Konteks (bingkai) sejarah
A
A
A
Ketika almarhum Bambang Widjanarko (ajudan Presiden Soekarno 1960– 1965) menulis pengalaman bergaul akrab dengan Bung Karno dan mencantumkan bahwa bendera pusaka jahitan Ibu Fatmawati yang dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan, ditaruh simbolik di dasar tugu Monas untuk mendasari ibu pertiwi dengan Merah Putih, saya lalu menangkap pentingnya kisah bingkai sejarah Monumen Nasional.
Tidak hanya itu, karena nyala api di puncak tugu sebagai “api yang tidak boleh padam untuk merdeka dan menjadi bangsa yang bermartabat”, lalu mendapatkan konteks maknanya dengan sang saka Merah Putih “menyelimuti” bumi pertiwi Indonesia. Bingkai sejarah adalah kisah pemaknaan yang memberi konteks “arti” bila kita mengunjungi Monas.
Bingkai makna dengan penelitian sejarah yang dikaitkan dengan bangunan arsitektur Bung Karno menjadi lengkap oleh disertasi Juke Ardiati di Universitas Indonesia, karena memberi makna panggung Bung Karno sebagai presiden berkarisma, pemimpin agung bangsa ini, sekaligus arsitek panggung Indonesia di keterlibatan dunia internasional sebagai bangsa merdeka dengan kekuatan baru antikolonialis yang mendamba dan berjuang untuk kepribadian dalam kebudayaan, mandiri dalam ekonomi serta berdaulat dalam politik.
Meski disertasi itu lebih menggarisbawahi problematika mercusuar, tanpa bingkai makna arsitektur gedung-gedung bersejarah karya Bung Karno maka Jakarta menjadi kehilangan sebagian ruhnya.
Bingkai sejarah menaruh bangunan atau monumen atau pula warisan (baca: heritage) yang bukan benda, menjadi bermakna untuk generasi-generasi berikutnya. Sama analoginya dengan relief Candi Prambanan dengan narasi epos Ramayana akan tetap tidak terbaca dan berhenti menjadi “pahatan batu” bila tidak ada yang mengisahkannya, entah itu guru sejarah, arkeolog, atau guru-guru sekolah kita yang sebenarnya merupakan tour guide yang penting posisinya kala mengantar liburan kunjungan candi oleh anak-anak sekolah.
Pertanyaannya? Mengenalkah mereka ini dengan konteks sejarah di balik relief candi? Bagaimana bisa menyayanginya kalau belum mengenalnya? Saya sewaktu sekolah dasar di Solo, beruntung mendapatkan guruguru pencerita yang hebat dan mampu menanam kecintaan pada sejarah ketika dimulai dari kunjungan ke museum Radya Pustaka, Keraton Solo, sungai bersejarah Bengawan Solo, termasuk mengenalkannya dengan Bapak Gesang, sang pengarang lagu.
Saya juga beruntung ketika di SMA seminari, mendapatkan guru-guru sejarah alm. G. Moedjanto yang tidak lelahlelahnya mengajak mencintai tanah air melalui kecintaan sejarah sebagai bingkai maknanya.
Bila di saat mata pelajaran sejarah tradisi tuturan dan lisan ditampilkan dengan memukau, kini kita semua bisa membaca dalam tradisi buku kertas tulis di buku-buku pelajaran sejarah SMA karangan G Moedjanto dengan ringkas, padat makna namun mengajak merenungi mengapa bingkai sejarah menjadi pemberian makna untuk cinta bangsa dan cinta Indonesia.
Di mana dan di periode masa kapankah? Dalam pendidikan sedini mungkin, bingkai sejarah itu bisa diberikan. Awal mulanya pasti berupa informasi lalu bahan kognitif kemudian proses pembatinannya melalui internalisasi dalam bentuk “saling berkisah pengalaman setelah berkunjung salah satu museum atau candi”. Kemudian lagi, bisa meminta tulisan rangkuman berupa karangan tatap mata anak terhadap kunjungan itu.
Namun, seluruh kegiatan ini harus ditaruh di ruang homo ludens. Artinya, anak-anak bergembira dan menikmati bermain-main dalam prosesnya. Saya melihat, kewajiban menulis hasil laporan kunjungan museum misalnya, telah merusak sisi keasyikan anak-anak sebagai homo ludens (baca: manusia adalah makhluk yang berbahagia dalam bermain).
