DPT lampaui administrasi
A
A
A
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) sekali lagi mendapat ujian dalam pelaksanaan tugasnya. Forum Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Forum tersebut mempersoalkan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) oleh KPU, Senin (4/11/2013). Tiga penggugat yakni M Imam Naser, Eko Prima Nanda, dan Erlanda Juliansyahputra yang tergabung dalam forum mendaftarkan pengaduan tersebut ke DKPP melalui surat pengaduan bernomor 329/1-P/L-DKPP/ 2013. Persoalan yang diangkat para pengadu di DKPP terkait penetapan DPT berangkat dari penetapan DPT yang diduga telah dilakukan KPU tanpa menyertakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dinilai melanggar UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.
Pasal 33 ayat (2) UU Pemilu mengatur bahwa daftar pemilih paling sedikit memuat NIK, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat warga negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak memilih. Namun, penetapan DPT oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (4/11), masih menyisakan sekitar 10,4juta pemilih tanpa NIK. Padahal, UU Pemilu tersebut mengatur bahwa NIK harus dicantumkan dalam DPT. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto berpendapat, jika KPU lalai dan terbukti menyertakan pemilih tanpa NIK, itu berdampak pada pelanggaran pemilihan umum (pemilu).
Didik yang notabene mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) memaklumi kondisi KPU yang harus menetapkan DPT secara cepat karena terbentur tahapan pemilu. Namun, dalam persoalan DPT, persoalan paling besar yang dihadapi KPU adalah jumlah pemilih tanpa NIK. Menurut Didik, jumlah pemilih tanpa NIK tersebar di seluruh daerah antara lain disebabkan seorang penghuni rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan, warga yang tinggal di pengungsian akibat konflik, pemilih pemula yang tinggal di pesantren atau asrama, serta warga yang masih menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) lama.
KPU mengklaim telah membereskan 3,2 juta dari 10,4 juta pemilih dengan NIK invalid dalam DPT. Saat ini KPU masih memverifikasi 7,2 juta data pemilih dengan NIK yang invalid. Jika sudah terverifikasi semua, KPU akan menyerahkan hasilnya ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk pembuatan NIK-nya. Memang, Pasal 13 ayat (1) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) meletakkan kewajiban memiliki NIK ada pada setiap penduduk.
Sementara tanggung jawab administratif dalam pengawasan atas pelaksanaan kewajiban untuk memperoleh NIK bagi setiap penduduk dalam UU Adminduk diletakkan pada kewenangan pemerintah kabupaten/kota meskipun tanggung jawab pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala nasional tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat (baca: Kemendagri).
Mencermati sistem regulasi yang mengatur administrasi kependudukan di atas terlihat bahwa penetapan DPT yang dilakukan dengan menyisakan persoalan NIK terhadap sekitar 10,4 juta pemilih tak bisa sepenuhnya dibebankan pada KPU. Kedudukan KPU yang bersifat otonom sebagai suatu lembaga negara ekstrastruktural (state auxiliary agency) seharusnya diberikan diskresi dalam menghadapi kondisi emergency dalam tahapan pemilu, termasuk dalam soal administrasi penetapan DPT.
Kekacauan administrasi
Tanggung jawab untuk melaksanakan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan penduduk dalam pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil menurut Pasal 8 ayat (1) huruf f diletakkan pada instansi pelaksana, yang menurut Pasal 1 angka (7) UU Adminduk adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan.
Dalam sistem otonomi daerah saat ini sudah menjadi sebuah common sense bahwa pemerintah pusat terkesan kehilangan kendali politik, administratif, dan keuangan terhadap pemerintah daerah yangmenimbulkan problem disharmoni kewenangan antara pusat dan daerah. Sangat tidak layak jika problem administratif kependudukan yang terjadi sebagai salah satu dampak dari disharmoni relasi pusat-daerah dipindahkan menjadi beban KPU pada saat harus mengambil keputusan cepat untuk memberikan hak politik bagi para pemilih yang dijamin konstitusi meskipun di sana-sini masih menyisakan problem administratif DPT.
Rendahnya kapasitas Kemendagri sebagai institusi penanggung jawab utama dalam masalah administrasi kependudukan sebagaimana diatur dalam UU Adminduk serta kekisruhan penerapan sistem e- KTP jangan sampai menjadi sebab bagi warga negara untuk kehilangan hak memilih. Mahkamah Konstitusi RI pada masa lalu melalui Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bahkan pernah memutuskan bahwa selain warga negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, warga negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) yang masih berlaku atau paspor yang masih berlaku bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Analog dengan putusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut KPU ingin mengacu pada substansi untuk melindungi hak pilih warga negara dalam pemilu sebagai mandat konstitusi melampaui sekadar persoalan administratif belaka. Eksistensi Pasal 33 ayat (2) UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu jo Pasal 8 ayat (1) huruf f UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu harus ditafsirkan secara sistematik dengan melihat keterkaitannya dengan UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan UU Pemerintahan Daerah.
Kerumitan dalam penetapan DPT sebenarnya persoalan kekisruhan administratif dalam sistem kependudukan dan catatan sipil di lingkungan birokrasi pemerintah yang dipengaruhi banyak faktor seperti problem koordinasi pemerintahan, korupsi birokrasi, dan rendahnya kapasitas administrasi kependudukan pemerintah/ pemerintah daerah.
