Harapan dari Teluk Persia

Rabu, 27 November 2013 - 09:11 WIB
Harapan dari Teluk Persia
Harapan dari Teluk Persia
A A A
SETELAH melakukan perundingan maraton selama lima hari berturut- turut, lima anggota Dewan Keamanan (DK) PBB (Amerika, Inggris, China, Prancis, danRusia) serta Jerman dapat mencapai kesepakatan dengan Iran tentang perjanjian pengaturan pengayaan nuklir Iran.

Dalam perjanjian tersebut, Iran setuju untuk menghentikan pengayaan uranium lebih dari 5%, mengurangi 20% uranium yang telah diperkaya, dan menghilangkan hal-hal yang terkait dengan prioritas proliferasi nuklir, membekukan kapasitas pengayaan dengan tidak memasang centrifuges dan beberapa detail kesepakatan lain. Kesepakatan tersebut harus dipenuhi Iran dalam enam bulan mendatang. Meski demikian kesepakatan ini tidaksepenuhnya disambutdengansikap positif.

Perdana Menteri Israel Benyamin Netahayu langsung mengecam DK PBB dan Jerman yang telah melakukan kesepakatan bersama dengan Iran. Ia menyebut kesepakatan itu sebagai sebuah kesalahan sejarah. Ia juga menegaskan sekali lagi bahwa Israel tidak terikat dengan perjanjian tersebut dan mengulangi lagi ancamannya untuk melakukan serangan terhadap Iran apabila mereka merasa telah merasakan ancaman serius dari Iran.

Penolakan lain, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka seperti Israel, datang dari Arab Saudi yang telah memberikan ketidaksetujuan akan proses negosiasi nuklir Iran dan DK PBB. Pernyataan keras yang dapat dipegang adalah ucapan Duta Besar Arab Saudi untuk Inggris yang mengatakan Kerajaan Arab Saudi tidak akan tinggal diam bila Iran mulai menggunakan senjata nuklir. Kegusaran dua sekutu Amerika Serikat di Timur Tengah ini bukannya tanpa dasar. Ketegangan Israel dan Iran semakin dalam saat Wali Kota Teheran Ahmadinejad menjadi presiden sejak tahun 2005 hingga 2013.

Kecaman-kecaman pedas dan penolakan atas berdirinya negara Israel yang selalu ada dalam setiap pidato Ahmadinejad di berbagai kesempatan sangat kontras dengan kerja sama Iran dan Israel saat Perang Iran-Irak 1980–1988, yaitu Israel banyak membantu memberikan peralatan dan nasihat militer kepada Iran. Hubungan tersebut memang kemudian berubah setelah runtuhnya Uni Soviet dan tergulingnya Saddam Hussein dari kursi kepala pemerintahan di Irak. Kejadian-kejadian tersebut telah memengaruhi keseimbangan kekuasaan yang terjadi di Timur Tengah yang membuat Iran menjadi semakin memiliki pengaruh.

Sementara bagi Arab Saudi, selain konflik ideologi Sunni dan Syiah yang telah berlangsung lama, mereka lebih khawatir dengan perkembangan politik Amerika di Timur Tengah, khususnya terkait dengan konflik di Suriah. Kesepakatan Amerika dengan Iran tentang program nuklir ini menambah rasa kecewa yang telah dirasakan setelah Amerika membatalkan janjinya untuk menyerang Suriah bila ditemukan penggunaan senjata kimia di dalam perang saudara di Suriah.

Berbeda dengan Israel, Arab Saudi dan negara-negara Teluk telah mengadakan pertemuan dan mendapatkan jaminan keamanan dari Amerika sebelum kesepakatan itu ditandatangani. Terlepas dari rasa pesimistis dan skeptis yang muncul, dunia perlu memperhatikan sejauh mana Iran dan lima negara perunding lainnya menjaga interpretasi isi perjanjian dengan konsisten. Contohnya tentang larangan untuk memperkaya uranium lebih dari 20%. Izin pengayaan uranium itu hanya bisa diberikan hingga batas maksimal 5%, untuk enam bulan ke depan.