Mengapa? Pertama, spontanitas latihan berpikir dan bertanya kritis untuk belajar memuaskan rasa ingin tahu (ini sumber pengetahuan), lalu menjadi beban yang wajib hingga pertanyaan-pertanyaan pun jadi klise tidak kreatif karena beban tugas wajib.
Kedua, ruang atau ranah asyik dalam ingin tahu dan penyerapan informasi sampai mengertimaknadibalikbangunan membutuhkan terjaminnya praksis kebebasan menatap dengan mata, bisik-bisik asyik dengan teman, lalu bebas bertanya karena benar-benar ingin tahu dan bukan karena deretan pertanyaan-pertanyaan wajib bukan buatan spontan mereka sendiri.
Ketika belum lama ini saya berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda di Kramat Raya Jakarta, saya melihat dua macam rombongan anak sekolah yang hadir. Kelompok yang satu terburu-buru sibuk mencatat dan mengisi jawaban dari pertanyaan yang sudah dibawa dari kelas. Akibatnya, hilanglah keasyikan mengenal museum karena “lelah” memenuhi kewajiban harus membuat karangan laporan kunjungan.
Ketika saya tanya dua di antara mereka mengenai suka atau senangnya mengenal Sumpah Pemuda, jawab mereka, ‘wah capai Pak, karena mencatat terus …, ini saja belum tahu kapan bisa menuliskan laporan kunjungan?’. Kelompok kedua tanpa beban, diberikisahsingkatgurunya dan penuntun museum, lalu asyik bertanya ini dan itu.
Ketika telinga saya ikut mendengarkan, muncullah antusias yang menandai cikal bakal tercapainya salah satu tujuan kunjungan museum, yaitu mengenal lebih dahulu dengan sukacita, lalu akan tumbuh menyayanginya dengan melanjutkan keinginan tahu mereka di mata pelajaran sejarah, bukubuku atau mereka yang berpunya, mencarinya di Google, generasi digital, dan dunia maya.
Dengan cuplikan fenomena-fenomena di atas, jelaslah harapan pelakunya semakin diciptakannya bingkaibingkai sejarah sebagai konteks makna untuk mengenalsejarahbangsa ini dengan kecintaannya, kalau ingin merajutnya dari generasi kecil, muda, dandewasa. Itu pulalah pengalaman saya ketika dikenalkan pada Candi Borobudur dengan simbolik sebuah daun pohon bodhi yang bentuknya serupa dengan stupa-stupa candi.
Lalu diterangkan oleh guru budaya SLTP dan SMA, “siapa dan mengapa Borobudur”, dengan mengunjungi sehari penuh sambil setiap kali berhenti “mengunyah- unyah” penjelasan-penjelasan ringan berisi, namun menyenangkan mengenai kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. Tahapan-tahapan penziarahan manusia menuju moksa.
Waktu itu belum berbingkai budhisme Mahayana. Kini setelah membaca-baca, terus baru menyadari masuknya Tantrayana melalui disertasi Dr. Noerhadi Magetsari yang dahsyat lewat kajian abad ke-9, teks Sang Hyang Kamahayanikan dan relief candi, karena Doktor Noerhadi membuka pandangan sejarah makna dengan tesis “mengenal Borobudur harus menaruhnya dalam bingkai agama yang menjadi pertumbuhan dan pendirinya”.
Mengenal Borobudur harus mengenal kebudayaan di mana ia dihidupinya. Dalam tesisnya Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya’ (1997) sekali lagi bingkai sejarah arkeologis pun butuh penelitian konteks sejarah agama yang menghidupi kenapa dan untuk apa bangunan candi dibuat?
Ketika akan menutup tulisan ini, saya langsung teringat pada dua peristiwa kesibukan kelompok Samana Foundation yang tahun 2012 berfokus mengajak mencintai kisah sejarah melalui pengarangpengarang silat, pengarang babad dengan mempertemukan yang “fiksi” dan data sejarawan serta arkeologis, sehingga membuahkan sintesis bahwa Nusantara akan dicintai ketika semakin banyak narator kisah, arkeolog dan sejarawan menjadi jembatan yang mengenalkan terus sejarah Nusantara kita.
