Revisi UU Advokat, seriuskah? kebebasan berprofesi atau kebebasan OA?

Sabtu, 14 Desember 2013 - 10:14 WIB
Revisi UU Advokat, seriuskah?...
Revisi UU Advokat, seriuskah? kebebasan berprofesi atau kebebasan OA?
A A A
SENIN, 25 November yang lalu, Komisi III DPR RI terkesan cukup serius membahas revisi UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 (UUA). Seharian penuh sejak pagi sampai malam hari digelar rapat dengar pendapat umum (RDPU).

Wakil-wakil dari belasan organisasi advokat (OA) beserta anggotanya dimintai pendapat. Ada giliran pagi, siang, ataupun malam. Tugas ini seakan mengejar target waktu yang tinggal beberapa hari lagi, diharapkan tuntas sebelum 21 Desember 2013 karena jatuh tempo masa reses DPR. Sedangkan awal Januari 2014 sudah dimulai masa kampanye legislatif yang puncaknya pada Pemilu 7 April 2014, sangat menentukan diperpanjang dan tidak status legislator mereka.

Kondisi ini konsekuensi logis karena DPR telah menyatakan hak inisiatifnya untuk merevisi UUA. RDPU ini terkesan cukup penting karena dalam merevisi UUA, DPR tidak dibekali dengan “naskah akademis” sebagaimana selama ini dilakukan pemerintah sebelum RUU itu diajukan kepada DPR. Mungkin RDPU dianggap sebagai pengganti naskah akademis.

Seorang anggota Komisi III mengatakan, DPR tidak cukup anggaran untuk pembuatan naskah akademis yang biayanya cukup besar dan makan waktu lama, jadi mohon dimaklumi jika hasil revisi tersebut seperti apa nanti. Penyerapan aspirasi rakyat sudah kami lakukan. Dalam kondisi normal, semestinya setiap pasal maupun ayat pada UU tidak muncul begitu saja, melainkan harus diuji dan dikaji mendalam lebih dulu dalam naskah akademis sehingga harus jelas dasar filosofis, historis, dan juridisnya.

Isu sentral dari revisi UUA ini adalah menggeser wadah tunggal pada Pasal 28 ayat (1) UUA yang dianggap sebagai kendala dari singlebar harus menjadi multibar. Selama ini Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang memosisikan diri sebagai wadah tunggal seakan mendapat tempat dan diakui oleh negara.

Karena 24.000 advokat yang direkrutnya sejak 2005-2013 mendapat BAS (berita acara sumpah) dari pengadilan tinggi (PT) setempat (Pasal 4 UUA) dan tidak terjegal beracara di pengadilan. Sedangkan belasan ribu advokat rekrutmen Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang juga mengklaim sebagai wadah tunggal dan beberapa OA lain yang pernah melakukan rekrutmen advokat mengalami hal yang sebaliknya.

Atas kondisi itu, mereka katakan ada kekisruhan antaradvokat dan harus segera diselesaikan. Padahal kenyataannya belum tentu demikian. Alasan revisi sangat sederhana bahwa kebebasan berserikat yang dijamin oleh Pasal 28 E UUD’45 itu harus diakomodasi, termasuk pemerataan kesempatan merekrut advokat oleh OA selain Peradi.

Sedangkan untuk mem-backup konsep multibar yang diusung diperlukan pula semacam lembaga Dewan Advokat Nasional (DAN) yang punya otoritas menentukan bisa dan tidak suatu OA baru didirikan agar ada filter pertumbuhan OA ke depan. Para advokat senior tahu persis kebebasan dan kemandirian berprofesi itu sangat dibutuhkan. Bukan untuk kebebasan OA yang selama ini cenderung disalahgunakan para elitenya.

Mereka cenderung diam agar terhindar dari berkonflik yang kontra produktif. Eksistensi profesi advokat itu sangat penting untuk mengimbangi kebebasan dan kemandirian majelis hakim dalam memutus suatu perkara (konsideran UUA). Dengan begitu, emansipasi kesejajaran advokat dengan tiga pilar penegak hukum lain yaitu polisi, jaksa, dan hakim harus riil terwujud.

Kenyataannya advokat sebagai penegak hukum (Pasal 6 UUA) sering dilihat sebelah mata oleh penegak hukum lain yang punya privilese kekuasaan. Tetapi, dalam draf revisi UUA tidak tercermin penguatan terhadap profesi advokat itu sendiri, melainkan lebih cenderung memperkuat kebebasan OA dalam merekrut advokat baru, sebagaimana usulan awal pengusung revisi yang tidak mendapat justifikasi selama ini melakukan rekrutmen advokat baru.

Khawatir kehilangan makna
Selama ini secara kasatmata banyak OA yang begitu bebas menafsirkan UU. Sengaja melanggar dan tidak patuh pada UU. Eksistensi Komisi Pengawas Advokat (KPA) yang semestinya bertugas mengawasi advokat sehari-hari (Pasal 13 UUA) malah tidak efektif. Bahkan ada OA yang tidak membentuk KPA sama sekali.