Larangan ini diikuti dengan larangan lain yang melemahkan kemampuan Iran untuk membuat senjata nuklir. Bagi Amerika, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai keberhasilan mereka dalam menurunkan kapasitas Iran untuk mengancam dengan menggunakan senjata nuklir. Namun, bagi Iran, poin tersebut adalah pengakuan bahwa Iran tetap dapat mengolah uranium sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Perjanjian tersebut juga mensyaratkan inspektur IAEA datang memverifikasi fasilitas dan operasi di lapangan.

Iran perlu bekerja sama untuk membuka seluruh informasi yang terkait dengan fasilitas dan operasi yang akan diperiksa. Apabila Iran tidak membuka atau dianggap tidak terbuka, perjanjian itu akan menjadi masalah. Meski demikian, kesepakatan tersebut memberikan harapan baru dan kesegaran dalam suhu diplomasi yang panas di Timur Tengah. Presiden baru Iran Hassan Rouhani, yang terpilih pada bulan Juni 2013 dan diragukan sikap moderatnya terkait dengan sistem politik teokrasi di Iran, betul-betul mewujudkan pandangannya untuk mengubah politik luar negeri Iran menjadi lebih moderat.

Ia bahkan memecahkan suasana tabu selama 34 tahun yang menyelimuti hubungan Iran-Amerika ketika ia menelepon Obama selama 15 menit waktu ia berkunjung ke PBB demi membicarakan hubungan politik kedua negara. Hal ini dapat menjadi tanda juga bahwa Dewan Ulama yang memegang kekuasaan memutuskan arah kebijakan politik luar negeri Iran bergeser ke arah yang lebih moderat dibandingkan periode sebelumnya. Jika benar-benar memenuhi seluruh isi perjanjian selama enam bulan ke depan, Iran akan kembali dalam pergaulan politik dan ekonomi internasional.

Ekonomi Iran mungkin akan pulih setelah embargo ekonomi Amerika tahun 1984. Kita tahu Iran sangat menderita khususnya ketika Uni Eropa bergabung dengan Amerika memberikan sanksi ekonomi di bulan November 2011, menyusul laporan IAEA yang memaparkan Iran tengah mempersiapkan senjata nuklir. Sanksi ekonomi tersebut sangat membatasi perdagangan Iran karena tidak ada bank di dunia yang mau menerima uang hasil transaksiperdagangandengan Iran.

Akibatnya Iran harus melakukan perdagangan barter dengan negara-negara yang menjadi mitra perdagangan mereka. Hal itu tentu merugikan karena mereka tidak mudah untuk menemukan negara yang mau melakukan perdagangan macam itu. Mereka harus membeli barang dari negara tujuan ekspornya walaupun dengan harga yang sangat tinggi. Hal ini yang terus-menerus menyebabkan inflasi mencapai lebih dari 40% sejak sanksi ekonomi diterapkan. Secara politik, perjanjian tersebut juga memiliki unsur pengakuan yang dapat memudahkan mereka masuk dan membantu konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah atau khususnya di Suriah.

Hal ini tentu akan membuat gusar negara atau pihak-pihak yang selalu mendorong solusi perang sebagai jalan untuk mengatasi masalah nuklir Iran. Pihak ini tidak hanya negara-negara di sekitar teluk lain seperti Arab Saudi dan UEA, tetapi juga di dalam negeri Iran, yakni di kubu politik konservatif. Kita belum tahu seberapa jauh mereka akan tereliminasi, tetapi hal ini membuka peluang kekuatan demokratis yang lebih memilih upaya diplomasi untuk tampil. Bagi dunia, solusi damai ini lebih menguntungkan karena akan membawa kestabilan. Hal ini terbukti dari turunnya harga minyak dunia sebesar 2% sejak pengumuman atas kesepakatan tersebut.

DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0795 seconds (0.1#10.140)