Century siapa yang tanggung jawab?
A
A
A
RAPAT Timwas Century dengan ahli hukum pidana dan hukum tata negara tanggal 27 November 2013 difokuskan pada tanggung jawab “kolektif-kolegial” dan tanggung jawab administrasi dan tanggung jawab pidana.
Secara teoretis, masalahtersebut dalam konteks Century telah ada preseden dua kasus Gubernur BI Syahril Sabirin dan Burhanudin Abdullah serta beberapa anggota Dewan Gubernur BI (DG BI) lain sebagai terpidana sekalipun yang bersangkutan sekalipun kedua gubernur BI tersebut tidak menerima uang sepeser pun. Namun, Putusan MA RI masih menyisakan perdebatan antara ahli hukumadministrasinegara danahli hukum pidana sampai sekarang. KPK telah berpengalaman menangani kasus pidana melibatkan korporasi termasuk BI sebagai entitas negara.
Pimpinan BI menurut Pasal 36 UU RI Nomor 23 Tahun 1999 adalah DG BI (bukan gubernur) dan gubernur BI sekaligus pelaksana tugas mewakili DG BI baik ke dalam dan keluar bahkan dalam hal terkait sidang pengadilan (Pasal 39). Ketentuan pasal-pasal tersebut mencerminkan bahwa DG BI bertanggung jawab secara kolektif-kolegial dan mutatis mutandis perbuatan gubernur dan anggota DG BI direncanakan, dibahas, dan diputuskan bersama-sama. Jadi tidak perlu ada keragu-raguan masih perlu diperdebatkan lagi bahwa baik perbuatan dan tanggung jawab DG BI adalah kolektif kolegial.
Berpijak pada dua ketentuan UU BI tersebut di atas terkait kasus Century, DG BI secara bersama- sama dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum baik secara administratif maupun secara pidana jika telah melakukan perbuatan tanpa iktikad baik. Sekalipun ketentuan Pasal 45 UU BI yang memberikan imunitas pada DG BI, namun tidak bersifat mutlak karena dalam penjelasan pasalnya telah dirinci perbuatan yang termasuk beriktikad baik: (1) tidak ada keuntungan bagi dirinya, keluarganya atau kelompok atau melakukan KKN; (2) dilakukan berdasarkan analisis mendalam dan berdampak positif;(3) diikuti dengan rencana tindakan preventif jika keputusan yang diambil ternyata tidak tepat, dan (4) dilengkapi dengan sistem pemantauan.
Merujuk pada laporan Pemeriksaan Investigatif BPK RI Tanggal 20 November 2009, terdapat temuan-temuan yang menunjukkan tidak adanya iktikad baik dalam proses penanganan bailout Bank Century mulai sejak awal pendirian Bank Century; sejak penetapannya sebagai bank dalam pengawasan khusus, dan sampai pada penetapan sebagai bank gagal dan bank gagal yang berdampak sistemik.
Dari tenggat waktu penetapannya terjadi sangat singkat, sehingga tidak ada kesempatan kemudian dilakukan evaluasi terkait penyertaan modal sementara (PMS) sebanyak empat kali dengan total nilai Rp6,7 triliun. Penetapan sebagai bank gagal berdampak sistemik memerlukan analisis yang mendalam atas keempat faktor yang harus didalami secara cemat dan memerlukan waktu yang cukup untuk menentukan situasi bahwa, (a) ada penurunan kepercayaan masyarakat; (b) dampak contagion terhadap bank lain;(c) dampak terhadap sistem pembayaran dan (d) dampak terhadap kondisi makro.
Dewan Gubernur BI menambahkan, faktor risiko pasar sebagai faktor kelima tanpa penjelasan yang terukur. Penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik berakibat sesuai dengan UU LPS tahun 2004 pengambilalihan Bank Century di bawah supervisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atas advis DG BI dan Pemerintah cc Menkeu dengan harapan agar LPS dapat menghentikan pendarahan (bleeding). Setiap PMS yang dilaksanakan oleh LPS, pimpinan LPS sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) UU LPS Tahun 2004, menyampaikan pertanggungjawaban kinerja kepada Presiden.
Keterangan pers Boediono setelah diperiksa KPK selaku gubernur BI menerangkan bahwa kasus Bank Century karena berdampak sistemik telah diambil alih oleh LPS seakan-akan hendak memberikan keterangan, bahwa pemberian PMS kepada Bank Century berada pada pimpinan LPS dan Presiden sebagai penanggung jawab. Merujuk ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU LPS dapat dikatakan bahwa Presiden turut bertanggung jawab langsung atau tidak langsung terhadap proses dan pengucuran PMS terhadap bank Century.
