Hakim Agung teladan
A
A
A
RABU (20/11/13) saya bertemu Ketua Majelis Guru Besar (MGB) UGM, diberi tahu sekaligus ditunjukkan surat keputusan rektor bahwa usulan terhadap Artidjo Alkostar sebagai salah satu penerima UGM Award 2013 ditolak.
Samar-samar ada informasi, alasan penolakan sudah dikonsultasikan dengan beberapa teman di Fakultas Hukum UGM. Terlepas apa pun alasannya, saya tidak bersoal, apalagi kecewa. Toh, saya hanya diminta membantu Rektor agar ditemukan seseorang yang pantas diberi UGM Award untuk kategori penggiat antikorupsi. Berbekal informasi cukup, semaksimal mungkin usaha saya lakukan sebagai dasar pengusulan tersebut.
Sebatas usulan itu wewenang saya, bukan untuk memutuskannya. Ketika kategori penggiat antikorupsi akhirnya ditiadakan, hal demikian saya maknakan bahwa bagi Rektor UGM belum ada seorang pun pantas diberi predikat sebagai tokoh teladan penggiat antikorupsi di negeri ini. Keesokan harinya, ada berita menarik dan luar biasa. Diwartakan, di tingkat pertama dan kedua, Angelina Sondakh divonis 4 tahun 6 bulan.
Namun pada 20 November 2013 majelis kasasi dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa, berupa pidana 12 tahun penjara, denda 500 juta subsider 8 bulan kurungan, uang pengganti Rp12,580 miliar dan USD2,350 juta dan kalau tidak dibayar dalam sekian waktu harus diganti hukuman 5 tahun penjara. Putusan kasasi yang progresif dari Artidjo Alkostar untuk kesekian kalinya ini patut diapresiasi.
Sujud syukur atas putusan ini. Bagi saya, putusan itu mencerminkan ketajaman hati nurani majelis hakim tersebut. Sepeninggal hakim agung Bismar Siregar, negeri ini seakan gersang dari keadilan. Begitu banyak kasus-kasus masuk pengadilan, tetapi ujung-ujungnya kekecewaan para pencari keadilan, karena putusan hakim jauh dari keadilan sosial.
Dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus korupsi, hakim umumnya terjebak pada sikap pragmatisme, legalistik, dan cenderung berorientasi pada kenyamanan dan kemapanan karier daripada berusaha ke arah terwujudnya keadilan sosial. Kegersangan keadilan itu kini sedikit terobati dengan hadirnya Artidjo Alkostar.
Walaupun putusan progresif lahir dari majelis hakim, tanpa mengurangi rasa hormat kepada anggota majelis hakim, saya yakin peran Artidjo Alkostar signifikan. Sepengetahuan saya dengan mencermati rekam jejak kehidupannya, baik sebelum maupun ketika menjabat hakim agung, tidak ditemukan halhal yang layak dimasalahkan oleh siapa pun pada sosok Artidjo Alkostar. Kehidupannya sederhana, jujur, dan berjalan lurus di atas kebenaran.
Penilaian serupa pernah saya dengar langsung dari hakim agung lain. Artidjo Alkostar dipandang sebagai hakim agung langka karena moralitas dan profesionalitasnya. Wajar, bila kasuskasus rumit dipercayakan penyelesaiannya kepada beliau. Beberapa prestasi masih mudah diingat dan sekaligus menjadi bukti autentik atas kegigihan dan konsistensi menjalankan profesinya sebagai hakim agung.
Pertama, Artidjo Alkostar pernah memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari 5 tahun menjadi 10 tahun penjara, dan memperberat hukuman mantan bendahara umum Partai Demokrat Nazaruddin dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. Kedua, gebrakan superdahsyat menaikkan vonis menjadi 3 kali lebih tinggi dari vonis di tingkat Pertama dan Pengadilan Banding Tipikor atas hukuman Tommy Hindratno, pegawai pajak pada Kantor Pajak Sidoarjo, dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun dan memperberat hukuman Zen Umar, Direktur PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun.
Ketiga, bersama hakim agung Sri Murwahuni dan Suryajaya, memperberat hukuman terdakwa kasus psikotropika dari 1 tahun menjadi 20 tahun penjara. Keempat, menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara untuk Zulfan Lubis, mantan Kepala Divisi Investasi Askrindo. Vonis ini lebih berat 2 kali lipat dibandingkan putusan banding, yang menghukum Zulfan dengan 7 tahun penjara.
