Naikkan upah atau naikkan daya beli?

Senin, 04 November 2013 - 07:10 WIB
Naikkan upah atau naikkan daya beli?
Naikkan upah atau naikkan daya beli?
A A A
AKHIR-akhir ini demo buruh kembali marak di Indonesia. Seperti dikomandoi, mereka semua bergerak dan turun ke jalan untuk menyampaikan apa yang menjadi tuntutan mereka. Mereka menyatakan mewakili para buruh di seluruh Tanah Air. Tuntutan mereka pun hampir senada, naikkan upah minimum regional (UMR). Padahal, UMR di hampir seluruh wilayah di Indonesia baru saja dinaikkan kurang lebih setahun yang lalu. Sebenarnya sah-sah saja para buruh melakukan tuntutan tersebut, apalagi memang biaya hidup semakin tinggi dari waktu ke waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah mereka mengerti dengan apa yang mereka tuntut?

Apakah mereka paham bahwa kenaikan UMR yang mereka tuntut tersebut tidak akan berarti apa-apa jika kemudian disertai dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa, termasuk barang-barang kebutuhan pokok. Apalagi jika kemudian persentase kenaikan harga barang berada di atas persentase kenaikan UMR, lalu apa artinya kenaikan UMR yang mereka perjuangkan jika kemudian kenaikan UMR tersebut juga tidak mampu menjangkau harga-harga barang kebutuhan pokok yang ikut melambung? Pada akhirnya, mereka (buruh) tetap hidup tidak berkecukupan.

Bagaimana kalau kemudian tuntutannya kita ubah menjadi naikkan daya beli! Maka otomatis perspektifnya akan berubah 180 derajat. Menaikkan daya beli artinya dengan jumlah uang yang sama kita dapat membeli barang yang lebih banyak, itu artinya harga barang dan kebutuhan pokok turun dan otomatis nilai mata uang kita meningkat. Dengan keadaan demikian, otomatis masyarakat luas termasuk buruh akan mengalami peningkatan kesejahteraan, karena dengan jumlah uang yang sama mereka dapat membeli barang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.

Buruh pada dasarnya berdiri di tengah-tengah antara pihak pengusaha dan pemerintah. Pada saat buruh melakukan tuntutan kenaikan UMR mereka sebenarnya berhadapan dengan pihak pengusaha yang selama ini menafkahi dan menjadi sumber mata pencarian mereka sendiri. Kemudian, mereka menuntut kepada pemerintah untuk menggunakan kekuasaannya mengeluarkan peraturan dan keputusan tentang kenaikan UMR tersebut, dalam kondisi ini pengusaha berada dalam kondisi yang tertekan karena menaikkan UMR berarti menaikkan ongkos produksi secara langsung.

Yang menjadi masalah adalah jika margin keuntungan tidak mencukupi untuk membiayai kenaikan UMR tersebut, maka langkah yang harusdilakukan adalah melakukan efisiensi proses produksi atau menaikkan harga. Salah satu langkah efisiensi adalah dengan mengurangi jumlah tenaga kerja (buruh) dengan melakukan banyak otomasi proses. Jika efisiensi masih tidak dapat membuat perusahaan mendapatkan margin keuntungan, langkah lainnya adalah dengan menaikkan harga jual barang.

Dengan meningkatnya harga-harga, secara otomatis daya beli masyarakat pun (termasuk buruh) akan turun. Jika menaikkan harga tidak dapat dilakukan karena akan menurunkan daya saing produk, kemungkinan lainnya perusahaan akan gulung tikar atau mencari lokasi produksi lainnya yang lebih mendukung usaha mereka.

Coba kita lihat apa yang terjadi jika tuntutannya tadi kita ubah menjadi naikkan daya beli atau turunkan harga-harga! Maka dalam kondisi ini, buruh akan berhadapan dengan pemerintah mengapa? Karena untuk menurunkan harga-harga bukan hanya menjadi tanggung jawab pengusaha tetapi pemerintah pun dituntut peranannya yang sangat besar dalam menciptakan kondisi tersebut. Peranan pemerintah minimal ada pada lima aspek. Pertama, menyediakan infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, dan jembatan) yang memadai, sehingga perjalanan arus barang akan lebih cepat dan murah.

