Film : Soekarno, FFI, juga TVRI

Rabu, 25 Desember 2013 - 06:57 WIB
Film : Soekarno, FFI,...
Film : Soekarno, FFI, juga TVRI
A A A
FILM Soekarno banyak mengundang perhatian penonton. Tapi, sekaligus juga tuntut-menuntut. Dulu pun film Sang Pencerahmenjadi gerah karena tidak lolos seleksi. Sebelumnya lagi, bahkan Piala Citra dikembalikan.

Di negeri ini persoalan utama bukan soal kreativitas dan kemasan industrial, melainkan hal yang tidak jelas—atau dibuat tidak jelas. Ada baiknya kita melihat lebih seksama, sambil memperbaiki ihwal kecil yang menyeret pada kekisruhan. Kalau film Indonesia diibaratkan perempuan, kini ia sedang melakukan poliandri. Suami pertama Kemendikbud, suami kedua Kemenparekraf. Kedua suami bisa berlomba memanja, bisa saling cemburu buta. Film Indonesia masih dianggap madu: berkhasiat bagian dari seni sekaligus industri. Tapi dimadu membuat malu, pilu, dan tak menentu.

Digital
Kisah poliandri perfilman terlihat ada dua pesta bersama, dekat waktunya saat menghabiskan anggaran yaitu ada Apresiasi Film Indonesia dan Festival Film Indonesia. Dua-duanya kegiatan model pesta dengan lampu terang dan bau minyak wangi dan adibusana. Layaknya pesta-pesta ulang tahun pernikahan dengan berbagai pertunjukkan yang tak ada kaitan dengan dunia film, seperti upacara yang sama di desa dengan menampilkan dangdut koplo, yang lirik lagunya bojo loro.

Persoalan perfilman kita masih berkutat jumlah produksi masih naik-turun jauh di bawah 50 judul per tahun, jumlah gedung bioskop yang makin berkurang dan monopoli makin kuat, tiadanya kemudahan berproduksi, serta tetek bengek— yang banyak bengeknya, soal izin produksi. Para sineas ibarat kreator tunggal yang ditinggal dan ditanggalkan pemerintah, berjuang sendiri menjual tiket tempat duduk dan dituntut berkreasi dalam bahasa seni. Maka itu, sungguh ajaib bahwa tahun ini sekitar sembilan judul cukup membanggakan dan layak adu festival ke mancanegara. Ajaib ibarat anak tiri yang diabaikan dua bapak, mampu berprestasi dengan kemampuan sendiri.

Dalam posisi dan kondisi sungguh layak dan sepantasnya, ada rumusan dan atau pendekatan yang memungkinkan terobosan ke dunia industri yang menjadi maqom-nya. Baik yang bersifat makro dalam keluasan dan kemudahan berproduksi atau ihwal yang sederhana dan bersifat teknis. Misalnya saja kini di gedung bioskop memakai sistem digital, bukan lagi gulungan pita.

Dengan persyaratan ini, hanya akan dimonopoli gedung bioskop yang mempunyai peralatan itu, sementara gedung bioskop kelas bawah, atau misbar, gerimis bubar, mati dengan sendirinya tanpa gerimis atau hujan atau angin. Dalam arti tertentu kelompok tertentu pula, penonton elite tertentu yang mempunyai akses bisa menonton. Kedaulatan dalam kebudayaan dengan mudah dikalahkan oleh peranti yang dimiliki, dimainkan para kapitalis.

Dipecat
Dalam penjurian kini tak ada pembagian dewan juri seleksi dan juri akhir. Yang kemarin itu membuahkan saling pecat. Dewan juri seleksi merontokkan film Sang Pencerah dan dewan juri akhir memungutnya. Lalu terjadilah pecat-memecat. Persoalan menjadi gerah dan biasanya keputusan mana pun hanya akan memecah belah. Sebelumnya bahkan Piala Citra yang dimenangkan dikembalikan. Astaga, Jero Wacik, menteri yang membawahi, menerimanya dengan terbuka. Yang membuat para sineas berbakat kuat seperti Mira Lesmana dan kelompoknya menyatakan talak dan ogah mengikutsertakan karyanya sampai sekarang.

Sekarang ini pun, dari 15 unsur yang difestivalkan dan berhak menerima Piala Citra, ada unsur penulis cerita asli. Pada awal tahun 70-an, unsur ini dimunculkan dengan harapan mengundang penulis cerita khusus untuk film karena saat itu masih langka. Kini cerita bisa datang dari mana saja—terutama dari buku-buku laris, dari komik, dari jenis curhat. Yang ternyata meneruskan tradisi laris. Ada kesinambungan proses kreatif. Sungguh tak masuk akal jika unsur ini tidak diperhitungkan sebagai kekuatan sebuah produksi film.

Cerita yang baik adalah baik, dan laris, apakah ditulis khusus untuk film ataukah dari buku yang pernah terbit, atau cerpen, atau bahkan bait sebuah puisi. Hal kedua yang terasa mengganggu adalah siaran FFI yang dimonopoli SCTV. Dengan monopoli siaran pada satu stasiun siar—yang mana pun, membuat jarak dengan stasiun lain yang merasa bersaing dan tidak mengakui keunggulannya.

Pada saat yangsama, informasiyangdiberikan kecil kemungkinan diberitakan atau bahkan diangkat sebagai tema. Perseteruan antar stasiun penyiaran di Indonesia memang parah dan salah arah, merasa saling terancam. Lihat saja, menara relay untuk bersiaran, masingmasing perlu membangun sendiri dengan biaya dan perawatan tinggi yang akhirnya dibebankan kepada pemirsa.

Yang dipersaingkan harusnya program, konten, dan bukan besi penyangga. Inilah yang saya istilahkan salah kaprah, termasuk pengurangan durasi mengungkapkan produser film yang dihilangkan karena menghemat durasi.

Dipersatukan
Padahal jalan keluarnya sangat sederhana. Kita memiliki TVRI, yang adalah televisi layanan publik, yang bukan saingan stasiun siar mana pun, yang memungkinkan kerja sama. Sekaligus mengembalikan peran utama kebersamaan karena huruf I dalam FFI, AFI, TVRI, artinya Indonesia. Dengan pendekatan yang baik dan benar dan peran utama, kita juga akan melihat bahwa istilah ”TV Pemilu” stasiun siar selain TVRI adalah tidak benar dan tidak halal. Karena peran utama televisi layananpublikadalahmenyiarkan keanekaragaman budaya, mengedukasi, dan informasi mengenai pemilihan umum.

Bahkan di negara televisi seperti Amerika Serikat atau Inggris— dan lain-lain, peran itu masih berlaku dan diteruskan. Paling tidak ada netralitas, ada suara tersuarakan dari partai-partai yang tak memiliki dan tak mampu blocking time, membayar materi siaran dan bea penyiaran. Kalau saja semua unsur, semua kekuatan, semua pendekatan bisa dipersatukan, film Indonesia bisa berjaya.

Karena dalam karut-marut pun tak bangkrut. Ini yang agaknya luput dari perhatian ketika kita hanya berpikir soal pesta dan piala. Film Indonesia tak perlu berpoliandri, cukup dengan banyak kekasih yang tak merasa berhak menguasai dan memonopoli.

ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5302 seconds (0.1#10.140)