Jangan biarkan KAI melakukannya sendiri
A
A
A
SALAH satu kolega saya, petinggi sebuah perusahaan keuangan papan atas di Jakarta, dengan bangga bertutur, dia selalu pergi dan pulang kantor menggunakan kereta.
Dia tinggal di Bintaro. Baginya pergi-pulang dengan kereta merupakan pilihan paling rasional. Katanya, “Bayangkan kalau memakai mobil pribadi, saya mungkin harus menghabiskan waktu dua jam lebih di perjalanan. Dengan kereta, cukup 30 menit.” Di Jakarta saat ini kalau Anda bisa pergi dan pulang kantor masing-masing dalam waktu 30 menit, bagi saya, itu sebuah kemewahan. Saya saja iri mendengarnya. Itu kemewahan yang belum bisa saya nikmati.
Saya mengamati kini semakin banyak orang yang seperti kolega saya tadi. Mereka memarkir mobilnya di stasiun-stasiun kereta dan melanjutkan perjalanannya dengan kereta. Ada faktor lain yang menyebabkan mereka beralih menggunakan kereta. Selain menghemat waktu, kereta-kereta juga semakin nyaman. Bangkunya rapi. Bersih. AC-nya juga sejuk.
Lalu, dari sisi biaya juga jauh lebih hemat ketimbang harus memakai kendaraan pribadi. Pekan lalu saya membaca media yang menyajikan liputan tentang sensasi berwisata dengan kereta. Sekelompok ibu-ibu berangkat dari Jakarta ke Cirebon atau kota-kota lain di Jawa Tengah dengan kereta. Mereka mengunjungi sentra-sentra batik atau wisata kuliner lainnya.
Lalu, kembali lagi ke Jakarta dengan kereta. Bagi ibu-ibu tersebut, bepergian dengan kereta menjadi ajang bernostalgia sebagaimana pernah mereka lakukan semasa remaja. Saya kira “kemewahan” yang dinikmati kolega saya serta ibu-ibu tadi merupakan buah dari transformasi yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (KAI) selama ini. Bepergian dengan kereta kini menjadi semakin menyenangkan.
Di Negara-negara maju
Kereta menjadi pilihan utama masyarakat saat mereka harus bepergian dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Di sana kereta menjadi backbone transportasi darat. Kita mestinya meniru konsep mereka. Kita harus menjadikan kereta sebagai backbone transportasi darat di Indonesia. Namun, untuk mewujudkan gagasan tersebut kita tak bisa menyerahkan begitu saja urusannya ke KAI.
Malah sebagian besar pekerjaan harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Untuk menjadikan kereta sebagai backbone, kuncinya adalah ketersediaan jaringan rel. Di banyak negara maju, membangun jaringan rel kereta adalah tugas pemerintah, bukan perusahaan kereta seperti KAI—meski Dirut KAI Ignasius Jonan menyatakan siap jika KAI memang ditugasi untuk itu.
Sebab, masalah utama dalam membangun rel kereta adalah pengadaan lahan dan masalah pengadaan lahan harus melibatkan banyak pemerintah daerah. Maka, itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sayangnya selama ini kita membiarkan KAI berjuang sendirian. Ketika sekelompok orang memblokade lintasan kereta, KAI-lah yang harus berjuang mengusir mereka.
Ketika para tunawisma membangun bedeng-bedeng liar di sepanjang lintasan kereta, KAI jugalah yang harus membongkarnya. Ketika para pedagang asongan leluasa keluar masuk stasiun sehingga membuat stasiun menjadi tidak tertib dan terkesan kumuh, KAI-lah yang harus menertibkannya. Ketika di sejumlah perlintasan kereta terjadi kecelakaan, KAI-lah yang seakan-akan harus bertanggung jawab.
Ignasius Jonan bercerita kepada saya, di seluruh Indonesia ada 5.200 lintasan—dengan 4.953 di antaranya merupakan lintasan resmi. Jadi, ada 607 lintasan yang tidak resmi dan ini menjadi ajang para pemungut “pajak lintasan” liar atau tempat bersabung nyawa. Lalu dari semua lintasan resmi, ternyata sebagian besar atau 3.419 lintasan tidak memiliki penjaga.
Di titik-titik inilah nyawa dipertaruhkan dengan harga yang sama sekali tidak layak. Murah, terlalu murah. Kini, terjadi Tragedi Bintaro II—tragedi pertama terjadi pada 19 Oktober 1987 dan menewaskan 156 orang.
