Sekolah, hukuman, dan ketegasan
A
A
A
PERNYATAAN Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mendukung dikeluarkan siswa SMA 46 Jakarta karena membajak Kopaja di Jakarta menuai kontroversi. Protes keras muncul dari kalangan orang tua dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mengecam pernyataan keras Ahok.
Ahok tegas mendukung sanksi keras yang harus diterima murid-murid sekolah tersebut. Dia berpandangan, jika para murid sudah merugikan orang lain, mereka patut mendapatkan sanksi yang tegas. Pernyataan dia yang paling keras adalah jangan sampai anak-anak yang membajak Kopaja tersebut berpotensi melakukan kejahatan dan menjadi calon preman. Ahok juga mengatakan, pembajakan Kopaja tersebut sudah termasuk ke dalam kriminalitas.
Keputusan untuk mengeluarkan murid-murid yang melakukan pembajakan dilakukan berdasarkan rapat seluruh guru di sekolah tersebut karena perilaku tersebut sudah dianggap melewati nilai maksimum bagi siswa yang melanggar. Bahasa halusnya, mereka dikembalikan ke orang tua karena dianggap sudah tidak bisa diatur dan dikendalikan oleh sekolah. Tak pelak, keputusan ini melahirkan kontroversi yang tertuju kepada sekolah hingga Ahok yang mendukung keputusan berani tersebut.
KPAI adalah pihak yang menolak keputusan ini karena dianggap terlalu represif dan tidak mencerminkan esensi pendidikan. Meski demikian, protes keras sebenarnya tertuju pada pernyataan Ahok yang mengatakan para murid tersebut bisa menjadi ‘’calon preman dan calon penjahat’’ di kemudian hari. Keputusan sekolah mengeluarkan mereka sudah tepat dan harus dipahami dalam upaya proses penegakan disiplin sebagai bagian penting dalam proses pendidikan.
Ada sistem dan mekanisme poin bagi siswa yang melanggar berbagai peraturan di sekolah mencerminkan ada hukuman berjenjang yang harus menjadi acuan perilaku murid-muridnya. Sistem poin yang dijadikan rujukan memberlakukan jenis pelanggaran yang paling sederhana hingga pelanggaran yang paling berat. Pelanggaran yang paling berat inilah yang tidak bisa ditoleransi sekolah. Siswa yang melakukan pelanggaran berat ini risikonya adalah dikembalikan kepada orang tuanya alias dikeluarkan dari sekolah.
Risiko ini harus diterima murid, orang tua, dan masyarakat karena sudah menjadi standar norma dan nilai yang disepakati sekolah, murid, dan orang tua ketika anaknya masuk dan diterima di sekolah. Dengan kata lain, sudah ada kesepakan tertulis antara ketiga pihak tersebut di awal proses sekolah berlangsung. Murid dan orang tua harus sadar dan menerima berbagai peraturan itu. Menjadi naif dan aneh jika orang tua dan masyarakat menolak keputusan itu. Jika menolak keputusan itu, sejatinya mereka harus menolak sejak awal ketika anaknya masuk dan diterima di sekolah.
Sekolah adalah cermin masyarakat yang juga memiliki nilai, norma, dan aturan-aturan yang harus disepakati termasuk konsensus reward and punishment. Sekolah harus berperan sebagai garda depan dalam pembentukan moral, disiplin, dan tanggung jawab kepada murid-muridnya. Sekolah memiliki konsensus nilai yang disepakati bersama oleh masyarakat.
Orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut pada dasarnya menitipkan agar anak-anaknya dididik dalam proses pendidikan yang sudah lama berjalan dan diyakini sebagai kebutuhan publik. Tidak ada pilihan lain bagi sekolah untuk menegakkan nilai dan norma yang sudah dirujuk bersama masyarakat. Sekolah tak bisa tunduk kepada puluhan murid dan orang tua yang mengecam dan menolak keputusan itu. Sekolah didirikan atas kebutuhan publik dengan ikatan basis moral dan konsensus bersama.
Nilai luhur sekolah
Kasus pembajakan Kopaja ini sebenarnya bukan pertama di Jakarta. Kasus sejenis kerap terjadi dan sangat merugikan serta membahayakan masyarakat lain. Tidak sedikit mengancam keselamatan mereka. Kasus ini mencuat karena Ahok bersuara keras di media massa yang mengundang kontroversi. Kasus ini sejatinya tidak hanya terlokalisasi di Jakarta, tetapi juga menjadi peringatan bagi daerah-daerah lain yang menghadapi kasus sejenis. Sekolah sejatinya menjadi ruang dipupuk nilai-nilai toleransi, demokratis, dan respek di antara seluruh aktornya.