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Konsultan Hukum Publik
Forum tersebut mempersoalkan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) oleh KPU, Senin (4/11/2013). Tiga penggugat yakni M Imam Naser, Eko Prima Nanda, dan Erlanda Juliansyahputra yang tergabung dalam forum mendaftarkan pengaduan tersebut ke DKPP melalui surat pengaduan bernomor 329/1-P/L-DKPP/ 2013. Persoalan yang diangkat para pengadu di DKPP terkait penetapan DPT berangkat dari penetapan DPT yang diduga telah dilakukan KPU tanpa menyertakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dinilai melanggar UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.
Pasal 33 ayat (2) UU Pemilu mengatur bahwa daftar pemilih paling sedikit memuat NIK, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat warga negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak memilih. Namun, penetapan DPT oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (4/11), masih menyisakan sekitar 10,4juta pemilih tanpa NIK. Padahal, UU Pemilu tersebut mengatur bahwa NIK harus dicantumkan dalam DPT. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto berpendapat, jika KPU lalai dan terbukti menyertakan pemilih tanpa NIK, itu berdampak pada pelanggaran pemilihan umum (pemilu).
Didik yang notabene mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) memaklumi kondisi KPU yang harus menetapkan DPT secara cepat karena terbentur tahapan pemilu. Namun, dalam persoalan DPT, persoalan paling besar yang dihadapi KPU adalah jumlah pemilih tanpa NIK. Menurut Didik, jumlah pemilih tanpa NIK tersebar di seluruh daerah antara lain disebabkan seorang penghuni rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan, warga yang tinggal di pengungsian akibat konflik, pemilih pemula yang tinggal di pesantren atau asrama, serta warga yang masih menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) lama.
KPU mengklaim telah membereskan 3,2 juta dari 10,4 juta pemilih dengan NIK invalid dalam DPT. Saat ini KPU masih memverifikasi 7,2 juta data pemilih dengan NIK yang invalid. Jika sudah terverifikasi semua, KPU akan menyerahkan hasilnya ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk pembuatan NIK-nya. Memang, Pasal 13 ayat (1) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) meletakkan kewajiban memiliki NIK ada pada setiap penduduk.
Sementara tanggung jawab administratif dalam pengawasan atas pelaksanaan kewajiban untuk memperoleh NIK bagi setiap penduduk dalam UU Adminduk diletakkan pada kewenangan pemerintah kabupaten/kota meskipun tanggung jawab pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala nasional tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat (baca: Kemendagri).
Mencermati sistem regulasi yang mengatur administrasi kependudukan di atas terlihat bahwa penetapan DPT yang dilakukan dengan menyisakan persoalan NIK terhadap sekitar 10,4 juta pemilih tak bisa sepenuhnya dibebankan pada KPU. Kedudukan KPU yang bersifat otonom sebagai suatu lembaga negara ekstrastruktural (state auxiliary agency) seharusnya diberikan diskresi dalam menghadapi kondisi emergency dalam tahapan pemilu, termasuk dalam soal administrasi penetapan DPT.
Kekacauan administrasi
Tanggung jawab untuk melaksanakan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan penduduk dalam pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil menurut Pasal 8 ayat (1) huruf f diletakkan pada instansi pelaksana, yang menurut Pasal 1 angka (7) UU Adminduk adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan.
Dalam sistem otonomi daerah saat ini sudah menjadi sebuah common sense bahwa pemerintah pusat terkesan kehilangan kendali politik, administratif, dan keuangan terhadap pemerintah daerah yangmenimbulkan problem disharmoni kewenangan antara pusat dan daerah. Sangat tidak layak jika problem administratif kependudukan yang terjadi sebagai salah satu dampak dari disharmoni relasi pusat-daerah dipindahkan menjadi beban KPU pada saat harus mengambil keputusan cepat untuk memberikan hak politik bagi para pemilih yang dijamin konstitusi meskipun di sana-sini masih menyisakan problem administratif DPT.
Rendahnya kapasitas Kemendagri sebagai institusi penanggung jawab utama dalam masalah administrasi kependudukan sebagaimana diatur dalam UU Adminduk serta kekisruhan penerapan sistem e- KTP jangan sampai menjadi sebab bagi warga negara untuk kehilangan hak memilih. Mahkamah Konstitusi RI pada masa lalu melalui Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bahkan pernah memutuskan bahwa selain warga negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, warga negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) yang masih berlaku atau paspor yang masih berlaku bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Analog dengan putusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut KPU ingin mengacu pada substansi untuk melindungi hak pilih warga negara dalam pemilu sebagai mandat konstitusi melampaui sekadar persoalan administratif belaka. Eksistensi Pasal 33 ayat (2) UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu jo Pasal 8 ayat (1) huruf f UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu harus ditafsirkan secara sistematik dengan melihat keterkaitannya dengan UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan UU Pemerintahan Daerah.
Kerumitan dalam penetapan DPT sebenarnya persoalan kekisruhan administratif dalam sistem kependudukan dan catatan sipil di lingkungan birokrasi pemerintah yang dipengaruhi banyak faktor seperti problem koordinasi pemerintahan, korupsi birokrasi, dan rendahnya kapasitas administrasi kependudukan pemerintah/ pemerintah daerah.
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Konsultan Hukum Publik
(nfl)