Dua tragedi itu mestinya lebih dari cukup untuk menyadarkan kita dan pemerintah agar semakin bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kereta sebagai backbone transportasi darat di Indonesia. Semoga.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Dia tinggal di Bintaro. Baginya pergi-pulang dengan kereta merupakan pilihan paling rasional. Katanya, “Bayangkan kalau memakai mobil pribadi, saya mungkin harus menghabiskan waktu dua jam lebih di perjalanan. Dengan kereta, cukup 30 menit.” Di Jakarta saat ini kalau Anda bisa pergi dan pulang kantor masing-masing dalam waktu 30 menit, bagi saya, itu sebuah kemewahan. Saya saja iri mendengarnya. Itu kemewahan yang belum bisa saya nikmati.
Saya mengamati kini semakin banyak orang yang seperti kolega saya tadi. Mereka memarkir mobilnya di stasiun-stasiun kereta dan melanjutkan perjalanannya dengan kereta. Ada faktor lain yang menyebabkan mereka beralih menggunakan kereta. Selain menghemat waktu, kereta-kereta juga semakin nyaman. Bangkunya rapi. Bersih. AC-nya juga sejuk.
Lalu, dari sisi biaya juga jauh lebih hemat ketimbang harus memakai kendaraan pribadi. Pekan lalu saya membaca media yang menyajikan liputan tentang sensasi berwisata dengan kereta. Sekelompok ibu-ibu berangkat dari Jakarta ke Cirebon atau kota-kota lain di Jawa Tengah dengan kereta. Mereka mengunjungi sentra-sentra batik atau wisata kuliner lainnya.
Lalu, kembali lagi ke Jakarta dengan kereta. Bagi ibu-ibu tersebut, bepergian dengan kereta menjadi ajang bernostalgia sebagaimana pernah mereka lakukan semasa remaja. Saya kira “kemewahan” yang dinikmati kolega saya serta ibu-ibu tadi merupakan buah dari transformasi yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (KAI) selama ini. Bepergian dengan kereta kini menjadi semakin menyenangkan.
Di Negara-negara maju
Kereta menjadi pilihan utama masyarakat saat mereka harus bepergian dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Di sana kereta menjadi backbone transportasi darat. Kita mestinya meniru konsep mereka. Kita harus menjadikan kereta sebagai backbone transportasi darat di Indonesia. Namun, untuk mewujudkan gagasan tersebut kita tak bisa menyerahkan begitu saja urusannya ke KAI.
Malah sebagian besar pekerjaan harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Untuk menjadikan kereta sebagai backbone, kuncinya adalah ketersediaan jaringan rel. Di banyak negara maju, membangun jaringan rel kereta adalah tugas pemerintah, bukan perusahaan kereta seperti KAI—meski Dirut KAI Ignasius Jonan menyatakan siap jika KAI memang ditugasi untuk itu.
Sebab, masalah utama dalam membangun rel kereta adalah pengadaan lahan dan masalah pengadaan lahan harus melibatkan banyak pemerintah daerah. Maka, itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sayangnya selama ini kita membiarkan KAI berjuang sendirian. Ketika sekelompok orang memblokade lintasan kereta, KAI-lah yang harus berjuang mengusir mereka.
Ketika para tunawisma membangun bedeng-bedeng liar di sepanjang lintasan kereta, KAI jugalah yang harus membongkarnya. Ketika para pedagang asongan leluasa keluar masuk stasiun sehingga membuat stasiun menjadi tidak tertib dan terkesan kumuh, KAI-lah yang harus menertibkannya. Ketika di sejumlah perlintasan kereta terjadi kecelakaan, KAI-lah yang seakan-akan harus bertanggung jawab.
Ignasius Jonan bercerita kepada saya, di seluruh Indonesia ada 5.200 lintasan—dengan 4.953 di antaranya merupakan lintasan resmi. Jadi, ada 607 lintasan yang tidak resmi dan ini menjadi ajang para pemungut “pajak lintasan” liar atau tempat bersabung nyawa. Lalu dari semua lintasan resmi, ternyata sebagian besar atau 3.419 lintasan tidak memiliki penjaga.
Di titik-titik inilah nyawa dipertaruhkan dengan harga yang sama sekali tidak layak. Murah, terlalu murah. Kini, terjadi Tragedi Bintaro II—tragedi pertama terjadi pada 19 Oktober 1987 dan menewaskan 156 orang.
Dua tragedi itu mestinya lebih dari cukup untuk menyadarkan kita dan pemerintah agar semakin bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kereta sebagai backbone transportasi darat di Indonesia. Semoga.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(nfl)