Sebagai entitas sosial, sekolah menjadi arena perkembangan sosial, fisik, dan kultural generasi masa depan. Nilai-nilai humanis tersebut menjadi kekuatan sekolah sebagai eskalator perubahan sosial. Berbagai pemikir pendidikan mulai dari John Dewey, Paulo Freire, hingga pedagog kritis seperti Henry Giroux memahami sekolah sebagai ruang bersemi spirit humanisme, demokrasi, pluralisme, dan kesetaraan dalam kompleksitas heterogenitas.
Membaca pemikiran mereka akan keluhuran peran sekolah dalam mempersiapkan generasi mendatang membuat kita miris sekaligus prihatin akan kasus pembajakan dan berbagai kekerasan pelajar di berbagai daerah, khususnya di Jakarta yang sudah semakin parah. Ironisnya, bukan berkurang kasus itu, malah tereproduksi menjadi satu habitus yang menjadi momok dan tamparan keras bagi pendidikan Indonesia. Kekerasan bukan hal sepele dalam praktik sekolah.
Modus kekerasan sangat berbahaya bagi perkembangan sosial dan mental para pelajar. Pertama, kekerasan dengan berbagai variannya bisa membentuk mode of thinking dominasi, superioritas, dan kekerasan di kalangan pelajar. Terbentuknya mode of thinking yang secara kultural dipraktikkan bisa mengalami pewarisan budaya di kalangan senior dan junior. Pola patronklien ini yang menjadi lahan subur reproduksi mode of thinking itu. Hasilnya, terjadi pelembagaan kekerasan, dominasi, dan kekuasaan.
Inilah yang berbahaya karena menjadi stock of knowledge pelajar. Kedua, kekerasan bisa mendegradasikan peran sekolah dalam determinasi dan transformasi nilai, kepemimpinan, kedermawanan, dan berbagai nilai-nilai luhur lain. Proses degradasi ini menampar keras lembaga sekolah yang selama ini dianggap sebagai otoritas produksi pengetahuan, sikap, dan pengalaman. Sekolah sebagai pendidikan formal malah menjadi lahan subur perkembangan kekerasan. Sadar atau tidak, maupun langsung atau tidak, ini menjadi kritik terhadap otoritas sekolah.
Reproduksi kekerasan
Perilaku pembajakan terhadap Kopaja secara jelas merupakan perilaku agresif yang tidak mencerminkan kualitas pelajar yang sedang menuntut ilmu. Apa pun alasannya, tidak bisa diterima dengan standar dan nilai yang berlaku di masyarakat. Jelas tindakan tersebut juga sudah mengarah pada perilaku kriminal yang harus ditindak tegas. Sekolah sudah memainkan perannya dengan benar dalam bentuk mekanisme hukuman yang setimpal dengan perilaku mereka. Dalam konteks sosiologi pendidikan, hukuman adalah manifestasi dari perilaku-perilaku yang melanggar nilai dan norma dalam ruang pendidikan.
Hukuman harus diterima sebagai pilihan sadar dan rasional dari pelanggaran norma dan nilai itu. Poin penting dari perilaku pembajakan Kopaja adalah tertanam nilai-nilai kekerasan di kalangan pelajar. Dalam konteks pelajar Jakarta, kekerasan sudah pada level yang akut dan membahayakan. Kekerasan adalah kombinasi agresi dan kekuasaan yang mengancam otoritas individu. Merebaknya berbagai fenomena kekerasan menjadi kerisauan sekaligus keprihatinan dalam ranah pendidikan Indonesia.
Pelajar-pelajar itu generasi muda yang menjadi tulang punggung dan masa depan negeri ini. Sungguh menjadi ironis jika perilaku mereka saat ini akan terlembagakan dan menjadi satu ritus yang sudah masif dalam ruang kesadaran mereka. Ini menjadi bermasalah bagi keberlanjutan sosial mereka dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial, politik, maupun hukum. Ada pola berpikir yang sudah lama tertanam kuat dalam modus berpikir mereka; anarkistis, keras, atau destruktif.
Kelak state of mind mereka akan terus terlembagakan setelah mereka lulus sekolah. Misalnya menjadi mahasiswa maupun terlibat dalam berbagai kegiatan setelah mereka tidak lagi mengenyam pendidikan. Dengan demikian, jangan heran jika kita terbiasa menyaksikan tawuran di kalangan mahasiswa di berbagai kampus di negeri ini.