Sedang peristiwa kerja kami dari Samana untuk tahun 2013 berfokus pada “Memori Rempah dan bahari dalam poskolonial dan kolonial” selama 4 hari 3 malam dalam perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF). Dalam BWCF 2013 ini, saya belajar banyak dan dengan rendah hati menyadari bahwa “kami orang-orang daratan agraris” ini pingsan dan lupa lautan, karena Indonesia itu tidak hanya daratan tetapi terutama lautan.
AB Lapian-lah yang seorang ilmuwan sejarah memulai dan membuka kesadaran untuk berani berbalik arus kesadaran sejarah karena makna Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai archipelagosejatinya merupakan lautan samudra utama, di mana pulau-pulau berada di atasnya. Konsekuensinya, zonasi atau pengukuran kewilayahan harus zonasi lautan dan bukan daratan.
Deklarasi Juanda sudah ke sana, namun kini kita disandera zonasi daratan hingga imperialisme tambang, pantai serta kekayaan bawah air sudah dikaveling perundangan dan MOU yang menghabisi kekayaan lautan kita.
AB Lapianlah pula yang menyadarkan bacaan bingkai sejarah maritim kita, bahwa fakta abad ke-19 historis lautan dengan pelabuhanpelabuhan dan rempah-rempah serta perdagangan laut sudah dicengkeram oleh kolonialis Belanda, maka yang memberontak dan berjuang untuk survival otonomi lautan adalah para bajak laut, orang laut dan raja laut! (disertasi AB Lapian).
Renung ini membawa saya pada fenomena lupa lautan, terutama karena dahulu saya dilatih bisa berenang di asrama dengan diceburkan dan oleh pendidik, ditanam kesadaran bahwa Jawa-mu itu daratan dan di ujung pulau sudah lautan, maka kalian harus bisa berenang! Benarkah lantaran kesadaran laut (kesadaran bahari) dan kesadaran bertanah menjadi inti pertaruhan kita sebagai bangsa Indonesia yang pernah berikrar bertanah air satu tanah air Indonesia?
Bila di bawah tanah, kekayaan mineral sudah dihabiskan, kita jual ke asing lalu di bawah air demikian juga. Pertanyaan menyedihkan adalah: bangsa yang kehilangan tanah dan air masihkah berdaulat?
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara dan UI, Budayawan
Tidak hanya itu, karena nyala api di puncak tugu sebagai “api yang tidak boleh padam untuk merdeka dan menjadi bangsa yang bermartabat”, lalu mendapatkan konteks maknanya dengan sang saka Merah Putih “menyelimuti” bumi pertiwi Indonesia. Bingkai sejarah adalah kisah pemaknaan yang memberi konteks “arti” bila kita mengunjungi Monas.
Bingkai makna dengan penelitian sejarah yang dikaitkan dengan bangunan arsitektur Bung Karno menjadi lengkap oleh disertasi Juke Ardiati di Universitas Indonesia, karena memberi makna panggung Bung Karno sebagai presiden berkarisma, pemimpin agung bangsa ini, sekaligus arsitek panggung Indonesia di keterlibatan dunia internasional sebagai bangsa merdeka dengan kekuatan baru antikolonialis yang mendamba dan berjuang untuk kepribadian dalam kebudayaan, mandiri dalam ekonomi serta berdaulat dalam politik.
Meski disertasi itu lebih menggarisbawahi problematika mercusuar, tanpa bingkai makna arsitektur gedung-gedung bersejarah karya Bung Karno maka Jakarta menjadi kehilangan sebagian ruhnya.
Bingkai sejarah menaruh bangunan atau monumen atau pula warisan (baca: heritage) yang bukan benda, menjadi bermakna untuk generasi-generasi berikutnya. Sama analoginya dengan relief Candi Prambanan dengan narasi epos Ramayana akan tetap tidak terbaca dan berhenti menjadi “pahatan batu” bila tidak ada yang mengisahkannya, entah itu guru sejarah, arkeolog, atau guru-guru sekolah kita yang sebenarnya merupakan tour guide yang penting posisinya kala mengantar liburan kunjungan candi oleh anak-anak sekolah.
