KPK, Anas, oligarki kekuasaan
A
A
A
HAMPIR sembilan bulan Anas Urbaningrum (Anas) telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari 2013.
Anas dijerat dengan pasal penerimaan gratifikasi atau hadiah saat dia masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat perintah penyidikan (sprindik) Anas yang ditandatangani pimpinan KPK, Anas disebutkan tidak hanya diduga menerima hadiah atas proyek Hambalang, tetapi juga proyek-proyek lain. Sudah hampir sembilan bulan Anas ditetapkan sebagai tersangka, KPK belum juga berkeinginan menahan Anas.
Padahal kasus Hambalang termasuk kasus besar yang begitu menyedot perhatian publik. Perhatian publik yang begitu besar ini semestinya harus ditangkap dan dimaknai KPK bahwa publik menghendaki agar kasus Hambalang ini bisa diungkap secara tuntas dan setransparan mungkin, termasuk mengungkap siapa pelakupelaku yang sesungguhnya agar bisa diketahui publik. Kalau KPK peka terhadap keinginan publik, semestinya kasus Hambalang harus mendapat prioritas penanganan ketimbang kasus lain.
Kasus Anas, KPK tebang pilih
Ketika KPK bekerja begitu lelet dalam menangani kasus Anas, tentu patut dipertanyakan. Bagaimana sesungguhnya kasus hukum yang menimpa Anas? Apakah benar kasus yang menimpa Anas sepenuhnya kasus hukum? Kalau benar murni kasus hukum, tentu tidak sulit bagi KPK untuk segera menahan Anas karena sebelum menetapkannya sebagai tersangka, KPK dipastikan sudah harus mempunyai setidaknya dua alat bukti hukum.
Ketika cukup lama KPK tidak juga berkeinginan menahan Anas, tentu pantas dipertanyakan, termasuk dicurigai, motif KPK menersangkakan Anas. Kecurigaan adanya motif politik pun tidaklah berlebihan. Apalagi sebelum Anas menjadi tersangka, muncul beragam peristiwa politik yang mengiringinya yang memperkuat bahwa kasus Anas tak lebih hanyalah kasus politik.
Pertama, soal rilis survei Saeful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menempatkan Partai Demokrat (PD) pada urutan ketiga dengan hanya 8,3%. Kedua, “Rapat Kudeta” Majelis Tinggi PD dengan modus “penyelamatan partai” tanggal 8 Februari 2013 di mana Anas merupakan satu-satunya anggota Majelis Tinggi yang menolak menandatangani hasil rapat tersebut.
Ketiga, pernyataan SBY ketika berada di Jeddah yang bernada intervensi kepada KPK agar KPK mempertegas status hukum Anas. Keempat, soal permintaan agar Anas mengundurkan diri yang datang secara berjamaah dari sebagian elite PD. Kelima, perkembangan faktual di mana banyak nama yang telah disebutkan, baik dalam persidangan tipikor atas kasus Hambalang maupun saksisaksi yang dipanggil KPK hilang atau tidak ditindaklanjuti KPK meski hanya pemanggilan.
Nama Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Bu Pur misalnya yang kerap disebut dalam persidangan maupun saksi-saksi yang dipanggil KPK hingga saat ini belum ditindaklanjuti. Keenam, bukti-bukti yang dijadikan alasan KPK untuk menersangkakan Anas Urbaningrum juga semakin tidak jelas. Pada mulanya KPK bersikukuh bahwa mobil Toyota Harrier menjadi salah satu alat bukti hukum, tetapi dalam perkembangannya soal Toyota Harrier seperti lenyap ditelan bumi.
Awalnya Anas dituduh menerima uang dari Adhi Karya sebesar 100 miliar, kemudian berkurang menjadi 50 miliar, dan saat persidangan Dedy Kusnidar berkurang lagi hingga hanya 2,21 miliar meski kalau dihitung secara benar hanya 2,01 miliar. Artinya ada kekurangan 200 juta. Ketujuh, heboh penggeledahan salah alamat yang dilakukan KPK pada Selasa (12/11) di kediaman Anas. Sesuai dengan surat KPK, penggeledahan semestinya ditujukan ke kediaman Athiyah Laila (istri Anas).
Namun faktanya penggeledahan mula pertama justru dilakukan di Rumah Pergerakan Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Dalam proses penggeledahan, KPK juga bersikap begitu demonstratif dengan melibatkan pasukan Brimob yang bersenjatakan lengkap seperti mau menyerbu markas teroris.
