Insentif ekspor kurang
A
A
A
HARGA telepon seluler (handphone) dan sejumlah barang elektronik lain diperkirakan meningkat pada awal tahun depan. Kenaikan harga itu dipicu kebijakan pemerintah yang merevisi aturan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 menyangkut impor barang tertentu.
Sebagai konsekuensi dari revisi peraturan pajak tersebut, sebanyak 872 produk mengalami kenaikan pengenaan PPh dari sebesar 2,5% menjadi sekitar 7,5%. Pemerintah beralasan bahwa revisi pengenaan PPh untuk impor barang tersebut dimaksudkan untuk menurunkan angka impor yang terus menekan defisit neraca perdagangan. Apabila revisi PPh tersebut berjalan sesuai harapan, pemerintah optimistis bisa menghemat devisa sekitar USD3 miliar. Kebijakan revisi PPh tersebut yang dijadwalkan berlaku efektif paling lambat Februari 2014 meliputi dua kriteria.
Pertama, barang yang tidak menyangkut kepentingan industri dalam negeri. Kedua, barang konsumtif dengan nilai impor yang signifikan, tetapi tidak berdampak besar pada laju angka inflasi. Ternyata, handphone masuk kriteria kedua dan masih berstatus sebagai barang modal. Selain itu, handphone adalah produk konsumsi akhir yang tidak bisa diolah lagi. Kementerian Keuangan mengklaim impor telepon seluler menempati urutan kedua setelah komoditas minyak dan gas (migas). “Impor handphone sangat besar,” ungkap Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro seusai pengumuman revisi PPh kemarin.
Mengapa bahan pangan yang diperkirakan sebanyak 65% diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak diperhitungkan? Bahan pangan tidak tersentuh dengan kenaikan PPh karena pemerintah beralasan bahwa impor pangan masih sangat dibutuhkan guna menutupi kebutuhan dalam negeri. Jadi, impor pangan seperti sayur dan buah masih tetap dikenai PPh 2,5%.
Pemerintah rupanya khawatir jika impor pangan terhambat sangat berpotensi mengundang angka inflasi yang tinggi mengingat pasokan sejumlah komoditas pangan belum bisa dipenuhi pasar domestik. Kebijakan revisi PPh tersebut adalah berita buruk bagi kalangan importir, terutama yang bergerak di sektor elektronik, tetapi para eksportir sedikit bernapas lega.
Menyertai kebijakan kenaikan PPh itu pemerintah justru memberikan insentif untuk fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Pemerintah membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk barang yang diimpor. Intinya, pemberian insentif diperuntukkan bagi impor bahan baku yang diolah di dalam negeri untuk diekspor.
Sebenarnya, insentif tersebut hanya penyederhanaan prosedur administrasi saja. Aturan sebelumnya, impor bahan baku yang diperuntukkan bagi ekspor dikenai PPN dan PPnBM. Nah, ketika komponen impor setelah diolah di dalam negeri diekspor kembali, pemerintah mengembalikan pajak yang sudah ditarik sebelumnya.
Sementara pada aturan yang baru sama sekali ditiadakan pengenaan PPN dan PPnBM baik impor maupun ekspor. Lalu, apa dampaknya terhadap pelaku usaha? Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan itu salah satu cara memberikan kemudahan kepada pengusaha. Pemberian insentif itu tanggung sekali, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih konkret, bukan sekadar penyederhanaan prosedur administrasi kalau memang serius ingin menggenjot volume ekspor.
Langkah pemerintah merevisi PPh untuk impor barang tertentu patut diapresiasi, tetapi kebijakan untuk mendongkrak laju ekspor masih harus didorong. Alangkah baiknya kebijakan menekan impor sejalan dengan kebijakan meningkatkan volume ekspor. Sekadar mengingatkan, kebijakan revisi PPh tersebut tidak akan berarti apa-apa sepanjang tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Kenapa? Kebijakan tersebut berpotensi besar mengundang aktivitas penyelundupan.
Bicara soal penyelundupan, hal itu terkait langsung dengan pelabuhan tradisional yang sering menjadi tempat masuknya barang ilegal atau lebih dikenal sebagai “pelabuhan tikus” yang jumlahnya ratusan. Lainnya, tak kalah penting terkait dengan integritas aparat Bea dan Cukai di lapangan. Kita berharap, pemerintah sudah menutup rapat lubang-lubang kelemahan itu sebelum kebijakan revisi PPh berlaku efektif.
