Rantai korupsi daerah-pusat

Kamis, 19 Desember 2013 - 08:10 WIB
Rantai korupsi daerah-pusat
Rantai korupsi daerah-pusat
A A A
PUBLIK bangsa ini kembali dikejutkan oleh perilaku menjijikkan seorang kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lombok Tengah (NTB) yang ditangkap tangan oleh penyidik KPK di sebuah hotel di Pantai Senggigi (14/12/2013). Kajari yang tertangkap tangan itu, Subri SH, sedang terlibat transaksi dengan seorang pengusaha (bernama Lusita) terkait dengan kasus pemalsuan sertifikat tanah di daerah tempat tugasnya itu.

Tertangkapnya Subri itu jelas akan kian memperkotor wajah jajaran kejaksaan di negeri ini, di mana sebelumnya memang sudah ada sejumlah oknumnya yang sudah menghuni hotel prodeo akibat perilaku korup dan atau jadi mafia kasus. Ini sungguh sangat memprihatinkan. Soalnya, salah satu tugas utama jajaran kejaksaan adalah memberantas korupsi dengan instrumen lengkap sampai di daerah-daerah, yang sebenarnya diharapkan berkontribusi signifikan untuk menciptakan pemerintahan.

Namun, kecenderungannya justru mereka sendiri yang menjadi pelakunya. Fenomena faktual seperti ini sekaligus menambah berat tugas pihak KPK. Soalnya, dengan keterbuktian perilaku korup sebagian aparat kejaksaan itu, menjadikan KPK “harus “memata-matai, mengawasi dan mencurigai para pejabat kejaksaan” (atau juga barangkali aparat penegak hukum lainnya seperti dari kepolisian dan para hakim yang bertugas mengadili kasus korupsi). Celakanya, kalau pihak kejaksaan “merasa dipermalukan oleh KPK”, suasana ketegangan antar lembaga pun bukan mustahil terjadi—seperti yang pernah terjadi pada kasus Susno Duadji dan Djoko Susilo dari jajaran kepolisian.

Fenomena “memproyekkan” kasus atau korupsi yang dilakukan oleh para (oknum) aparat penegak hukum termasuk dari jajaran kejaksaan, sebenarnya memang bukan rahasia lagi. Bahkan, belakangan ini sudah muncul kecurigaan bahwa kasus korupsi di berbagai daerah yang merajalela, dengan sengaja didiamkan oleh oknum aparat. Catat saja, misalnya, kasus korupsi dalam bangunan dinasti di Banten yang diduga sudah berlangsung lama, namun nanti KPK turun tangan baru tertangkap sebagian pelakunya, termasuk menetapkan gubernurnya, Ratu Atut Chosiyah, sebagai tersangka (17/12/2013).

Padahal di seluruh daerah otonom di wilayah itu ada instansi kejaksaan dan kepolisian, namun juga menjalankan tugas-tugas mereka secara efektif. Ini artinya, kemungkinan pihak kejaksaan dan kepolisian masih terus membiarkan praktik korupsi di Banten itu, kendati sudah lama diketahui atau tercium baunya sebagai terindikasi korupsi.

Pembiaran seperti itu bukan mustahil merupakan watak dari penegak hukum yang terjadi di berbagai daerah lainnya di Indonesia, dengan salah satu dari motif: (1) pihak yang “terindikasi korupsi” selama ini dengan mudah bisa menjinakkan aparat penegak hukum di daerah itu, dan atau (2) para pejabat penegak hukum akan menjadikan “pihak terindikasi korupsi” itu sebagai “ATM”, di mana setiap saat bisa diuangkan. Pihak koruptor atau yang bermasalah pun biasanya bersikap “kooperatif “ dengan para penegak hukum seperti itu. Jika tidak, maka akan bisa tiba-tiba diproses secara hukum lagi.

Para pimpinan lembaga penegak hukum yang mendapat penugasan di daerah dalam waktu yang tidak lama (seperti kajari, kajati, kapolda, kapolres, dan atau ketua pengadilan), biasanya menjadi figur-figur utama yang diupayakan untuk selalu didekati oleh para pejabat korup dan pengusaha hitam.

Dan biasanya, memang, terjadi pertemuan atau persamaan kepentingan: sama-sama perlu akumulasi harta dan oleh karena itu saling mengamankan atau “tahu sama tahu” (‘TST’). Akibat perilaku pejabat (aparat) penegak hukum seperti itulah, diakui atau tidak, penanganan kasus-kasus korupsi utamanya di daerah jarang yang secara serius ditangani. Kalaupun ditangani, maka (1) proses-prosesnya sangat lambat, yang diduga dicoba “dikuras ATM”-nya terlebih dahulu, lalu setelah itu digiring ke meja pengadilan tindak pidana korupsi.

