Moral Manusia Indonesia II
A
A
A
BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya pada Kamis, 28 November 2013, saya mengetuai sidang promosi doktor di Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Judul disertasi yang diajukan promovenda (calon doktor) Selviana adalah “Perilaku Moral pada Remaja: Suatu Penelitian pada Remaja di Sekolah Mahanaim”.
Dalam disertasi itu Selviana menguji bagaimana hubungan antara religiusitas, empati, situs jejaring sosial, dan social capital dengan perilaku moral remaja. Pada masa kenakalan remaja makin meningkat, baik secara kuantitatif (makin sering, makin banyak) maupun secara kualitatif (makin sadis, jatuh korban jiwa), penelitian ini menjadi sangat penting. Awam sering menduga bahwa yang terpenting untuk perilaku moral adalah religiusitas. Makin religius makin baik perilaku moral seseorang.
Karena itu, untuk mengatasi kenakalan remaja, perlu ditambah pelajaran agama. Faktor kedua yang sering dianggap sebagai biang keladi perilaku tak bermoral remaja adalah tidak ada lagi empati (memahami perasaan orang lain) pada remaja. Juga pengaruh jejaring sosial, khususnya Twitter dan Facebook yang begitu mudah diakses remaja melalui telepon selulernya (termasuk ponsel murah). Akhirnya Selviana juga memasukkan interaksi, kepercayaan (trust), dan kesamaan pandangan (shared vision) dengan orang tua, guru, dan teman, yang dinamakannya social capital, sebagai faktor yang juga diduga berpengaruh pada perilaku moral remaja.
Hasilnya menakjubkan. Melalui teknik analisis statistik yang dinamakan Analisis Model Struktural, hasil kuesioner yang dikumpulkan dari 294 siswa/i SMA dan SMK Sekolah Mahanaim (70% siswa/i-nya berasal dari keluarga kurang mampu) menunjukkan bahwa religiusitas adalah yang paling kecil pengaruhnya terhadap perilaku moral. Itu pun tidak berupa pengaruh langsung, tapi harus melalui faktor (dalam penelitian disebut: variabel) social capital (orang tua, guru, dan teman).
Sedangkan pengaruh social capital itu sendiri terhadap perilaku moral adalah yang terendah (nilai korelasi 0,36) dibandingkan dengan jejaring sosial (0,47) dan empati (0,56). Jadi kesimpulannya, bukan religiusitas yang menentukan perilaku moral, melainkan empati, jejaring sosial, dan social capital dengan empati sebagai faktor yang berpengaruh paling kuat di antara ketiganya.
Penelitian Selviana memang hanya pada sebuah sekolah dengan sampel tidak sampai 300 orang. Tetapi, bukankah ini yang sedang terjadi pada bangsa kita di Indonesia sekarang? Religiusitas tetap dijunjung tinggi di negeri ini. Tetapi, lulusan sekolah agama yang tertinggi pun, bahkan ulama atau ustaz, atau yang selama ini kita ketahui sebagai orang dengan religiusitas yang sangat tinggi, tetap saja terlibat korupsi, kriminalitas, dan maksiat. Menurut budayawan Muchtar Lubis (1977) salah satu ciri bangsa Indonesia adalah munafik.
Dalam istilah saya, orang Indonesia itu STMJ (salatnya terus maksiatnya jalan). Audhubilah minszalik. Di sisi lain, memang empatilah yang saya rasa hilang dari kepribadian bangsa kita. Dulu (karena saya juga hanya dengar-dengar) bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, gotong-royong, dan sangat toleran satu sama lain. Pokoknya, Bhineka Tunggal Ika. Psikologinya di balik semua itu: empati. Mau mendengar orang lain, mengerti perasaan orang lain, ikut gembira kalau orang lain senang, ikut prihatin kalau orang lain susah.
Tetapi, sekarang orang Indonesia senang melihat orang lain susah dan susah kalau melihat orang lain senang. Setelah pilkada hampir selalu rusuh, kantor KPU diserbu massa dari calon yang kalah. Antarkampung tawuran, antarsekolah baku serang, baku bunuh. Pengendara sepeda motor naik trotoar, naik jembatan penyeberangan, pengemudi bus ugal-ugalan, bahkan anak artis di bawah umur pun ikut ugal-ugalan, tidak peduli kalau ada yang tertabrak dan mati.