Mengikuti analisis ahli hukum pidana, Mudzakir di hadapan rapat Timwas Century, ternyata produk hukum yang dikeluarkan dalam menangani proses penanganan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, telah dengan sengaja untuk membenarkan langkah dan tindakan DG BI dan Pemerintah dengan melakukan perubahan PBI dari ratio CAR negatif menjadi positif.
DG BI dan Pemerintah sebagai inisiator penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan LPS tidak hanya mengetahui (wetens) akan tetapi menghendaki (willens) agar tujuan penyelamatan perbankan dari dampak sistemik tercapai denganmem- bailoutBankCentury senilai Rp6,7 triliun rupiah sekalipun DG BI dan LPS mengetahui bahwa bailout tersebut telah melebihi permintaan kebutuhan Direksi Bank Century yaitu sebesar Rp1 triliun rupiah (Surat Direksi Bank Century Tanggal 29 Oktober 2008).
Selain itu, Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun 2009 terhadap LPS menyimpulkan bahwa LPS tidak memenuhi kewajiban untuk melakukan tindakan yang diperintahkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UU RI Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, yaitu bahwa keputusan untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan suatu Bank Gagal LPS sekurangkurangnya harus didasarkan perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan.
Merujuk fakta tersebut di atas jelas bahwa dalam proses penanganan Bank Century telah terjadi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh DG BI dan LPS telah berdampak negatif, yaitu LPS telah tidak berhasil mengembalikan dana bailout ketika jatuh tempo pengembalian pada tanggal 23 November 2013, sehingga telah terjadi kerugian keuangan negara.
Atas kerugian negara yang terjadi karena perbuatan melawan hukum maka yang bertanggung jawab adalah DG BI dan LPS, dan dengan penetapan BM dan SF dua mantan anggota DG BI ketika itu sebagai tersangka maka KPK seharusnya telah menetapkan gubernur BI dan anggota DG BI lain dan tidak tertutup kemungkinan yang sama terhadap pejabat LPS sebagai tersangka sesuai dengan ketentuan UU Pemberantasan Korupsi Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU 2001.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
Secara teoretis, masalahtersebut dalam konteks Century telah ada preseden dua kasus Gubernur BI Syahril Sabirin dan Burhanudin Abdullah serta beberapa anggota Dewan Gubernur BI (DG BI) lain sebagai terpidana sekalipun yang bersangkutan sekalipun kedua gubernur BI tersebut tidak menerima uang sepeser pun. Namun, Putusan MA RI masih menyisakan perdebatan antara ahli hukumadministrasinegara danahli hukum pidana sampai sekarang. KPK telah berpengalaman menangani kasus pidana melibatkan korporasi termasuk BI sebagai entitas negara.
Pimpinan BI menurut Pasal 36 UU RI Nomor 23 Tahun 1999 adalah DG BI (bukan gubernur) dan gubernur BI sekaligus pelaksana tugas mewakili DG BI baik ke dalam dan keluar bahkan dalam hal terkait sidang pengadilan (Pasal 39). Ketentuan pasal-pasal tersebut mencerminkan bahwa DG BI bertanggung jawab secara kolektif-kolegial dan mutatis mutandis perbuatan gubernur dan anggota DG BI direncanakan, dibahas, dan diputuskan bersama-sama. Jadi tidak perlu ada keragu-raguan masih perlu diperdebatkan lagi bahwa baik perbuatan dan tanggung jawab DG BI adalah kolektif kolegial.
Berpijak pada dua ketentuan UU BI tersebut di atas terkait kasus Century, DG BI secara bersama- sama dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum baik secara administratif maupun secara pidana jika telah melakukan perbuatan tanpa iktikad baik. Sekalipun ketentuan Pasal 45 UU BI yang memberikan imunitas pada DG BI, namun tidak bersifat mutlak karena dalam penjelasan pasalnya telah dirinci perbuatan yang termasuk beriktikad baik: (1) tidak ada keuntungan bagi dirinya, keluarganya atau kelompok atau melakukan KKN; (2) dilakukan berdasarkan analisis mendalam dan berdampak positif;(3) diikuti dengan rencana tindakan preventif jika keputusan yang diambil ternyata tidak tepat, dan (4) dilengkapi dengan sistem pemantauan.