Sebagai konsekuensi dari revisi peraturan pajak tersebut, sebanyak 872 produk mengalami kenaikan pengenaan PPh dari sebesar 2,5% menjadi sekitar 7,5%. Pemerintah beralasan bahwa revisi pengenaan PPh untuk impor barang tersebut dimaksudkan untuk menurunkan angka impor yang terus menekan defisit neraca perdagangan. Apabila revisi PPh tersebut berjalan sesuai harapan, pemerintah optimistis bisa menghemat devisa sekitar USD3 miliar. Kebijakan revisi PPh tersebut yang dijadwalkan berlaku efektif paling lambat Februari 2014 meliputi dua kriteria.
Pertama, barang yang tidak menyangkut kepentingan industri dalam negeri. Kedua, barang konsumtif dengan nilai impor yang signifikan, tetapi tidak berdampak besar pada laju angka inflasi. Ternyata, handphone masuk kriteria kedua dan masih berstatus sebagai barang modal. Selain itu, handphone adalah produk konsumsi akhir yang tidak bisa diolah lagi. Kementerian Keuangan mengklaim impor telepon seluler menempati urutan kedua setelah komoditas minyak dan gas (migas). “Impor handphone sangat besar,” ungkap Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro seusai pengumuman revisi PPh kemarin.
Mengapa bahan pangan yang diperkirakan sebanyak 65% diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak diperhitungkan? Bahan pangan tidak tersentuh dengan kenaikan PPh karena pemerintah beralasan bahwa impor pangan masih sangat dibutuhkan guna menutupi kebutuhan dalam negeri. Jadi, impor pangan seperti sayur dan buah masih tetap dikenai PPh 2,5%.
Pemerintah rupanya khawatir jika impor pangan terhambat sangat berpotensi mengundang angka inflasi yang tinggi mengingat pasokan sejumlah komoditas pangan belum bisa dipenuhi pasar domestik. Kebijakan revisi PPh tersebut adalah berita buruk bagi kalangan importir, terutama yang bergerak di sektor elektronik, tetapi para eksportir sedikit bernapas lega.
Menyertai kebijakan kenaikan PPh itu pemerintah justru memberikan insentif untuk fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Pemerintah membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk barang yang diimpor. Intinya, pemberian insentif diperuntukkan bagi impor bahan baku yang diolah di dalam negeri untuk diekspor.
Sebenarnya, insentif tersebut hanya penyederhanaan prosedur administrasi saja. Aturan sebelumnya, impor bahan baku yang diperuntukkan bagi ekspor dikenai PPN dan PPnBM. Nah, ketika komponen impor setelah diolah di dalam negeri diekspor kembali, pemerintah mengembalikan pajak yang sudah ditarik sebelumnya.
Sementara pada aturan yang baru sama sekali ditiadakan pengenaan PPN dan PPnBM baik impor maupun ekspor. Lalu, apa dampaknya terhadap pelaku usaha? Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan itu salah satu cara memberikan kemudahan kepada pengusaha. Pemberian insentif itu tanggung sekali, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih konkret, bukan sekadar penyederhanaan prosedur administrasi kalau memang serius ingin menggenjot volume ekspor.
Langkah pemerintah merevisi PPh untuk impor barang tertentu patut diapresiasi, tetapi kebijakan untuk mendongkrak laju ekspor masih harus didorong. Alangkah baiknya kebijakan menekan impor sejalan dengan kebijakan meningkatkan volume ekspor. Sekadar mengingatkan, kebijakan revisi PPh tersebut tidak akan berarti apa-apa sepanjang tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Kenapa? Kebijakan tersebut berpotensi besar mengundang aktivitas penyelundupan.
Bicara soal penyelundupan, hal itu terkait langsung dengan pelabuhan tradisional yang sering menjadi tempat masuknya barang ilegal atau lebih dikenal sebagai “pelabuhan tikus” yang jumlahnya ratusan. Lainnya, tak kalah penting terkait dengan integritas aparat Bea dan Cukai di lapangan. Kita berharap, pemerintah sudah menutup rapat lubang-lubang kelemahan itu sebelum kebijakan revisi PPh berlaku efektif.
(hyk)