Pedagang kaki lima dan pemukim liar seenaknya berdagang di kaki lima atau membangun di bantaran sungai atau di tepi rel kereta api tanpa peduli pejalan kaki mau lewat mana atau terjadi banjir (kan ada gubernur yang mengurus banjir?). Atau bagi-bagi harta benda ke diva-diva molek dari duit rakyat yang sedianya untuk memperbaiki bangunan sekolah yang hampir runtuh, memelihara, dan membangun sarana dan prasarana, mengembangkan program keluarga berencana dan jaminan kesehatan dan seterusnya, yang sudah ditunggu-tunggu rakyat sejak awal reformasi 15 tahun lalu.
Semua ini terjadi di sebuah negara Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Mengacu pada disertasi Selviana, jawabannya adalah meningkatkan kembali kadar empati bangsa Indonesia. Ini tidak bertentangan dengan religi karena agama pun mengajarkan bahwa hubungan dengan orang lain adalah sangat utama. Dalam Islam diajarkan hablul minanas sama pentingnya dengan hablul minallah (bahkan adakalanya hablul minanas lebih penting).
Ajaran ini sebenarnya tidak mengizinkan orang mengusir orang lain dari tempatnya beribadah hanya karena dia pikir Tuhan tidak membolehkan orang lain yang beda agama beribadah di tempat itu. Sebagaimana Tuhan tidak membeda-bedakan umatnya, manusia pun tidak seyogianya membedabedakan orang lain. Bayangkan bagaimana kalau kita sendiri yang diusir dari tempat ibadah kita? Maka itu, sudah saatnya kita mengajarkan empati kepada generasi muda kita.
Tidak cukup dengan mengajak anak-anak berulang tahun di Panti Asuhan, tetapi benarbenar mengajak mereka untuk menghayati kehidupan dan memahami cara berpikir dan perasaan orang lain yang tidak segolongan, yang berbeda kelas sosial, yang tidak seiman, yang berbeda etnik. Insya Allah kita akan mencapai apa yang dikatakan psikolog Kohlberg sebagai manusia bermoral tingkat pasca konvensional yang betul-betul beretika universal.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Dalam disertasi itu Selviana menguji bagaimana hubungan antara religiusitas, empati, situs jejaring sosial, dan social capital dengan perilaku moral remaja. Pada masa kenakalan remaja makin meningkat, baik secara kuantitatif (makin sering, makin banyak) maupun secara kualitatif (makin sadis, jatuh korban jiwa), penelitian ini menjadi sangat penting. Awam sering menduga bahwa yang terpenting untuk perilaku moral adalah religiusitas. Makin religius makin baik perilaku moral seseorang.
Karena itu, untuk mengatasi kenakalan remaja, perlu ditambah pelajaran agama. Faktor kedua yang sering dianggap sebagai biang keladi perilaku tak bermoral remaja adalah tidak ada lagi empati (memahami perasaan orang lain) pada remaja. Juga pengaruh jejaring sosial, khususnya Twitter dan Facebook yang begitu mudah diakses remaja melalui telepon selulernya (termasuk ponsel murah). Akhirnya Selviana juga memasukkan interaksi, kepercayaan (trust), dan kesamaan pandangan (shared vision) dengan orang tua, guru, dan teman, yang dinamakannya social capital, sebagai faktor yang juga diduga berpengaruh pada perilaku moral remaja.
Hasilnya menakjubkan. Melalui teknik analisis statistik yang dinamakan Analisis Model Struktural, hasil kuesioner yang dikumpulkan dari 294 siswa/i SMA dan SMK Sekolah Mahanaim (70% siswa/i-nya berasal dari keluarga kurang mampu) menunjukkan bahwa religiusitas adalah yang paling kecil pengaruhnya terhadap perilaku moral. Itu pun tidak berupa pengaruh langsung, tapi harus melalui faktor (dalam penelitian disebut: variabel) social capital (orang tua, guru, dan teman).