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Université Lumière Lyon 2,Perancis
Ahok tegas mendukung sanksi keras yang harus diterima murid-murid sekolah tersebut. Dia berpandangan, jika para murid sudah merugikan orang lain, mereka patut mendapatkan sanksi yang tegas. Pernyataan dia yang paling keras adalah jangan sampai anak-anak yang membajak Kopaja tersebut berpotensi melakukan kejahatan dan menjadi calon preman. Ahok juga mengatakan, pembajakan Kopaja tersebut sudah termasuk ke dalam kriminalitas.
Keputusan untuk mengeluarkan murid-murid yang melakukan pembajakan dilakukan berdasarkan rapat seluruh guru di sekolah tersebut karena perilaku tersebut sudah dianggap melewati nilai maksimum bagi siswa yang melanggar. Bahasa halusnya, mereka dikembalikan ke orang tua karena dianggap sudah tidak bisa diatur dan dikendalikan oleh sekolah. Tak pelak, keputusan ini melahirkan kontroversi yang tertuju kepada sekolah hingga Ahok yang mendukung keputusan berani tersebut.
KPAI adalah pihak yang menolak keputusan ini karena dianggap terlalu represif dan tidak mencerminkan esensi pendidikan. Meski demikian, protes keras sebenarnya tertuju pada pernyataan Ahok yang mengatakan para murid tersebut bisa menjadi ‘’calon preman dan calon penjahat’’ di kemudian hari. Keputusan sekolah mengeluarkan mereka sudah tepat dan harus dipahami dalam upaya proses penegakan disiplin sebagai bagian penting dalam proses pendidikan.
Ada sistem dan mekanisme poin bagi siswa yang melanggar berbagai peraturan di sekolah mencerminkan ada hukuman berjenjang yang harus menjadi acuan perilaku murid-muridnya. Sistem poin yang dijadikan rujukan memberlakukan jenis pelanggaran yang paling sederhana hingga pelanggaran yang paling berat. Pelanggaran yang paling berat inilah yang tidak bisa ditoleransi sekolah. Siswa yang melakukan pelanggaran berat ini risikonya adalah dikembalikan kepada orang tuanya alias dikeluarkan dari sekolah.
Risiko ini harus diterima murid, orang tua, dan masyarakat karena sudah menjadi standar norma dan nilai yang disepakati sekolah, murid, dan orang tua ketika anaknya masuk dan diterima di sekolah. Dengan kata lain, sudah ada kesepakan tertulis antara ketiga pihak tersebut di awal proses sekolah berlangsung. Murid dan orang tua harus sadar dan menerima berbagai peraturan itu. Menjadi naif dan aneh jika orang tua dan masyarakat menolak keputusan itu. Jika menolak keputusan itu, sejatinya mereka harus menolak sejak awal ketika anaknya masuk dan diterima di sekolah.
Sekolah adalah cermin masyarakat yang juga memiliki nilai, norma, dan aturan-aturan yang harus disepakati termasuk konsensus reward and punishment. Sekolah harus berperan sebagai garda depan dalam pembentukan moral, disiplin, dan tanggung jawab kepada murid-muridnya. Sekolah memiliki konsensus nilai yang disepakati bersama oleh masyarakat.
Orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut pada dasarnya menitipkan agar anak-anaknya dididik dalam proses pendidikan yang sudah lama berjalan dan diyakini sebagai kebutuhan publik. Tidak ada pilihan lain bagi sekolah untuk menegakkan nilai dan norma yang sudah dirujuk bersama masyarakat. Sekolah tak bisa tunduk kepada puluhan murid dan orang tua yang mengecam dan menolak keputusan itu. Sekolah didirikan atas kebutuhan publik dengan ikatan basis moral dan konsensus bersama.
Nilai luhur sekolah
Kasus pembajakan Kopaja ini sebenarnya bukan pertama di Jakarta. Kasus sejenis kerap terjadi dan sangat merugikan serta membahayakan masyarakat lain. Tidak sedikit mengancam keselamatan mereka. Kasus ini mencuat karena Ahok bersuara keras di media massa yang mengundang kontroversi. Kasus ini sejatinya tidak hanya terlokalisasi di Jakarta, tetapi juga menjadi peringatan bagi daerah-daerah lain yang menghadapi kasus sejenis. Sekolah sejatinya menjadi ruang dipupuk nilai-nilai toleransi, demokratis, dan respek di antara seluruh aktornya.