Kedelapan, pernyataan yang selalu berubah-ubah dari pimpinan KPK atas penahanan Anas. Akhir bulan Ramadan lalu Ketua KPK Abraham Samad menyatakan bahwa Anas akan ditahan selepas Lebaran, tapi hingga masuk bulan Muharam pun Anas belum juga ditahan. Belum lama juru bicara KPK Johan Budi menyatakan bahwa KPK masih bergantung kepada penyidik untuk menahan Anas.
Belum ditahannya Anas karena penyidik belum mendapatkan alasan yang tepat (11/11/2013). Rentetan kasus dan peristiwa itu semakin menegaskan bahwa kasus tersangkanya Anas bukan murni kasus hukum, tapi dominan bermuatan politik. Pernyataan Ruhut Sitompul yang menyebut bahwa Anas akan masuk penjara bukan karena Hambalang, tapi karena kasus lain (Tribunnews. com 13/11/2013) harus menjadi perhatian publik.
Kalau pada akhirnya KPK ternyata tidak mampu menjerat Anas dalam kasus Hambalang dan justru mencoba mencari-cari kesalahan Anas, hal itu akan semakin memperkuat dominasi motif politik dalam kasus Anas. Namun seandainya KPK akan mencari-cari kesalahan Anas, lakukanlah secara proporsional. Caranya, cari juga kesalahan dan kejahatan petinggi partai lain.
Dalam sistem politik yang bobrok dan korup seperti yang terjadi saat ini, tentu bukan perkara sulit bagi KPK untuk menyeret pimpinan partai lain sebagai tersangka. Apalagi beberapa elite partai yang ada sempat dan bahkan sering disebut-sebut dalam persidangan-persidangan tipikor, tidak saja terkait dengan kasus Hambalang, tapi juga dalam kasus korupsi lain. Kerja-kerja hukum yang mulia ini hanya akan berjalan dengan baik bila KPK dalam menanganinya bisa bersikap proporsional (al-‘adalah) dan tidak tebang pilih.
Oligarki kekuasaan
Oligarki secara sederhana dimengerti sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang kekuatan politiknya berada di tangan sekelompok kecil (minoritas) anggota masyarakat. Sementara oligarki (pelakunya) sebagaimana dimengerti Jeffrey A Winters dalam Oligarchy (2011) merupakan aktor-aktor yang memerintah dan mengontrol konsentrasi secara masif sumberdaya material yang dapat digunakan untuk melindungi atau mengembangkan kekayaan pribadinya dan posisi sosial yang eksklusif.
Merujuk pada pandangan Winters, akan didapati kecenderungan bahwa dalam sebuah negara oligarki keseluruhan kekuasaan berada di tangan sekelompok minoritas. Kalau dalam konteks trias politica, tiga kekuasaan yang harusnya terpisah atau setidaknya terdistribusi, maka dalam negara oligarki kekuasaan menjadi cenderung terpusat dan dikendalikan oleh segelintir elite pula.
Lembaga penegakan hukum yang harusnya bebas dari campur tangan juga tak luput dari intervensi segelintir elite. Realitas itulah yang hingga saat ini terjadi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Penanganan kasus hukum Anas menjadi gambaran nyata dari cara-cara kerja politik negara oligarki. Anas yang tak punya kuasa apa pun “dikerjai” begitu rupa.
Kasus hukumnya dibuat mengambang dan tanpa ada kepastian hukum. Lazimnya penegakan hukum dalam sebuah negara yang normal, seorang tersangka tentu tidak akan dibiarkan berlama-lama menghirup udara bebas. Karena untuk menetapkan tersangka tentu penegak hukum sudah mendapatkan alat bukti yang cukup. Namun kelaziman penegakan hukum ini tidak berlaku bagi Anas. Hampir sembilan bulan sudah Anas menjadi tersangka, tetapi tidak juga ditahan.
Lazimnya dalam negara hukum yang sehat, tidak akan dipanggil ratusan saksi hanya untuk menetapkan dan menahan seorang tersangka. Namun ini tidak berlaku bagi Anas. Untuk menetapkan Anas sebagai tersangka, KPK harus memanggil ratusan saksi. Semua perlakuan diskriminatif atas diri Anas didapatkan karena Anas tengah dalam posisi “tanpa kuasa”. Bandingkan dengan oligark (segelintir orang) yang saat ini tengah menikmati kekuasaan oligarkis.
Meski sebagian dari oligark sudah kerap disebut namanya dalam persidangan maupun keluar dari mulut para saksi yang dipanggil KPK, jangankan ditetapkan sebagai tersangka, sekadar memanggilnya sebagai saksi untuk beberapa orang yang saat ini tengah menikmati kekuasaan oli-garkis pun KPK seperti tidak mempunyai keberanian.