Dan atau, (2) jika berhasil saling mengamankan hingga berakhirnya masa tugas pejabat penegak hukum itu (alias dimutasi ke daerah lain atau ke Jakarta), maka para pihak koruptor itu akan “selamat”, kasusnya akan dipetieskan. Tetapi dalam kasus korupsi Ratu Atut dan sebagian keluarganya di Banten, barangkali langsung “tercium” oleh pihak KPK, sehingga pihak kejaksaan atau pun kepolisian merasa kecolongan atau tak mampu mengamankannya lagi.

Setidaknya, KPK hari-hari ini telah menunjukkan kemandulan pihak kejaksaan dan kepolisian dalam memberantas korupsi di daerah. Atau bahkan, pada tingkat tertentu, KPK sedang mempermalukan kedua lembaga yang juga bertugas memberantas korupsi yang masing-masing memiliki instrumen di seluruh daerah itu—akibat dari watak “kooperatif dan kebagian”.

Pertanyaannya, apakah fenomena adanya “pemroyekan” kasus korupsi di daerah itu tidak diketahui oleh pimpinan pejabat penegak hukum di Jakarta?

Kalau ada yang menjawab “bohong jika tidak diketahui”, mungkin dianggap sudah menuduh, dan barangkali pula akan segera dipersoalkan secara hukum. Namun jika dikatakan “pimpinan mereka di Jakarta tidak tahu menahu”, yang bersangkutan tidak perlu marah bila disebut “tidak pantas” jadi pemimpin dari suatu lembaga penegakan hukum di negeri ini. Artikel ini tentu saja tak ingin memastikan benar salahnya jawaban atas pertanyaan di atas, melainkan lebih mencoba memberi analisis secara hipotetis, dengan harapan kelak bisa diuji di lapangan.

Ada dua hipotesis utama terkait dengan rantai korupsi atau mafia kasus di daerah itu. Hipotesis pertama, bahwa figur-figur pejabat penegak hukum yang ditugaskan di daerah, untuk sebagiannya, barangkali sudah memiliki keinginan awal untuk memanfaatkan waktu dalam mengakumulasi harta dari kasuskasus korupsi atau pihak-pihak yang bermasalah dan memerlukan penyelesaian hukum. Sehingga oleh karena itu, semakin banyak kasus korupsi atau masalah yang terkait dengan kepentingan ekonomi dan bisnis di daerah, maka akan semakin digandrungi juga oleh para pejabat penegak hukum.

Maka tidak heran, jika ada isu bahwa sejak awal proses penempatan di suatu daerah “yang potensial untuk dijadikan ATM”, maka akan kian signifikan pula dana awal yang akan disetorkan ke pihak pejabat atasan yang berkewenangan menempatkannya. Hipotesis kedua, bahwa pihak atasan penegak hukum di Jakarta yang cenderung “tutup mata” terhadap perilaku aparatnya di daerah, patut juga dicurigai sebagai konsekuensi logis dari adanya “setoran yang berjenjang dari bawah ke atas”.

Dengan kata lain, pihak pejabat penegak hukum yang ditempatkan di daerah sebenarnya hanyalah merupakan bagian dari perpanjangan atasan untuk menghimpun atau menghisap sumber daya dari bawah. Maka tidak heran jika (1) para penegak hukum baik yang bertugas di daerah, apalagi jajaran pimpinan di Jakarta, terus saja menikmati hidup mewah, di mana kasus Kajari Subri itu hanya mengalami nasib nahas saja, dan (2) korupsi di daerah terus saja menggurita, dengan para pejabatnya yang kaya raya melampaui batas-batas kewajaran.

Semua ini, tentu merupakan bagian dari kegagalan pimpinan lembaga penegak hukum di luar KPK, sekaligus merupakan bagian dari kealpaan Presiden SBY yang tak tampil sebagai komandan pemberantasan korupsi— pengingkaran terhadap janji sendiri. Sementara KPK sudah pasti tak mampu menangani merajalelanya korupsi di berbagai daerah di Indonesia. *) Artikel ini pandangan pribadi

LAODE IDA
Wakil Ketua DPD RI
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6676 seconds (0.1#10.140)