Beberapa contoh ini dimunculkan agar siapa pun tidak salah dalam penilaian terhadap Artidjo Alkostar, misalnya dengan mengatakan sebagai pencitraan diri, sok suci, pendendam, hakim aneh, dan sebagainya. Kita yakini, tuduhan itu tidak benar, dan kalau ada diduga tendensius.
Kita sadar, di era hyperdemocracy saat ini, terdapat sekian banyak hakim-hakim agung yang dilihat dari profesionalitasnya tergolong unqualified, unqualifieable, dan dari moralitasnya tergolong disqualified. Saya meyakini, kualitas rendah itu tidak lepas dari proses rekrutmen hakim agung yang sarat dengan kepentingan politik. Ketika fit and proper test dan penentunya di tangan lembaga politik (DPR), mustahil dilahirkan hakim agung progresif.
Secara kualitas, hakim agung setara Artidjo Alkostar jumlahnya tidak banyak, namun pasti ada selain beliau. Mereka bukan lahir dari “kandungan” partai politik, melainkan dari keluarga sakinah dan kampus bernuansa akademik, beraroma komunalistik- religius. Sepanjang pen g a l a m a n berinteraksi dengan mahasiswa, saya yakin, sebenarnya negeri ini cukup tersedia calon-calon hakim agung progresif. Sungguh sayang, bila mereka tidak dipelihara kemuliaan mentalnya dan dibina profesionalitasnya.
Memasukan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan hukum di fakultas hukum merupakan keniscayaan demi terwujudnya impian memiliki hakim agung berkualitas. Saya malu ketika ingat bahwa salah satu predikat yang melekat pada UGM adalah sebagai universitas Pancasila. UGM pun punya Pusat Studi Pancasila. Tetapi mengapa Pancasila jauh dari jangkauan sivitas akademika dan alumninya?
Mengapa pula, menetapkan penerima UGM Award untuk tokoh penggiat antikorupsi pun gagal? Yuk, introspeksi. Satu hal, tanpa penghargaan apa pun, Artidjo Alkostar pantas menjadi hakim agung teladan. Wallahua’lam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Samar-samar ada informasi, alasan penolakan sudah dikonsultasikan dengan beberapa teman di Fakultas Hukum UGM. Terlepas apa pun alasannya, saya tidak bersoal, apalagi kecewa. Toh, saya hanya diminta membantu Rektor agar ditemukan seseorang yang pantas diberi UGM Award untuk kategori penggiat antikorupsi. Berbekal informasi cukup, semaksimal mungkin usaha saya lakukan sebagai dasar pengusulan tersebut.
Sebatas usulan itu wewenang saya, bukan untuk memutuskannya. Ketika kategori penggiat antikorupsi akhirnya ditiadakan, hal demikian saya maknakan bahwa bagi Rektor UGM belum ada seorang pun pantas diberi predikat sebagai tokoh teladan penggiat antikorupsi di negeri ini. Keesokan harinya, ada berita menarik dan luar biasa. Diwartakan, di tingkat pertama dan kedua, Angelina Sondakh divonis 4 tahun 6 bulan.
Namun pada 20 November 2013 majelis kasasi dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa, berupa pidana 12 tahun penjara, denda 500 juta subsider 8 bulan kurungan, uang pengganti Rp12,580 miliar dan USD2,350 juta dan kalau tidak dibayar dalam sekian waktu harus diganti hukuman 5 tahun penjara. Putusan kasasi yang progresif dari Artidjo Alkostar untuk kesekian kalinya ini patut diapresiasi.
Sujud syukur atas putusan ini. Bagi saya, putusan itu mencerminkan ketajaman hati nurani majelis hakim tersebut. Sepeninggal hakim agung Bismar Siregar, negeri ini seakan gersang dari keadilan. Begitu banyak kasus-kasus masuk pengadilan, tetapi ujung-ujungnya kekecewaan para pencari keadilan, karena putusan hakim jauh dari keadilan sosial.
Dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus korupsi, hakim umumnya terjebak pada sikap pragmatisme, legalistik, dan cenderung berorientasi pada kenyamanan dan kemapanan karier daripada berusaha ke arah terwujudnya keadilan sosial. Kegersangan keadilan itu kini sedikit terobati dengan hadirnya Artidjo Alkostar.
Walaupun putusan progresif lahir dari majelis hakim, tanpa mengurangi rasa hormat kepada anggota majelis hakim, saya yakin peran Artidjo Alkostar signifikan. Sepengetahuan saya dengan mencermati rekam jejak kehidupannya, baik sebelum maupun ketika menjabat hakim agung, tidak ditemukan halhal yang layak dimasalahkan oleh siapa pun pada sosok Artidjo Alkostar. Kehidupannya sederhana, jujur, dan berjalan lurus di atas kebenaran.
Penilaian serupa pernah saya dengar langsung dari hakim agung lain. Artidjo Alkostar dipandang sebagai hakim agung langka karena moralitas dan profesionalitasnya. Wajar, bila kasuskasus rumit dipercayakan penyelesaiannya kepada beliau. Beberapa prestasi masih mudah diingat dan sekaligus menjadi bukti autentik atas kegigihan dan konsistensi menjalankan profesinya sebagai hakim agung.
Pertama, Artidjo Alkostar pernah memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari 5 tahun menjadi 10 tahun penjara, dan memperberat hukuman mantan bendahara umum Partai Demokrat Nazaruddin dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. Kedua, gebrakan superdahsyat menaikkan vonis menjadi 3 kali lebih tinggi dari vonis di tingkat Pertama dan Pengadilan Banding Tipikor atas hukuman Tommy Hindratno, pegawai pajak pada Kantor Pajak Sidoarjo, dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun dan memperberat hukuman Zen Umar, Direktur PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun.
Ketiga, bersama hakim agung Sri Murwahuni dan Suryajaya, memperberat hukuman terdakwa kasus psikotropika dari 1 tahun menjadi 20 tahun penjara. Keempat, menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara untuk Zulfan Lubis, mantan Kepala Divisi Investasi Askrindo. Vonis ini lebih berat 2 kali lipat dibandingkan putusan banding, yang menghukum Zulfan dengan 7 tahun penjara.
Beberapa contoh ini dimunculkan agar siapa pun tidak salah dalam penilaian terhadap Artidjo Alkostar, misalnya dengan mengatakan sebagai pencitraan diri, sok suci, pendendam, hakim aneh, dan sebagainya. Kita yakini, tuduhan itu tidak benar, dan kalau ada diduga tendensius.
Kita sadar, di era hyperdemocracy saat ini, terdapat sekian banyak hakim-hakim agung yang dilihat dari profesionalitasnya tergolong unqualified, unqualifieable, dan dari moralitasnya tergolong disqualified. Saya meyakini, kualitas rendah itu tidak lepas dari proses rekrutmen hakim agung yang sarat dengan kepentingan politik. Ketika fit and proper test dan penentunya di tangan lembaga politik (DPR), mustahil dilahirkan hakim agung progresif.
Secara kualitas, hakim agung setara Artidjo Alkostar jumlahnya tidak banyak, namun pasti ada selain beliau. Mereka bukan lahir dari “kandungan” partai politik, melainkan dari keluarga sakinah dan kampus bernuansa akademik, beraroma komunalistik- religius. Sepanjang pen g a l a m a n berinteraksi dengan mahasiswa, saya yakin, sebenarnya negeri ini cukup tersedia calon-calon hakim agung progresif. Sungguh sayang, bila mereka tidak dipelihara kemuliaan mentalnya dan dibina profesionalitasnya.
Memasukan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan hukum di fakultas hukum merupakan keniscayaan demi terwujudnya impian memiliki hakim agung berkualitas. Saya malu ketika ingat bahwa salah satu predikat yang melekat pada UGM adalah sebagai universitas Pancasila. UGM pun punya Pusat Studi Pancasila. Tetapi mengapa Pancasila jauh dari jangkauan sivitas akademika dan alumninya?
Mengapa pula, menetapkan penerima UGM Award untuk tokoh penggiat antikorupsi pun gagal? Yuk, introspeksi. Satu hal, tanpa penghargaan apa pun, Artidjo Alkostar pantas menjadi hakim agung teladan. Wallahua’lam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
(nfl)