Hal ini akan secara otomotasi menurunkan biaya produksi & distribusi. Kedua, menyediakan infrastruktur telekomunikasi yang memadai yang dapat mempercepat arus informasi dari hilir ke hulu maupun sebaliknya, sehingga semakin mempermudah proses peramalan (forecasting) akan kebutuhan (demand) dan perencanaan produksi (supply) sehingga proses produksi berjalan lebih efektif dan efisien. Ketiga, menyediakan sumber daya energi baik listrik maupun utilitas lainnya yang dibutuhkan industri. Keempat, memberikan proses pelayanan perizinan yang cepat dan tanpa biaya.

Kelima, membentuk kawasan-kawasan berikat (free trade zone) yang dapat mempercepat proses transaksi dan bebas cukai. Dari pihak pengusaha pun, karena yang dituntut adalah penurunan harga maka seharusnya komponen UMR tidak akan dinaikkan dan juga tidak diturunkan. Sebaliknya dengan fasilitas infrastruktur, perizinan, dan utilitas yang disediakan pemerintah maka pengusaha akan mendapatkan banyak efisiensi biaya dari proses produksi maupun distribusinya. Sehingga dengan menurunnya biaya produksi dan distribusi maka harga-harga pun dapat diturunkan sampai dengan tingkatan tertentu. Turunnya harga-harga ini tentu saja akan meningkatkan daya beli masyarakat tanpa harus menaikkan UMR.

Seharusnya pemerintah sadar akan hal ini dan jangan selalu melempar masalah buruh dan upah buruh ke pihak pengusaha atau pemilik modal. Pemerintah pun harus juga melakukan introspeksi atas program-program yang telah dilakukan khususnya dalam pembangunan fasilitas infrastruktur yang dapat mendukung efisiensi proses produksi dan distribusi tadi. Terbukti menurut Laporan Survei Logistic Performance Index (LPI) yang dilakukan oleh Bank Dunia mendapatkan bahwa pada saat ini posisi Indonesia merosot dari peringkat ke-43 menjadi peringkat ke-75 untuk LPI, dan posisi tersebut lebih rendah dari Vietnam, negara yang baru merdeka beberapa tahun yang lalu.

Dengan demikian, alih-alih kita setiap tahun disibukkan dengan masalah UMR segeralah percepat pembangunan infrastruktur, jalan, jembatan, pelabuhan, gudang, dan lain-lain. Coba tengok pembangunan trans-Jawa, trans-Sumatera, trans-Sulawesi, dan lain-lain yang tidak kunjung selesai, antrean truk-truk di pelabuhan penyeberangan yang selalu berulang, kemacetan lalu lintas yang semakin menggila dan bahkan antrean dan waktu tunggu kapal-kapal yang akan berlabuh dan berlayar di pelabuhan yang semakin sering terjadi.

Semua upaya tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan, tinggal kemauan politik, komitmen dan leadership dari puncak kepemimpinan nasional yang bisa membuat semua ini terwujud. Untuk para buruh, cobalah lebih mengerti apa yang anda tuntut dan janganlah menuntut sesuatu yang malah akan memperburuk keadaan termasuk merugikan kalangan buruh sendiri. Coba berikan tuntutan yang lebih cerdas dan lebih berguna untuk masyarakat yang lebih luas, bahkan untuk negeri ini. Jadi sekarang, apakah masih akan menuntut kenaikan UMR atau lebih baik menuntut turunkan harga-harga?

HANDI SAPTA MUKTI
Praktisi Manajemen & Teknologi Informasi, Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan,
Direktur IFS Solutions Indonesia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3862 seconds (0.1#10.140)