Geger Mahkamah Konstitusi
A
A
A
TANGGAL 2 Oktober 2013 adalah tanggal sejarah hitam bagi dunia penegakan hukum di Indonesia. Saat itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar tertangkap tangan dalam sangkaan penyuapan.
Sejak itu, Indonesia berduka dan gaduh karena kemarahan rakyat yang begitu dalam. MK pun menjadi objek cemoohan sebagai lembaga yang mencoreng nama bangsa dan negara. Tanggal 14 November 2013 terjadi kegaduhan yang juga sangat mengagetkan. Pendukung salah satu pihak yang beperkara dalam sengketa pemilihan kepala daerah (Maluku) menyerbu ruang sidang, sehingga timbul kegaduhan. Majelis hakim terpaksa menghentikan sidang dan masuk ke ruang tunggu.
Para penyerbu menyerang membabi buta sambil berteriak-teriak dan merusak peralatan resmi persidangan. Menyeruaklah teriakan dan opini, peristiwa itu terjadi karena kepercayaan kepada MK sudah tidak ada lagi, jatuh ke titik nadir. MK bisa saja mengatakan, peristiwa itu merupakan peristiwa kriminal biasa, contempt of court, yang bukan karena merosotnya kepercayaan masyarakat kepada MK.
Tetapi saya berpendapat, peristiwa 14 November, dua hari yang lalu itu, tak dapat dibantah merupakan akibat atau ”kelanjutan logis” dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK pascatertangkapnya ketua MK, enam minggu sebelumnya. Sejak tertangkapnya ketua MK, ketidakpercayaan terus bergelombang. Setiap hari pers memberitakan betapa hancurnya negara hukum kita.
Demo-demo di Gedung MK maupun di berbagai daerah selalu muncul, apalagi sangkaan kepada Akil Mochtar selalu bertambah dari waktu ke waktu. Dalam keadaan seperti itu, wajar muncul sekelompok masyarakat yang bisa menggunakan situasi buruk di MK itu untuk berani melakukan penyerangan fisik terhadap MK. Saya percaya, vonis MK dalam kasus Pilkada Maluku sudah benar menurut hukum.
Saya juga meyakini, tidak ada penyuapan atau kolusi dalam perkara itu. Tetapi oleh karena MK sudah diopinikan tidak dapat dipercaya, maka meskipun para hakim sudah membuat vonis yang benar, tetap saja diserang dan dituduh tidak berbuat adil. Itulah akibat buruk yang dulu sering saya gambarkan di depan keluarga besar MK. Saya sering mengatakan, begitu ada orang MK yang tertangkap melakukan kolusi, menerima suap, dan korupsi, maka MK akan tidak lagi dipercaya oleh masyarakat.
Tertangkapnya hakim MK akan menjadi alasan orang yang kalah secara wajar untuk menyerang MK secara tidak wajar. Itulah yang sekarang benar-benar terjadi. Hanya seorang hakim yang melakukan, tetapi semua hakim dan seluruh tubuh MK menerima getahnya, tidak bisa dipercaya oleh masyarakat. Berlaku pepatah, ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Sebenarnya, gelombang-gelombang demonstrasi yang saling berhadapan antara pendukung pihak yang satu dan pendukung pihak yang lain sejak dulu sudah selalu terjadi di MK. Namun, aksi brutal yang sampai mengobrak-abrik ruang sidang ketika ruangan itu sedang diduduki oleh para hakim yang bersidang mewakili negara, baru kali ini terjadi. Dulu kalau ada orang berisik dan berbicara di ruang sidang dengan dilihat dan diangguki saja semua menjadi tenang.
Bahkan, beberapa kali ketua sidang bisa mengusir orang yang tidak tertib dari ruang sidang MK dan yang diusir benarbenar keluar dengan taat. Yang menyedihkan, dalam peristiwa 14 November itu, justru hakimnya yang terusir dari meja terhormatnya. Alec Stone dalam Harvard Handbook, 2012, menulis bahwa Indonesia merupakan salah satu MK dari sepuluh MK yang paling efektif dan baik di seluruh dunia.