Merujuk pada laporan Pemeriksaan Investigatif BPK RI Tanggal 20 November 2009, terdapat temuan-temuan yang menunjukkan tidak adanya iktikad baik dalam proses penanganan bailout Bank Century mulai sejak awal pendirian Bank Century; sejak penetapannya sebagai bank dalam pengawasan khusus, dan sampai pada penetapan sebagai bank gagal dan bank gagal yang berdampak sistemik.
Dari tenggat waktu penetapannya terjadi sangat singkat, sehingga tidak ada kesempatan kemudian dilakukan evaluasi terkait penyertaan modal sementara (PMS) sebanyak empat kali dengan total nilai Rp6,7 triliun. Penetapan sebagai bank gagal berdampak sistemik memerlukan analisis yang mendalam atas keempat faktor yang harus didalami secara cemat dan memerlukan waktu yang cukup untuk menentukan situasi bahwa, (a) ada penurunan kepercayaan masyarakat; (b) dampak contagion terhadap bank lain;(c) dampak terhadap sistem pembayaran dan (d) dampak terhadap kondisi makro.
Dewan Gubernur BI menambahkan, faktor risiko pasar sebagai faktor kelima tanpa penjelasan yang terukur. Penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik berakibat sesuai dengan UU LPS tahun 2004 pengambilalihan Bank Century di bawah supervisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atas advis DG BI dan Pemerintah cc Menkeu dengan harapan agar LPS dapat menghentikan pendarahan (bleeding). Setiap PMS yang dilaksanakan oleh LPS, pimpinan LPS sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) UU LPS Tahun 2004, menyampaikan pertanggungjawaban kinerja kepada Presiden.
Keterangan pers Boediono setelah diperiksa KPK selaku gubernur BI menerangkan bahwa kasus Bank Century karena berdampak sistemik telah diambil alih oleh LPS seakan-akan hendak memberikan keterangan, bahwa pemberian PMS kepada Bank Century berada pada pimpinan LPS dan Presiden sebagai penanggung jawab. Merujuk ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU LPS dapat dikatakan bahwa Presiden turut bertanggung jawab langsung atau tidak langsung terhadap proses dan pengucuran PMS terhadap bank Century.
Mengikuti analisis ahli hukum pidana, Mudzakir di hadapan rapat Timwas Century, ternyata produk hukum yang dikeluarkan dalam menangani proses penanganan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, telah dengan sengaja untuk membenarkan langkah dan tindakan DG BI dan Pemerintah dengan melakukan perubahan PBI dari ratio CAR negatif menjadi positif.
DG BI dan Pemerintah sebagai inisiator penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan LPS tidak hanya mengetahui (wetens) akan tetapi menghendaki (willens) agar tujuan penyelamatan perbankan dari dampak sistemik tercapai denganmem- bailoutBankCentury senilai Rp6,7 triliun rupiah sekalipun DG BI dan LPS mengetahui bahwa bailout tersebut telah melebihi permintaan kebutuhan Direksi Bank Century yaitu sebesar Rp1 triliun rupiah (Surat Direksi Bank Century Tanggal 29 Oktober 2008).
Selain itu, Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun 2009 terhadap LPS menyimpulkan bahwa LPS tidak memenuhi kewajiban untuk melakukan tindakan yang diperintahkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UU RI Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, yaitu bahwa keputusan untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan suatu Bank Gagal LPS sekurangkurangnya harus didasarkan perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan.
Merujuk fakta tersebut di atas jelas bahwa dalam proses penanganan Bank Century telah terjadi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh DG BI dan LPS telah berdampak negatif, yaitu LPS telah tidak berhasil mengembalikan dana bailout ketika jatuh tempo pengembalian pada tanggal 23 November 2013, sehingga telah terjadi kerugian keuangan negara.
Atas kerugian negara yang terjadi karena perbuatan melawan hukum maka yang bertanggung jawab adalah DG BI dan LPS, dan dengan penetapan BM dan SF dua mantan anggota DG BI ketika itu sebagai tersangka maka KPK seharusnya telah menetapkan gubernur BI dan anggota DG BI lain dan tidak tertutup kemungkinan yang sama terhadap pejabat LPS sebagai tersangka sesuai dengan ketentuan UU Pemberantasan Korupsi Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU 2001.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
(nfl)