Pertanyaannya? Mengenalkah mereka ini dengan konteks sejarah di balik relief candi? Bagaimana bisa menyayanginya kalau belum mengenalnya? Saya sewaktu sekolah dasar di Solo, beruntung mendapatkan guruguru pencerita yang hebat dan mampu menanam kecintaan pada sejarah ketika dimulai dari kunjungan ke museum Radya Pustaka, Keraton Solo, sungai bersejarah Bengawan Solo, termasuk mengenalkannya dengan Bapak Gesang, sang pengarang lagu.
Saya juga beruntung ketika di SMA seminari, mendapatkan guru-guru sejarah alm. G. Moedjanto yang tidak lelahlelahnya mengajak mencintai tanah air melalui kecintaan sejarah sebagai bingkai maknanya.
Bila di saat mata pelajaran sejarah tradisi tuturan dan lisan ditampilkan dengan memukau, kini kita semua bisa membaca dalam tradisi buku kertas tulis di buku-buku pelajaran sejarah SMA karangan G Moedjanto dengan ringkas, padat makna namun mengajak merenungi mengapa bingkai sejarah menjadi pemberian makna untuk cinta bangsa dan cinta Indonesia.
Di mana dan di periode masa kapankah? Dalam pendidikan sedini mungkin, bingkai sejarah itu bisa diberikan. Awal mulanya pasti berupa informasi lalu bahan kognitif kemudian proses pembatinannya melalui internalisasi dalam bentuk “saling berkisah pengalaman setelah berkunjung salah satu museum atau candi”. Kemudian lagi, bisa meminta tulisan rangkuman berupa karangan tatap mata anak terhadap kunjungan itu.
Namun, seluruh kegiatan ini harus ditaruh di ruang homo ludens. Artinya, anak-anak bergembira dan menikmati bermain-main dalam prosesnya. Saya melihat, kewajiban menulis hasil laporan kunjungan museum misalnya, telah merusak sisi keasyikan anak-anak sebagai homo ludens (baca: manusia adalah makhluk yang berbahagia dalam bermain).
Mengapa? Pertama, spontanitas latihan berpikir dan bertanya kritis untuk belajar memuaskan rasa ingin tahu (ini sumber pengetahuan), lalu menjadi beban yang wajib hingga pertanyaan-pertanyaan pun jadi klise tidak kreatif karena beban tugas wajib.
Kedua, ruang atau ranah asyik dalam ingin tahu dan penyerapan informasi sampai mengertimaknadibalikbangunan membutuhkan terjaminnya praksis kebebasan menatap dengan mata, bisik-bisik asyik dengan teman, lalu bebas bertanya karena benar-benar ingin tahu dan bukan karena deretan pertanyaan-pertanyaan wajib bukan buatan spontan mereka sendiri.
Ketika belum lama ini saya berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda di Kramat Raya Jakarta, saya melihat dua macam rombongan anak sekolah yang hadir. Kelompok yang satu terburu-buru sibuk mencatat dan mengisi jawaban dari pertanyaan yang sudah dibawa dari kelas. Akibatnya, hilanglah keasyikan mengenal museum karena “lelah” memenuhi kewajiban harus membuat karangan laporan kunjungan.
Ketika saya tanya dua di antara mereka mengenai suka atau senangnya mengenal Sumpah Pemuda, jawab mereka, ‘wah capai Pak, karena mencatat terus …, ini saja belum tahu kapan bisa menuliskan laporan kunjungan?’. Kelompok kedua tanpa beban, diberikisahsingkatgurunya dan penuntun museum, lalu asyik bertanya ini dan itu.
Ketika telinga saya ikut mendengarkan, muncullah antusias yang menandai cikal bakal tercapainya salah satu tujuan kunjungan museum, yaitu mengenal lebih dahulu dengan sukacita, lalu akan tumbuh menyayanginya dengan melanjutkan keinginan tahu mereka di mata pelajaran sejarah, bukubuku atau mereka yang berpunya, mencarinya di Google, generasi digital, dan dunia maya.
Dengan cuplikan fenomena-fenomena di atas, jelaslah harapan pelakunya semakin diciptakannya bingkaibingkai sejarah sebagai konteks makna untuk mengenalsejarahbangsa ini dengan kecintaannya, kalau ingin merajutnya dari generasi kecil, muda, dandewasa. Itu pulalah pengalaman saya ketika dikenalkan pada Candi Borobudur dengan simbolik sebuah daun pohon bodhi yang bentuknya serupa dengan stupa-stupa candi.