Oligark sudah menjadi manusia yang kebal hukum dan kekebalan ini oligark dapatkan, karena saat ini oligark tengah hidup di lingkaran kekuasaan yang oligarkis.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Fungsionaris Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Anas dijerat dengan pasal penerimaan gratifikasi atau hadiah saat dia masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat perintah penyidikan (sprindik) Anas yang ditandatangani pimpinan KPK, Anas disebutkan tidak hanya diduga menerima hadiah atas proyek Hambalang, tetapi juga proyek-proyek lain. Sudah hampir sembilan bulan Anas ditetapkan sebagai tersangka, KPK belum juga berkeinginan menahan Anas.
Padahal kasus Hambalang termasuk kasus besar yang begitu menyedot perhatian publik. Perhatian publik yang begitu besar ini semestinya harus ditangkap dan dimaknai KPK bahwa publik menghendaki agar kasus Hambalang ini bisa diungkap secara tuntas dan setransparan mungkin, termasuk mengungkap siapa pelakupelaku yang sesungguhnya agar bisa diketahui publik. Kalau KPK peka terhadap keinginan publik, semestinya kasus Hambalang harus mendapat prioritas penanganan ketimbang kasus lain.
Kasus Anas, KPK tebang pilih
Ketika KPK bekerja begitu lelet dalam menangani kasus Anas, tentu patut dipertanyakan. Bagaimana sesungguhnya kasus hukum yang menimpa Anas? Apakah benar kasus yang menimpa Anas sepenuhnya kasus hukum? Kalau benar murni kasus hukum, tentu tidak sulit bagi KPK untuk segera menahan Anas karena sebelum menetapkannya sebagai tersangka, KPK dipastikan sudah harus mempunyai setidaknya dua alat bukti hukum.
Ketika cukup lama KPK tidak juga berkeinginan menahan Anas, tentu pantas dipertanyakan, termasuk dicurigai, motif KPK menersangkakan Anas. Kecurigaan adanya motif politik pun tidaklah berlebihan. Apalagi sebelum Anas menjadi tersangka, muncul beragam peristiwa politik yang mengiringinya yang memperkuat bahwa kasus Anas tak lebih hanyalah kasus politik.
Pertama, soal rilis survei Saeful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menempatkan Partai Demokrat (PD) pada urutan ketiga dengan hanya 8,3%. Kedua, “Rapat Kudeta” Majelis Tinggi PD dengan modus “penyelamatan partai” tanggal 8 Februari 2013 di mana Anas merupakan satu-satunya anggota Majelis Tinggi yang menolak menandatangani hasil rapat tersebut.
Ketiga, pernyataan SBY ketika berada di Jeddah yang bernada intervensi kepada KPK agar KPK mempertegas status hukum Anas. Keempat, soal permintaan agar Anas mengundurkan diri yang datang secara berjamaah dari sebagian elite PD. Kelima, perkembangan faktual di mana banyak nama yang telah disebutkan, baik dalam persidangan tipikor atas kasus Hambalang maupun saksisaksi yang dipanggil KPK hilang atau tidak ditindaklanjuti KPK meski hanya pemanggilan.
Nama Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Bu Pur misalnya yang kerap disebut dalam persidangan maupun saksi-saksi yang dipanggil KPK hingga saat ini belum ditindaklanjuti. Keenam, bukti-bukti yang dijadikan alasan KPK untuk menersangkakan Anas Urbaningrum juga semakin tidak jelas. Pada mulanya KPK bersikukuh bahwa mobil Toyota Harrier menjadi salah satu alat bukti hukum, tetapi dalam perkembangannya soal Toyota Harrier seperti lenyap ditelan bumi.
Awalnya Anas dituduh menerima uang dari Adhi Karya sebesar 100 miliar, kemudian berkurang menjadi 50 miliar, dan saat persidangan Dedy Kusnidar berkurang lagi hingga hanya 2,21 miliar meski kalau dihitung secara benar hanya 2,01 miliar. Artinya ada kekurangan 200 juta. Ketujuh, heboh penggeledahan salah alamat yang dilakukan KPK pada Selasa (12/11) di kediaman Anas. Sesuai dengan surat KPK, penggeledahan semestinya ditujukan ke kediaman Athiyah Laila (istri Anas).
Namun faktanya penggeledahan mula pertama justru dilakukan di Rumah Pergerakan Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Dalam proses penggeledahan, KPK juga bersikap begitu demonstratif dengan melibatkan pasukan Brimob yang bersenjatakan lengkap seperti mau menyerbu markas teroris.
Kedelapan, pernyataan yang selalu berubah-ubah dari pimpinan KPK atas penahanan Anas. Akhir bulan Ramadan lalu Ketua KPK Abraham Samad menyatakan bahwa Anas akan ditahan selepas Lebaran, tapi hingga masuk bulan Muharam pun Anas belum juga ditahan. Belum lama juru bicara KPK Johan Budi menyatakan bahwa KPK masih bergantung kepada penyidik untuk menahan Anas.