Sebagai entitas sosial, sekolah menjadi arena perkembangan sosial, fisik, dan kultural generasi masa depan. Nilai-nilai humanis tersebut menjadi kekuatan sekolah sebagai eskalator perubahan sosial. Berbagai pemikir pendidikan mulai dari John Dewey, Paulo Freire, hingga pedagog kritis seperti Henry Giroux memahami sekolah sebagai ruang bersemi spirit humanisme, demokrasi, pluralisme, dan kesetaraan dalam kompleksitas heterogenitas.
Membaca pemikiran mereka akan keluhuran peran sekolah dalam mempersiapkan generasi mendatang membuat kita miris sekaligus prihatin akan kasus pembajakan dan berbagai kekerasan pelajar di berbagai daerah, khususnya di Jakarta yang sudah semakin parah. Ironisnya, bukan berkurang kasus itu, malah tereproduksi menjadi satu habitus yang menjadi momok dan tamparan keras bagi pendidikan Indonesia. Kekerasan bukan hal sepele dalam praktik sekolah.
Modus kekerasan sangat berbahaya bagi perkembangan sosial dan mental para pelajar. Pertama, kekerasan dengan berbagai variannya bisa membentuk mode of thinking dominasi, superioritas, dan kekerasan di kalangan pelajar. Terbentuknya mode of thinking yang secara kultural dipraktikkan bisa mengalami pewarisan budaya di kalangan senior dan junior. Pola patronklien ini yang menjadi lahan subur reproduksi mode of thinking itu. Hasilnya, terjadi pelembagaan kekerasan, dominasi, dan kekuasaan.
Inilah yang berbahaya karena menjadi stock of knowledge pelajar. Kedua, kekerasan bisa mendegradasikan peran sekolah dalam determinasi dan transformasi nilai, kepemimpinan, kedermawanan, dan berbagai nilai-nilai luhur lain. Proses degradasi ini menampar keras lembaga sekolah yang selama ini dianggap sebagai otoritas produksi pengetahuan, sikap, dan pengalaman. Sekolah sebagai pendidikan formal malah menjadi lahan subur perkembangan kekerasan. Sadar atau tidak, maupun langsung atau tidak, ini menjadi kritik terhadap otoritas sekolah.
Reproduksi kekerasan
Perilaku pembajakan terhadap Kopaja secara jelas merupakan perilaku agresif yang tidak mencerminkan kualitas pelajar yang sedang menuntut ilmu. Apa pun alasannya, tidak bisa diterima dengan standar dan nilai yang berlaku di masyarakat. Jelas tindakan tersebut juga sudah mengarah pada perilaku kriminal yang harus ditindak tegas. Sekolah sudah memainkan perannya dengan benar dalam bentuk mekanisme hukuman yang setimpal dengan perilaku mereka. Dalam konteks sosiologi pendidikan, hukuman adalah manifestasi dari perilaku-perilaku yang melanggar nilai dan norma dalam ruang pendidikan.
Hukuman harus diterima sebagai pilihan sadar dan rasional dari pelanggaran norma dan nilai itu. Poin penting dari perilaku pembajakan Kopaja adalah tertanam nilai-nilai kekerasan di kalangan pelajar. Dalam konteks pelajar Jakarta, kekerasan sudah pada level yang akut dan membahayakan. Kekerasan adalah kombinasi agresi dan kekuasaan yang mengancam otoritas individu. Merebaknya berbagai fenomena kekerasan menjadi kerisauan sekaligus keprihatinan dalam ranah pendidikan Indonesia.
Pelajar-pelajar itu generasi muda yang menjadi tulang punggung dan masa depan negeri ini. Sungguh menjadi ironis jika perilaku mereka saat ini akan terlembagakan dan menjadi satu ritus yang sudah masif dalam ruang kesadaran mereka. Ini menjadi bermasalah bagi keberlanjutan sosial mereka dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial, politik, maupun hukum. Ada pola berpikir yang sudah lama tertanam kuat dalam modus berpikir mereka; anarkistis, keras, atau destruktif.
Kelak state of mind mereka akan terus terlembagakan setelah mereka lulus sekolah. Misalnya menjadi mahasiswa maupun terlibat dalam berbagai kegiatan setelah mereka tidak lagi mengenyam pendidikan. Dengan demikian, jangan heran jika kita terbiasa menyaksikan tawuran di kalangan mahasiswa di berbagai kampus di negeri ini.
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Université Lumière Lyon 2,Perancis
(nfl)