Itu diutarakan setelah sang begawan hukum konstitusi terkemuka untuk dekade ini tersebut mengomparasikan MK-MK yang ada di dunia. Tetapi sekarang penilaian atas prestasi MK Indonesia mungkin akan melorot jatuh, entah sampai ke tingkat apa. Adanya MK adalah perintah konstitusi untuk menegakkan nomokrasi (kedaulatan hukum) guna mengimbangi demokrasi (kedaulatan rakyat).
MK juga sudah menunjukkan perannya yang sangat penting dan strategis dalam menegakkan prinsip negara hukum yang berdasar konstitusi di Indonesia. Oleh sebab itu, upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK harus dilakukan dengan berbagai cara. Pers tentu bisa mengambil peran penting dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK.
Tanpa harus mengurangi pengawasan dan kritik tajamnya terhadap MK, pers bisa menjelaskan kepada publik bahwa tidak semua hakim MK itu pasti terlibat dalam penyuapan. Haruslah diluruskan opini sesat bahwa kalau seorang hakim terlibat korupsi dan penyuapan, maka hakim-hakim lain pasti terlibat karena keputusan dibuat secara kolektif.
Kesimpulan itu salah, karena bisa saja seorang hakim menerima suap tanpa sepengetahuan hakim lain setelah ada keputusan rapat permusyawaratan hakim. Di sini seorang hakim bisa menghubungi pihak yang beperkara untuk dimintai ”suap”, padahal perkaranya memang sudah menang sendiri. Setelah rapat memutuskan yang kalah dan yang menang, tapi sebelum diucapkan secara resmi dalam sidang terbuka, bisa saja seorang hakim tanpa sepengetahuan hakim-hakim lain meminta suap kepada yang menang.
Pemahaman itulah yang harus secara fair dijelaskan oleh pers kepada publik. Itulah salah satu cara mengembalikan kewibawaan MK. Kembalikan dulu kepercayaan terhadap hakim-hakimnya yang masih ada.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Sejak itu, Indonesia berduka dan gaduh karena kemarahan rakyat yang begitu dalam. MK pun menjadi objek cemoohan sebagai lembaga yang mencoreng nama bangsa dan negara. Tanggal 14 November 2013 terjadi kegaduhan yang juga sangat mengagetkan. Pendukung salah satu pihak yang beperkara dalam sengketa pemilihan kepala daerah (Maluku) menyerbu ruang sidang, sehingga timbul kegaduhan. Majelis hakim terpaksa menghentikan sidang dan masuk ke ruang tunggu.
Para penyerbu menyerang membabi buta sambil berteriak-teriak dan merusak peralatan resmi persidangan. Menyeruaklah teriakan dan opini, peristiwa itu terjadi karena kepercayaan kepada MK sudah tidak ada lagi, jatuh ke titik nadir. MK bisa saja mengatakan, peristiwa itu merupakan peristiwa kriminal biasa, contempt of court, yang bukan karena merosotnya kepercayaan masyarakat kepada MK.
Tetapi saya berpendapat, peristiwa 14 November, dua hari yang lalu itu, tak dapat dibantah merupakan akibat atau ”kelanjutan logis” dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK pascatertangkapnya ketua MK, enam minggu sebelumnya. Sejak tertangkapnya ketua MK, ketidakpercayaan terus bergelombang. Setiap hari pers memberitakan betapa hancurnya negara hukum kita.
Demo-demo di Gedung MK maupun di berbagai daerah selalu muncul, apalagi sangkaan kepada Akil Mochtar selalu bertambah dari waktu ke waktu. Dalam keadaan seperti itu, wajar muncul sekelompok masyarakat yang bisa menggunakan situasi buruk di MK itu untuk berani melakukan penyerangan fisik terhadap MK. Saya percaya, vonis MK dalam kasus Pilkada Maluku sudah benar menurut hukum.
