sungguh BPD pernah mengantongi LDR di atas 78% yakni 78,47% pada Agustus 2013, namun kemudian malah menurun. Lima kelompok bank lainnya telah menunaikan kewajiban dengan memiliki LDR ideal 78-92% yang dipimpin Kelompok Bank Asing dengan LDR tertinggi 118,69% dan kecukupan minimum modal (capital adequacy ratio/CAR) 37,31%. Ingat, kini BI menetapkan LDR berkisar 78-92%.

Akibatnya, bank nasional dengan CAR di atas itu bakal terkena sanksi berupa tambahan GWM 0,2% dari 1% kelebihan LDR. Tetapi kebijakan tersebut menjadi tidak berlaku bagi bank nasional yang mengantongi CAR di atas 14%. Pertumbuhan kredit itu bisa jadi bakal tertekan mengingat BI terus memacu BI Ratehingga kini menyentuh 7,50% sejak 12 November 2013.

Dalam enam bulan terakhir BI Rate sudah naik 175 bps. Padahal inflasi mulai melemah dari 8,79% per akhir Agustus 2013 menjadi 8,40% per September 2013, 8,32% per Oktober dan 8,37% per November 2013. Bahkan, BI pun mengangkat suku bunga lending facility dan deposit facility 25 bps sehingga masing-masing menjadi 7,5% dan 5,75%. Lending facility merupakan penyediaan dana rupiah dari BI kepada bank nasional, sedangkan deposit facility adalah penempatan dana rupiah bank nasional di BI.

Kebijakan itu bertujuan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan dan pertumbuhan kredit bank nasional. Kini defisit transaksi berjalan mencapai USD9,8 miliar atau 4,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) per kuartal II 2013 dan diperkirakan akan menipis menjadi USD8,4 miliar atau 3,9% terhadap PDB per kuartal III 2013. Angka itu masih di bawah perkiraan BI 3,4-3,5% dari PDB. Sementara itu, defisit Neraca Pembayaran Indonesia mencapai USD2,5 miliar.

Langkah strategis
Oleh karena itu, boleh dikatakan 2014 merupakan tahun untuk berbenah diri bagi bank nasional. Dengan bahasa lebih bening, bank nasional harus mengembangkan bisnis di tengah perlambatan ekonomi yang berujung pada perlambatan kredit. Lantas, bagaimana meracik bisnis di tengah kondisi demikian? Pertama, mengembangkan pertumbuhan nonorganik.

Tengok saja, Bank BRI telah memeluk mesra Bank Agroniaga Tbk (Bank Agro) dan Bank Mandiri mengakuisisi Bank Sinar Harapan, Bali. Pada 2014, Bank Mandiri akan mengakuisisi bank dengan aset lebih daripada Rp1 triliun. Demikian pula Bank BRI. Sementara itu, BCA sedang menunggu izin BI untuk mendirikan BCA Life (Harian Kontan, 2 Desember 2013). Bagaimana BI mengatur hal itu?

Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 15/2/ DPNP, tanggal 4 Februari 2013 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia, BI telah menetapkan penerapan aturan itu dengan beberapa cara. Pertama, merger atau konsolidasi atas bank-bank yang dikendalikannya. Kedua, membentuk perusahaan induk di bidang perbankan. Ketiga, membentuk fungsi holding.

Pemegang Saham Pengendali (PSP) yang memilih melakukan merger atau konsolidasi, BI memberikan insentif berupa pelonggaran sementara pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM); perpanjangan waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); kemudahan pembukaan kantor cabang; dan/ atau pelonggaran sementara penerapan Good Corporate Governance (GCG).

Akuisisi yang dimaksud hanya dapat dilakukan dalam satu kesatuan proses tanpa jeda dengan merger atau konsolidasi. Bagi PSP yang telah menjadi pengendali pada lebih dari satu bank, rencana merger atau konsolidasi disampaikan kepada BI paling lama tiga bulan sejak PBI. Bagi PSP yang akan melakukan akuisisi bank sehingga menjadi pengendali pada lebih dari satu bank setelah PBI tersebut, rencana merger atau konsolidasi disampaikan kepada BI pada saat mengajukan permohonan izin akuisisi.

Oleh karena itu, bank nasional wajib mencermati aturan itu. Kedua, melakukan uji tuntas (due diligence). Sudah barang tentu jauh sebelumnya, bank nasional wajib melakukan uji tuntas terhadap bank yang akan diakuisisi. Hal ini bertujuan akhir untuk mengetahui lebih mendalam tentang kinerja terutama kinerja keuangan (financial performance) suatu bank. Siapa tau tersimpan kredit busuk di sana.

Namun sejatinya bukan hanya itu. Uji tuntas juga dimaksudkan untuk mengetahui jeroan misalnya tentang kepatuhan (compliance) suatu bank terhadap peraturan perundang-undangan. Kepatuhan pada Undang-Undang Perbankan, Peraturan dan Surat Edaran BI, dan bahkan peraturan internal sendiri. Ketiga, menyongsong masa depan cerah. Mengapa beberapa bank melakukan pertumbuhan nonorganik? Pertumbuhan nonorganik merupakan pengembangan sayap bisnis.

Langkah ini tentu saja lebih strategis untuk menambah basis nasabah (customer base) daripada membuka sendiri kantor baru. Tidak berhenti di situ, langkah itu juga mampu mengembangkan skala ekonomi dan saluran distribusi. Inisemua merupakan jari-jari bisnis dalam merengkuh dan sekaligus memanjakan nasabah potensial. Apa manfaatnya ke depan? Untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah.

Artinya, ketika ekonomi mulai bersinar terang kembali, bank sudah lebih siap untuk mengembangkan bisnis dan melakukan ekspansi kredit lebih besar lagi. Keempat, mengasah penerapan manajemen risiko. Bank nasional juga dituntut untuk terus mengasah penerapan manajemen risiko. Bagaimana seninya? Terus-menerus memperbarui (update) sistem dan prosedur (system operating procedures/ SOP) dan memperkaya ilmu pengetahuan pegawai tentang manajemen risiko dengan mengikuti sertifikasi manajemen risiko.

Oleh sebab itu, manajemen risiko harus diasah supaya lebih tajam untuk menepis semua potensi risiko kredit, operasional, pasar dan likuiditas. Manajemen risiko itu sejatinya bukan hiasan! Mengapa? Karena manajemen risiko itu merupakan tameng dalam menangkis aneka potensi risiko bagi bank dalam berbisnis ria.

Dengan bekal aneka langkah strategis demikian, kelak bank nasional sudah lebih sigap bersaing dalam melakukan bisnis. Sungguh!

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4536 seconds (0.1#10.140)