Sedangkan pengaruh social capital itu sendiri terhadap perilaku moral adalah yang terendah (nilai korelasi 0,36) dibandingkan dengan jejaring sosial (0,47) dan empati (0,56). Jadi kesimpulannya, bukan religiusitas yang menentukan perilaku moral, melainkan empati, jejaring sosial, dan social capital dengan empati sebagai faktor yang berpengaruh paling kuat di antara ketiganya.
Penelitian Selviana memang hanya pada sebuah sekolah dengan sampel tidak sampai 300 orang. Tetapi, bukankah ini yang sedang terjadi pada bangsa kita di Indonesia sekarang? Religiusitas tetap dijunjung tinggi di negeri ini. Tetapi, lulusan sekolah agama yang tertinggi pun, bahkan ulama atau ustaz, atau yang selama ini kita ketahui sebagai orang dengan religiusitas yang sangat tinggi, tetap saja terlibat korupsi, kriminalitas, dan maksiat. Menurut budayawan Muchtar Lubis (1977) salah satu ciri bangsa Indonesia adalah munafik.
Dalam istilah saya, orang Indonesia itu STMJ (salatnya terus maksiatnya jalan). Audhubilah minszalik. Di sisi lain, memang empatilah yang saya rasa hilang dari kepribadian bangsa kita. Dulu (karena saya juga hanya dengar-dengar) bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, gotong-royong, dan sangat toleran satu sama lain. Pokoknya, Bhineka Tunggal Ika. Psikologinya di balik semua itu: empati. Mau mendengar orang lain, mengerti perasaan orang lain, ikut gembira kalau orang lain senang, ikut prihatin kalau orang lain susah.
Tetapi, sekarang orang Indonesia senang melihat orang lain susah dan susah kalau melihat orang lain senang. Setelah pilkada hampir selalu rusuh, kantor KPU diserbu massa dari calon yang kalah. Antarkampung tawuran, antarsekolah baku serang, baku bunuh. Pengendara sepeda motor naik trotoar, naik jembatan penyeberangan, pengemudi bus ugal-ugalan, bahkan anak artis di bawah umur pun ikut ugal-ugalan, tidak peduli kalau ada yang tertabrak dan mati.
Pedagang kaki lima dan pemukim liar seenaknya berdagang di kaki lima atau membangun di bantaran sungai atau di tepi rel kereta api tanpa peduli pejalan kaki mau lewat mana atau terjadi banjir (kan ada gubernur yang mengurus banjir?). Atau bagi-bagi harta benda ke diva-diva molek dari duit rakyat yang sedianya untuk memperbaiki bangunan sekolah yang hampir runtuh, memelihara, dan membangun sarana dan prasarana, mengembangkan program keluarga berencana dan jaminan kesehatan dan seterusnya, yang sudah ditunggu-tunggu rakyat sejak awal reformasi 15 tahun lalu.
Semua ini terjadi di sebuah negara Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Mengacu pada disertasi Selviana, jawabannya adalah meningkatkan kembali kadar empati bangsa Indonesia. Ini tidak bertentangan dengan religi karena agama pun mengajarkan bahwa hubungan dengan orang lain adalah sangat utama. Dalam Islam diajarkan hablul minanas sama pentingnya dengan hablul minallah (bahkan adakalanya hablul minanas lebih penting).
Ajaran ini sebenarnya tidak mengizinkan orang mengusir orang lain dari tempatnya beribadah hanya karena dia pikir Tuhan tidak membolehkan orang lain yang beda agama beribadah di tempat itu. Sebagaimana Tuhan tidak membeda-bedakan umatnya, manusia pun tidak seyogianya membedabedakan orang lain. Bayangkan bagaimana kalau kita sendiri yang diusir dari tempat ibadah kita? Maka itu, sudah saatnya kita mengajarkan empati kepada generasi muda kita.
Tidak cukup dengan mengajak anak-anak berulang tahun di Panti Asuhan, tetapi benarbenar mengajak mereka untuk menghayati kehidupan dan memahami cara berpikir dan perasaan orang lain yang tidak segolongan, yang berbeda kelas sosial, yang tidak seiman, yang berbeda etnik. Insya Allah kita akan mencapai apa yang dikatakan psikolog Kohlberg sebagai manusia bermoral tingkat pasca konvensional yang betul-betul beretika universal.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(nfl)