Belum ditahannya Anas karena penyidik belum mendapatkan alasan yang tepat (11/11/2013). Rentetan kasus dan peristiwa itu semakin menegaskan bahwa kasus tersangkanya Anas bukan murni kasus hukum, tapi dominan bermuatan politik. Pernyataan Ruhut Sitompul yang menyebut bahwa Anas akan masuk penjara bukan karena Hambalang, tapi karena kasus lain (Tribunnews. com 13/11/2013) harus menjadi perhatian publik.
Kalau pada akhirnya KPK ternyata tidak mampu menjerat Anas dalam kasus Hambalang dan justru mencoba mencari-cari kesalahan Anas, hal itu akan semakin memperkuat dominasi motif politik dalam kasus Anas. Namun seandainya KPK akan mencari-cari kesalahan Anas, lakukanlah secara proporsional. Caranya, cari juga kesalahan dan kejahatan petinggi partai lain.
Dalam sistem politik yang bobrok dan korup seperti yang terjadi saat ini, tentu bukan perkara sulit bagi KPK untuk menyeret pimpinan partai lain sebagai tersangka. Apalagi beberapa elite partai yang ada sempat dan bahkan sering disebut-sebut dalam persidangan-persidangan tipikor, tidak saja terkait dengan kasus Hambalang, tapi juga dalam kasus korupsi lain. Kerja-kerja hukum yang mulia ini hanya akan berjalan dengan baik bila KPK dalam menanganinya bisa bersikap proporsional (al-‘adalah) dan tidak tebang pilih.
Oligarki kekuasaan
Oligarki secara sederhana dimengerti sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang kekuatan politiknya berada di tangan sekelompok kecil (minoritas) anggota masyarakat. Sementara oligarki (pelakunya) sebagaimana dimengerti Jeffrey A Winters dalam Oligarchy (2011) merupakan aktor-aktor yang memerintah dan mengontrol konsentrasi secara masif sumberdaya material yang dapat digunakan untuk melindungi atau mengembangkan kekayaan pribadinya dan posisi sosial yang eksklusif.
Merujuk pada pandangan Winters, akan didapati kecenderungan bahwa dalam sebuah negara oligarki keseluruhan kekuasaan berada di tangan sekelompok minoritas. Kalau dalam konteks trias politica, tiga kekuasaan yang harusnya terpisah atau setidaknya terdistribusi, maka dalam negara oligarki kekuasaan menjadi cenderung terpusat dan dikendalikan oleh segelintir elite pula.
Lembaga penegakan hukum yang harusnya bebas dari campur tangan juga tak luput dari intervensi segelintir elite. Realitas itulah yang hingga saat ini terjadi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Penanganan kasus hukum Anas menjadi gambaran nyata dari cara-cara kerja politik negara oligarki. Anas yang tak punya kuasa apa pun “dikerjai” begitu rupa.
Kasus hukumnya dibuat mengambang dan tanpa ada kepastian hukum. Lazimnya penegakan hukum dalam sebuah negara yang normal, seorang tersangka tentu tidak akan dibiarkan berlama-lama menghirup udara bebas. Karena untuk menetapkan tersangka tentu penegak hukum sudah mendapatkan alat bukti yang cukup. Namun kelaziman penegakan hukum ini tidak berlaku bagi Anas. Hampir sembilan bulan sudah Anas menjadi tersangka, tetapi tidak juga ditahan.
Lazimnya dalam negara hukum yang sehat, tidak akan dipanggil ratusan saksi hanya untuk menetapkan dan menahan seorang tersangka. Namun ini tidak berlaku bagi Anas. Untuk menetapkan Anas sebagai tersangka, KPK harus memanggil ratusan saksi. Semua perlakuan diskriminatif atas diri Anas didapatkan karena Anas tengah dalam posisi “tanpa kuasa”. Bandingkan dengan oligark (segelintir orang) yang saat ini tengah menikmati kekuasaan oligarkis.
Meski sebagian dari oligark sudah kerap disebut namanya dalam persidangan maupun keluar dari mulut para saksi yang dipanggil KPK, jangankan ditetapkan sebagai tersangka, sekadar memanggilnya sebagai saksi untuk beberapa orang yang saat ini tengah menikmati kekuasaan oli-garkis pun KPK seperti tidak mempunyai keberanian.
Oligark sudah menjadi manusia yang kebal hukum dan kekebalan ini oligark dapatkan, karena saat ini oligark tengah hidup di lingkaran kekuasaan yang oligarkis.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Fungsionaris Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
(nfl)