Dialog antarumat manusia
A
A
A
SYAHDAN, ada sebuah tanya jawab, yang seharusnya menjadi suatu dialog yang setara antara kedua belah pihak, agar apa yang dibicarakan menjadi lebih terang, dan mereka menemukan suatu titik temu yang nyaman.
Tetapi dialog itu tiba-tiba menjadi sejenis “penyelidikan”: satu pihak menjadi “penyelidik”, pihak lain “diselidiki”, satu pihak “pemeriksa”, yang lain “diperiksa”. Dialog menjadi begitu kaku, dan tak menyenangkan. Apalagi bila diingat bahwa kedua belah pihak menganut agama yang sama. Mula-mula, pihak yang lebih tua, yang latar belakang sosial-ekonominya lebih mapan, lebih terhormat, memanggil pihak yang lebih muda, yang hidupnya belum mapan, kariernya baru berkembang.
Pendeknya lebih rendah dari status yang tua, yang di dalam dialog-dialog di masyarakat, sering diejek sebagai Tuan, atau yang Mulia, tapi dia tak merasa. Dia bertanya lebih dulu. “Apakah agama-agama itu sama?” “Tidak. Dan tidak ada yang berusaha menyama-nyamakannya.” “Tapi mereka yang bekerja demi dan membela pluralisme agama-agama dan budaya menempatkan setiap agama sederajat satu sama lain.”
“Mereka hanya manusia, yang memberi sesama manusia lainnya kedudukan sederajat karena kesadaran akan kodrat kemanusiaan bahwa tiap manusia lahir dengan kemerdekaan yang sama, yang tak bisa “dijajah”, “dirampas”, “diinjakinjak” , “diperkosa” dan “dinegasikan” oleh siapa pun. Juga tidak oleh bangsa kita sendiri.” “Mengapa mereka memberi tempat yang sama di antara berbagai agama yang berbedabeda itu.”
“Konstitusi kita, yang sangat demokratis dan modern itu yang memberi jaminan hak hidup. Mereka yang berjuang menegakkan penghargaan terhadap pluralitas agama-agama maupun budaya hanya menjadi pelaksana teknis, untuk meyakinkan bahwa mandat konstitusi yang kita hormati itu telah dilaksanakan. Hanya itu, kurang lebihnya.” “Majelis Ulama Indonesia, dan sementara kalangan dalam Islam memandang sesat suatu agama, meminta mereka bertaubat dan menyatukan diri di dalam suatu induk yang besar, tak usah menyendiri. Mengapa kesesatan itu dilindungi?
“Yang dilindungi kaum pluralis, dan diberi tempat dalam kerangka pluralisme agamaagama bukan kesesatan Yang Mulia. Sesat atau tidak, hal itu tidak dipersoalkan karena kaum pluralis bukan panitia seleksi, bukan tim penilai, dan bukan lembaga penyaring. Mereka tidak menempatkan diri dalam posisi yang memainkan peran ‘inquisisi’ karena mereka tak memiliki hak istimewa seperti itu.”
“Kalau begitu mengapa mereka melakukan perlindungan?” “Yang mereka lindungi hak konstitusi tadi. Mereka memiliki hak hidup, dan hak itu dijamin konstitusi. Tak ada orang yang bisa menegasikan hak dan perlindungan hak itu. Apakah hak Tuan Yang Mulia boleh dinegasikan dan dilanggar orang lain? Apakah Tuan Yang Mulia tidak akan membela diri dengan menyebutkan bahwa konstitusi memberi Tuan jaminan?” “ Tapi perkara kesesatan itu, mengapa kalian lindungi juga?”
“Maaf Yang Mulia, yang senantiasa waspada akan apa yang sesat dan apa yang lurus. Tadi sudah saya jawab, bahwa tak ada yang melindungi kesesatan ” (Ucapan ini juga sindiran terhadap sikapnya yang menjengkelkan, sok kuasa, tapi dia tak merasa). Romo Herman P Panda menulis buku Agama-agama dan Dialog Antar Agama dalam Pandangan Kristen. Buku ini dibahas Jumat, 9 November 2013 di Universitas Widya Mandira Kupang. Pembahas utamanya Romo Magnis Suseno dan Ibu Pendeta Dr. Karen Campbell-Nelson. Saya memberikan tambahan dari perspektif seorang penganut Islam. Argumen filsafat dan teologi mendasari pembahasan itu.
Yang tersirat, tapi tidak dinyatakan oleh siapa pun dalam diskusi itu, “agama, dan pemikiran agama” itu berkembang. Apa yang ada pada suatu kurun zaman—-juga ada di zaman kita sekarang—-hanya sebuah proses, bukan sebuah sikap, bukan pula sebuah keputusan final. Proses itu berkembang, dan apa yang “dulu” merupakan sikap keras, bermusuhan, eksklusif, bisa berubah “lembut”, “bersahabat”, “inklusif”. Sikap ini bisa terjadi pada siapa saja, penganut agama apa saja.
Dan bukankah perubahan ini tanda kematangan jiwa para penganut agama-agama, dan kematangan politik warga negara? Ini menjadi titik awal kenyamanan berteman, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Kita mengakui agama-agama itu tidak sama, dan tidak usah dibikin sama. Kita tak berhak menilai apakah suatu agama “sesat” atau “tidak sesat”. Penilaiannya kita tunda, biarlah kelak, Tuhan sendiri melakukannya. Angin bertiup lembut, dan menyegarkan ruang diskusi.