Dalam penyelenggaraan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) OA tidak memedomani Pasal 67 UU Diknas No 20 Tahun 2003 yang ancaman hukumannya 10 tahun penjara dan denda satu miliar rupiah. Tapi, tidak disentuh hukum. Mereka mendahulukan ujian profesi (UCA) sebelum peserta mengikuti PKPA.

Passing grade diturunkan jauh di bawah standar agar peserta gampang lulus tanpa mengulang, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk berlomba-lomba menjadi advokat. Bahkan ada OA menyelenggarakan pendidikan khusus untuk calon asisten advokat yang akan ditempatkan di posbakum (berdasarkan UU No 16 Tahun 2011) selama +/- 3 hari, tetapi para pesertanya diberikan dua kartu sekaligus, kartu posbakum dan kartu advokat.

Proses magang kerja riil dua tahun bukan syarat mutlak, melainkan bisa digantikan dengan surat keterangan magang dari kantor advokat senior. Rata-rata OA tidak melaporkan advokat baru ke Kemenkumham RI dan MA RI (Pasal 3 UUA), seolah eksistensi mereka tidak diketahui negara. Semua kebebasan ini terkesan kebablasan dan cenderung berbau komoditas.

OA seolah berhasil menghipnotis masyarakat dengan menawarkan lapangan kerja baru yang berjudul advokat berpredikat “officium nobile” dianggap cukup menjanjikan masa depan. Proses rekrutmen seperti itu berbeda jauh dengan cara rekrutmen dokter, akuntan publik, notaris, dan sebagainya, yang cukup ketat dan terkontrol serta sulit untuk disiasati.

Rawannya malapraktik dan pelanggaran kode etik sudah bisa diperkirakan. Bisa jadi akan menimbulkan masalah hukum sampai tujuh turunan bagi si klien. Maka tidak heran jika seorang mantan hakim agung berkomentar “apakah kita ini akan kembali ke era pokrol bambu lagi.” Jika revisi UUA ini terjadi dan tidak berpihak pada penguatan dan emansipasi profesi advokat, dikhawatirkan akan menambah runyam karut-marut penegakan hukum di Indonesia. Revisi UUA ini akan kehilangan maknanya.

Komunikasi politik
Pada sesi siang RDPU giliran Peradi, HAPI, dan Ikadin. Tiga organisasi ini cenderung menolak revisi UUA atau setidaknya ditunda sampai beberapa waktu kemudian setelah ada perubahan KUHP dan KUHAP. Karena lebih urgen dan harus diprioritaskan. Selain berbau produk kolonial juga tidak cocok lagi dengan reformasi Indonesia.

Lagi pula menyangkut harkat hidup orang banyak ratusan juta jiwa bangsa Indonesia. Sedangkan kepentingan komunitas advokat hanya puluhan ribu saja. Menanggapi masukan peserta RDP, seorang anggota Komisi III yang juga mantan advokat pertama-tama sambil berseloroh menyampaikan terima kasihnya karena kartu Peradinya sudah diperpanjang.

Dia mengatakan, saat ini usulan revisi UUA sudah sampai di ranah politis yang proses dan keputusannya juga secara politis dengan memperhatikan asas demokratis. Jika di ruangan RDPU ini ada lima legislator mantan advokat yang dianggap mewakili lima dari sembilan fraksi adalah berasal dari Peradi. Nah, apalagi yang teman-teman Peradi ragukan?

Yang penting komunikasi politiknya. Jika tidak bisa melobi ketua fraksi, lobilah ketua umum partainya. Apakah Peradi tidak punya pelobi politik? Itulah sekilas percakapan menarik saat RDPU pada hari itu. Di luar ruang RDPU, para advokat ramai membicarakan keputusan politik yang bakal diambil DPR. Revisi atau menundanya karena suatu keputusan politik sangat sulit ditebak.

Tiada teman yang abadi, melainkan kepentingan yang abadi. Atau sinyal komunikasi politik itu sengaja dilontarkan untuk sekadar menguji kepekaan OA agar bisa berbagi pula dengan pungutan dana masyarakat dari rekrutmen advokat yang pertanggungjawabannya tidak teraudit, bahkan cenderung tidak jelas.

Sedangkan pungutan tersebut mulai dari proses UCA sampai diperoleh KTA mencapai Rp9 juta per orang. Atau RDPU ini hanya sekadar menyampaikan pesan bahwa DPR sudah melaksanakan hak inisiatifnya.

Karena keterbatasan waktu dan skala prioritas pekerjaan, revisi UUA terpaksa ditunda pada periode berikutnya. Hak inisiatif merevisi UUA ini sesuatu yang seriuskah atau hanya sebagai kelanjutan wacana saja. Mari kita tunggu realisasinya.

MUHAMMAD YUNTRI
Advokat, Penggagas Indonesia Advokat Watch Unhan:
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0545 seconds (0.1#10.140)