Saya juga meyakini, tidak ada penyuapan atau kolusi dalam perkara itu. Tetapi oleh karena MK sudah diopinikan tidak dapat dipercaya, maka meskipun para hakim sudah membuat vonis yang benar, tetap saja diserang dan dituduh tidak berbuat adil. Itulah akibat buruk yang dulu sering saya gambarkan di depan keluarga besar MK. Saya sering mengatakan, begitu ada orang MK yang tertangkap melakukan kolusi, menerima suap, dan korupsi, maka MK akan tidak lagi dipercaya oleh masyarakat.
Tertangkapnya hakim MK akan menjadi alasan orang yang kalah secara wajar untuk menyerang MK secara tidak wajar. Itulah yang sekarang benar-benar terjadi. Hanya seorang hakim yang melakukan, tetapi semua hakim dan seluruh tubuh MK menerima getahnya, tidak bisa dipercaya oleh masyarakat. Berlaku pepatah, ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Sebenarnya, gelombang-gelombang demonstrasi yang saling berhadapan antara pendukung pihak yang satu dan pendukung pihak yang lain sejak dulu sudah selalu terjadi di MK. Namun, aksi brutal yang sampai mengobrak-abrik ruang sidang ketika ruangan itu sedang diduduki oleh para hakim yang bersidang mewakili negara, baru kali ini terjadi. Dulu kalau ada orang berisik dan berbicara di ruang sidang dengan dilihat dan diangguki saja semua menjadi tenang.
Bahkan, beberapa kali ketua sidang bisa mengusir orang yang tidak tertib dari ruang sidang MK dan yang diusir benarbenar keluar dengan taat. Yang menyedihkan, dalam peristiwa 14 November itu, justru hakimnya yang terusir dari meja terhormatnya. Alec Stone dalam Harvard Handbook, 2012, menulis bahwa Indonesia merupakan salah satu MK dari sepuluh MK yang paling efektif dan baik di seluruh dunia.
Itu diutarakan setelah sang begawan hukum konstitusi terkemuka untuk dekade ini tersebut mengomparasikan MK-MK yang ada di dunia. Tetapi sekarang penilaian atas prestasi MK Indonesia mungkin akan melorot jatuh, entah sampai ke tingkat apa. Adanya MK adalah perintah konstitusi untuk menegakkan nomokrasi (kedaulatan hukum) guna mengimbangi demokrasi (kedaulatan rakyat).
MK juga sudah menunjukkan perannya yang sangat penting dan strategis dalam menegakkan prinsip negara hukum yang berdasar konstitusi di Indonesia. Oleh sebab itu, upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK harus dilakukan dengan berbagai cara. Pers tentu bisa mengambil peran penting dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK.
Tanpa harus mengurangi pengawasan dan kritik tajamnya terhadap MK, pers bisa menjelaskan kepada publik bahwa tidak semua hakim MK itu pasti terlibat dalam penyuapan. Haruslah diluruskan opini sesat bahwa kalau seorang hakim terlibat korupsi dan penyuapan, maka hakim-hakim lain pasti terlibat karena keputusan dibuat secara kolektif.
Kesimpulan itu salah, karena bisa saja seorang hakim menerima suap tanpa sepengetahuan hakim lain setelah ada keputusan rapat permusyawaratan hakim. Di sini seorang hakim bisa menghubungi pihak yang beperkara untuk dimintai ”suap”, padahal perkaranya memang sudah menang sendiri. Setelah rapat memutuskan yang kalah dan yang menang, tapi sebelum diucapkan secara resmi dalam sidang terbuka, bisa saja seorang hakim tanpa sepengetahuan hakim-hakim lain meminta suap kepada yang menang.
Pemahaman itulah yang harus secara fair dijelaskan oleh pers kepada publik. Itulah salah satu cara mengembalikan kewibawaan MK. Kembalikan dulu kepercayaan terhadap hakim-hakimnya yang masih ada.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(nfl)