Kita merasa sejuk. Mungkin ini hembusan kesejukan surga yang merembes ke bumi Kupang. Pernyataan ini, bagi saya, merupakan “special stemp” dari sikap filosofis dan teologis dalam buku Romo Herman. Dialog kemanusiaan seperti ini perlu, untuk menempatkan agama pada tempatnya masing-masing, dan memberi suasana rukun dan damai, dan rahmat bagi semesta alami.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Tetapi dialog itu tiba-tiba menjadi sejenis “penyelidikan”: satu pihak menjadi “penyelidik”, pihak lain “diselidiki”, satu pihak “pemeriksa”, yang lain “diperiksa”. Dialog menjadi begitu kaku, dan tak menyenangkan. Apalagi bila diingat bahwa kedua belah pihak menganut agama yang sama. Mula-mula, pihak yang lebih tua, yang latar belakang sosial-ekonominya lebih mapan, lebih terhormat, memanggil pihak yang lebih muda, yang hidupnya belum mapan, kariernya baru berkembang.
Pendeknya lebih rendah dari status yang tua, yang di dalam dialog-dialog di masyarakat, sering diejek sebagai Tuan, atau yang Mulia, tapi dia tak merasa. Dia bertanya lebih dulu. “Apakah agama-agama itu sama?” “Tidak. Dan tidak ada yang berusaha menyama-nyamakannya.” “Tapi mereka yang bekerja demi dan membela pluralisme agama-agama dan budaya menempatkan setiap agama sederajat satu sama lain.”
“Mereka hanya manusia, yang memberi sesama manusia lainnya kedudukan sederajat karena kesadaran akan kodrat kemanusiaan bahwa tiap manusia lahir dengan kemerdekaan yang sama, yang tak bisa “dijajah”, “dirampas”, “diinjakinjak” , “diperkosa” dan “dinegasikan” oleh siapa pun. Juga tidak oleh bangsa kita sendiri.” “Mengapa mereka memberi tempat yang sama di antara berbagai agama yang berbedabeda itu.”
“Konstitusi kita, yang sangat demokratis dan modern itu yang memberi jaminan hak hidup. Mereka yang berjuang menegakkan penghargaan terhadap pluralitas agama-agama maupun budaya hanya menjadi pelaksana teknis, untuk meyakinkan bahwa mandat konstitusi yang kita hormati itu telah dilaksanakan. Hanya itu, kurang lebihnya.” “Majelis Ulama Indonesia, dan sementara kalangan dalam Islam memandang sesat suatu agama, meminta mereka bertaubat dan menyatukan diri di dalam suatu induk yang besar, tak usah menyendiri. Mengapa kesesatan itu dilindungi?
“Yang dilindungi kaum pluralis, dan diberi tempat dalam kerangka pluralisme agamaagama bukan kesesatan Yang Mulia. Sesat atau tidak, hal itu tidak dipersoalkan karena kaum pluralis bukan panitia seleksi, bukan tim penilai, dan bukan lembaga penyaring. Mereka tidak menempatkan diri dalam posisi yang memainkan peran ‘inquisisi’ karena mereka tak memiliki hak istimewa seperti itu.”
“Kalau begitu mengapa mereka melakukan perlindungan?” “Yang mereka lindungi hak konstitusi tadi. Mereka memiliki hak hidup, dan hak itu dijamin konstitusi. Tak ada orang yang bisa menegasikan hak dan perlindungan hak itu. Apakah hak Tuan Yang Mulia boleh dinegasikan dan dilanggar orang lain? Apakah Tuan Yang Mulia tidak akan membela diri dengan menyebutkan bahwa konstitusi memberi Tuan jaminan?” “ Tapi perkara kesesatan itu, mengapa kalian lindungi juga?”
“Maaf Yang Mulia, yang senantiasa waspada akan apa yang sesat dan apa yang lurus. Tadi sudah saya jawab, bahwa tak ada yang melindungi kesesatan ” (Ucapan ini juga sindiran terhadap sikapnya yang menjengkelkan, sok kuasa, tapi dia tak merasa). Romo Herman P Panda menulis buku Agama-agama dan Dialog Antar Agama dalam Pandangan Kristen. Buku ini dibahas Jumat, 9 November 2013 di Universitas Widya Mandira Kupang. Pembahas utamanya Romo Magnis Suseno dan Ibu Pendeta Dr. Karen Campbell-Nelson. Saya memberikan tambahan dari perspektif seorang penganut Islam. Argumen filsafat dan teologi mendasari pembahasan itu.
Yang tersirat, tapi tidak dinyatakan oleh siapa pun dalam diskusi itu, “agama, dan pemikiran agama” itu berkembang. Apa yang ada pada suatu kurun zaman—-juga ada di zaman kita sekarang—-hanya sebuah proses, bukan sebuah sikap, bukan pula sebuah keputusan final. Proses itu berkembang, dan apa yang “dulu” merupakan sikap keras, bermusuhan, eksklusif, bisa berubah “lembut”, “bersahabat”, “inklusif”. Sikap ini bisa terjadi pada siapa saja, penganut agama apa saja.
Dan bukankah perubahan ini tanda kematangan jiwa para penganut agama-agama, dan kematangan politik warga negara? Ini menjadi titik awal kenyamanan berteman, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Kita mengakui agama-agama itu tidak sama, dan tidak usah dibikin sama. Kita tak berhak menilai apakah suatu agama “sesat” atau “tidak sesat”. Penilaiannya kita tunda, biarlah kelak, Tuhan sendiri melakukannya. Angin bertiup lembut, dan menyegarkan ruang diskusi.
Kita merasa sejuk. Mungkin ini hembusan kesejukan surga yang merembes ke bumi Kupang. Pernyataan ini, bagi saya, merupakan “special stemp” dari sikap filosofis dan teologis dalam buku Romo Herman. Dialog kemanusiaan seperti ini perlu, untuk menempatkan agama pada tempatnya masing-masing, dan memberi suasana rukun dan damai, dan rahmat bagi semesta alami.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
(nfl)