Tantangan pemajuan HAM dan kemerdekaan Indonesia

Selasa, 10 Desember 2013 - 15:05 WIB
Tantangan pemajuan HAM...
Tantangan pemajuan HAM dan kemerdekaan Indonesia
A A A
10 DESEMBER diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia, yaitu tanggal pengesahan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

DUHAM sebagai suatu deklarasi saat itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. DUHAM adalah standar bersama negara-negara anggota PBB untuk penghormatan dan perlindungan HAM. Namun demikian, keberadaan DUHAM merupakan bentuk komitmen bersama negara-negara anggota PBB yang amat diperlukan untuk mewujudkan perdamaian dunia dan mencegah perang yang menggetarkan peradaban dan kemanusiaan.

Penghormatan dan perlindungan HAM diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk tidak mengulang tragedi kemanusiaan yang terjadi pada masa Perang Dunia Kedua. Sebagai ketegasan komitmen terhadap penghormatan dan perlindungan HAM, DUHAM telah mampu menjadi basis moral untuk pembentukan instrumen HAM internasional yang lebih operasional dan memiliki kekuatan sebagai hukum bagi negara-negara peserta.

Lahirlah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta berpuluh-puluh kovenan dan bentuk perjanjian internasional lain yang saat ini menjadi instrumen hukum internasional guna menjamin dan memastikan tercapainya standar HAM yang telah ditetapkan dalam DUHAM.

Bagi bangsa Indonesia, persoalan HAM sesungguhnya bukan hal baru. Pergerakan nasional untuk meraih kemerdekaan dilandasi oleh pemahaman dan keyakinan kuat para pejuang tentang hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia dan kesederajatan umat manusia. Tidak ada manusia yang boleh ditindas dan dilanggar haknya. Penjajahan adalah wujud nyata penindasan dan pelanggaran HAM.

Berdasarkan kesederajatan manusia, setiap bangsa berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Kemerdekaan menjadi kunci menghapuskan penjajahan sekaligus menentukan nasib sendiri. Pemahaman yang dalam dan utuh dari para pendiri bangsa juga tampak jelas jika dilihat dari naskah konstitusi dan perdebatan yang melatarbelakanginya. Naskah Pembukaan UUD 1945 memiliki muatan HAM yang kokoh.

Walaupun rumusan HAM di dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI dapat dikatakan sangat sedikit, tentu pemaknaannya tidak boleh dilepaskan dari muatan perspektif HAM di dalam Pembukaan UUD 1945 yang sangat kokoh. Perdebatan antara individualisme dan kolektivisme di BPUPK yang melatarbelakangi lahirnya rumusan tersebut adalah lebih pada ide bangunan negara yang akan melindungi dan memenuhi HAM, tidak terkait dengan penerimaan atau penolakan eksistensi HAM itu sendiri.

Dasar konstitusional HAM yang sedemikian kokoh ini telah mendapatkan berbagai tantangan dan mengalami pasang surut dalam sejarah dinamika peradaban bangsa Indonesia. Banyak peristiwa pelanggaran HAM dengan berbagai latar belakang dan faktor yang telah dialami oleh bangsa Indonesia. Setiap peristiwa tentu tidak boleh dilupakan, tetapi harus diingat dan menjadi pelajaran komunal agar tidak terulang dalam perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya.

HAM di Era Reformasi
Era reformasi merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk menjadi lebih baik di bidang HAM. Hal ini tidak lain karena reformasi itu sendiri lahir dari pengalaman atas berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di masa Orde Baru. Untuk memperkokoh fondasi jaminan hak asasi manusia, salah satu materi utama dalam Perubahan UUD 1945 adalah penegasan jaminan HAM yang lebih detail dengan mengikuti standar DUHAM.

Hal ini tidak tiba-tiba saja muncul dalam pembahasan Perubahan UUD 1945, tetapi telah didahului dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM dan diikuti dengan pembentukan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. UUD 1945 Pasca Perubahan memuat 37 butir ketentuan mulai dari Pasal 28A sampai Pasal 28J.

Hak yang dijamin di dalam konstitusi ada yang ditempatkan sebagai hak setiap orang dan ada yang ditempatkan sebagai hak konstitusional setiap warga negara. Hak yang dijamin meliputi seluruh hak yang juga dijamin dalam DUHAM, yang meliputi hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial budaya, hak atas pembangunan, hak anak, hak perempuan, bahkan hak yang bersifat khusus.

Di dalam UUD 1945 pasca perubahan juga telah ditegaskan bahwa tanggung jawab atas perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM adalah di tangan negara, terutama pemerintah. Untuk menegakkan dan melindungi HAM di dalam konteks negara demokrasi, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Tantangan pemajuan HAM
Tuntasnya jaminan normatif terhadap HAM tentu tidak berarti tugas negara telah selesai. Jaminan HAM di dalam peraturan perundang-undangan tidak menjadikan persoalan HAM telah selesai. Setiap saat tetap ada potensi terjadinya pelanggaran HAM, baik oleh aktor negara maupun nonnegara, baik berupa tindakan individu dan kelompok maupun berupa tindakan negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Demokrasi yang mulai tertata diikuti dengan reformasi penyelenggaraan negara telah mampu mencegah terjadinya pelanggaran HAM oleh negara secara fisik. Pelanggaran HAM dalam bentuk pelanggaran berat HAM, baik berupa kejahatan terhadap kemanusiaan maupun genosida, sangat kecil kemungkinannya dilakukan oleh aktor negara di era reformasi.

Namun demikian demokrasi yang belum memasuki tahap dewasa telah memunculkan kelompok-kelompok sosial dengan pandangan dan ideologi yang bermacam-macam dalam spektrum yang sangat luas. Ada kelompok-kelompok sipil tertentu yang dari sisi paham atau ideologi yang dianut tidak dapat menoleransi kebhinnekaan. Di era reformasi, mungkin perlindungan terhadap hak sipil dan politik telah dilakukan dan menjadi kesadaran bersama.

Tantangan ke depan adalah memajukan kesetaraan. Di bidang hak sipil misalnya, yang harus dilakukan tidak sekadar melindungi hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, tetapi harus juga memajukan hak atas keadilan dan hak akses terhadap lembaga hukum dan peradilan. Di bidang politik tidak lagi sekadar melindungi hak pilih dan memilih tanpa diskriminasi, tetapi bagaimana memajukan hak politik bagi kelompok tertentu seperti perempuan dan penyandang disabilitas.

Demikian pula dalam hal hak ekonomi, sosial, dan budaya, tentu tidak pada tempatnya tetap sekadar memenuhi layanan hak dasar di bidang pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan, tetapi harus memajukan dengan peningkatan derajat dan kualitas layanan. Hanya dengan demikian perspektif HAM sebagaimana dianut dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diwujudkan dan dicapai.

Hal ini tentu tidak lagi menghendaki peran pasif negara untuk tidak melakukan intervensi, tetapi sebaliknya menuntut peran aktif negara untuk memajukan HAM sesuai dengan karakter negara kesejahteraan.

JANEDJRI M GAFFAR

Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0728 seconds (0.1#10.140)