Lalu diterangkan oleh guru budaya SLTP dan SMA, “siapa dan mengapa Borobudur”, dengan mengunjungi sehari penuh sambil setiap kali berhenti “mengunyah- unyah” penjelasan-penjelasan ringan berisi, namun menyenangkan mengenai kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. Tahapan-tahapan penziarahan manusia menuju moksa.
Waktu itu belum berbingkai budhisme Mahayana. Kini setelah membaca-baca, terus baru menyadari masuknya Tantrayana melalui disertasi Dr. Noerhadi Magetsari yang dahsyat lewat kajian abad ke-9, teks Sang Hyang Kamahayanikan dan relief candi, karena Doktor Noerhadi membuka pandangan sejarah makna dengan tesis “mengenal Borobudur harus menaruhnya dalam bingkai agama yang menjadi pertumbuhan dan pendirinya”.
Mengenal Borobudur harus mengenal kebudayaan di mana ia dihidupinya. Dalam tesisnya Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya’ (1997) sekali lagi bingkai sejarah arkeologis pun butuh penelitian konteks sejarah agama yang menghidupi kenapa dan untuk apa bangunan candi dibuat?
Ketika akan menutup tulisan ini, saya langsung teringat pada dua peristiwa kesibukan kelompok Samana Foundation yang tahun 2012 berfokus mengajak mencintai kisah sejarah melalui pengarangpengarang silat, pengarang babad dengan mempertemukan yang “fiksi” dan data sejarawan serta arkeologis, sehingga membuahkan sintesis bahwa Nusantara akan dicintai ketika semakin banyak narator kisah, arkeolog dan sejarawan menjadi jembatan yang mengenalkan terus sejarah Nusantara kita.
Sedang peristiwa kerja kami dari Samana untuk tahun 2013 berfokus pada “Memori Rempah dan bahari dalam poskolonial dan kolonial” selama 4 hari 3 malam dalam perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF). Dalam BWCF 2013 ini, saya belajar banyak dan dengan rendah hati menyadari bahwa “kami orang-orang daratan agraris” ini pingsan dan lupa lautan, karena Indonesia itu tidak hanya daratan tetapi terutama lautan.
AB Lapian-lah yang seorang ilmuwan sejarah memulai dan membuka kesadaran untuk berani berbalik arus kesadaran sejarah karena makna Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai archipelagosejatinya merupakan lautan samudra utama, di mana pulau-pulau berada di atasnya. Konsekuensinya, zonasi atau pengukuran kewilayahan harus zonasi lautan dan bukan daratan.
Deklarasi Juanda sudah ke sana, namun kini kita disandera zonasi daratan hingga imperialisme tambang, pantai serta kekayaan bawah air sudah dikaveling perundangan dan MOU yang menghabisi kekayaan lautan kita.
AB Lapianlah pula yang menyadarkan bacaan bingkai sejarah maritim kita, bahwa fakta abad ke-19 historis lautan dengan pelabuhanpelabuhan dan rempah-rempah serta perdagangan laut sudah dicengkeram oleh kolonialis Belanda, maka yang memberontak dan berjuang untuk survival otonomi lautan adalah para bajak laut, orang laut dan raja laut! (disertasi AB Lapian).
Renung ini membawa saya pada fenomena lupa lautan, terutama karena dahulu saya dilatih bisa berenang di asrama dengan diceburkan dan oleh pendidik, ditanam kesadaran bahwa Jawa-mu itu daratan dan di ujung pulau sudah lautan, maka kalian harus bisa berenang! Benarkah lantaran kesadaran laut (kesadaran bahari) dan kesadaran bertanah menjadi inti pertaruhan kita sebagai bangsa Indonesia yang pernah berikrar bertanah air satu tanah air Indonesia?
Bila di bawah tanah, kekayaan mineral sudah dihabiskan, kita jual ke asing lalu di bawah air demikian juga. Pertanyaan menyedihkan adalah: bangsa yang kehilangan tanah dan air masihkah berdaulat?
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara dan UI, Budayawan
(nfl)