Pemilu dan problem ekonomi

Rabu, 30 Oktober 2013 - 07:02 WIB
Pemilu dan problem ekonomi
Pemilu dan problem ekonomi
A A A
PADA tahun depan (2014), terdapat banyak peristiwa penting bagi masa depan bangsa. Hajatan politik (pemilu) tentu merupakan hal yang paling genting, karena akan terjadi pergantian kepemimpinan nasional.

Kontestasi politik sudah dimulai saat ini sehingga suhu persaingan sudah terasa mulai gerah saat ini. Namun, satu hal yang juga amat vital sehingga tidak boleh diabaikan adalah menyangkut masa depan ekonomi nasional. Sebagian ekonom sudah menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi dianggap menyimpang jauh dari cita-cita para pendiri republik, di tengah pujian kinerja ekonomi Indonesia dari negara maju maupun lembaga internasional/multilateral.

Di dalam negeri sendiri, sebagian besar masyarakat (beberapa survei sudah dipublikasikan) merasa tingkat kepuasan ekonomi tidak menggembirakan, bahkan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Dengan deskripsi tersebut, kontestasi politik itu mesti diiringi dengan tawaran desain ekonomi baru yang bisa mengatasi problem ekonomi hari ini.

Kesejahteraan masyarakat
Terdapat banyak sekali persoalan ekonomi mendasar yang terjadi pascareformasi ekonomi 1998. Dari sekian banyak masalah tersebut, terdapat sekurangnya 11 problem yang patut menjadi perhatian di masa depan. Pertama, kesejahteraan kelompok masyarakat bawah yang makin menurun.

Pendapatan per kapita mereka memang tumbuh, namun amat kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan golongan menengah ke atas. Kesejahteraan menjadi kian merosot karena kenaikan harga pangan (sebagian besar konsumsi kelompok ini digunakan untuk pangan) melebihi peningkatan pertumbuhan pendapatan mereka, sehingga secara riil daya beli mereka kian menurun.

Kedua, APBN sebagai sumber terpenting pemerintah untuk mengurus hajat publik kian sempoyongan karena terkuras untuk belanja birokrasi, pembayaran utang, dan misalokasi yang parah. Akibatnya, proporsi belanja untuk kesejahteraan rakyat terus mengecil dan keseimbangan primer menjadi terganggu (defisit).

Ketiga, ketimpangan terus meningkat yang sebagian disebabkan oleh disparitas penguasaan aset produktif masyarakat. Aset produktif terpenting adalah modal dan lahan. Dari sisi modal, 40 orang paling kaya di Indonesia menguasai aset sekitar Rp750 triliun (setara dengan 50% APBN).

Data simpanan di perbankan menunjukkan penabung di atas Rp5 miliar yang jumlahnya hanya 0,05% dari total rekening menguasai 44,44% total simpanan (LPS, 2013). Demikian pula untuk lahan, menurut data BPN (2012) ketimpangan penguasaan lahan sudah mencapai 0,54 (gini rasio). Ini jelas menunjukkan adanya disparitas lahan yang sangat lebar.

Keempat, kedaulatan pangan benar-benar di tubir jurang saat ini karena mulai bibit, pestisida, komoditas, dan perdagangan dikuasai oleh asing. Pemerintah makin sukar menjaga stabilitas pasokan dan harga karena pasar domestik dikuasai oleh komoditas impor. Nilai impor pangan melonjak dari waktu ke waktu, yang sebagian tentu mengurangi insentif petani domestik untuk berproduksi.

Kelima, hal yang sama juga terjadi di sektor energi. Minyak dan gas sekitar 80% eksploratornya adalah asing, sehingga sebagian profit yang diperoleh jatuh bukan kepada pemerintah (yang dalam konstitusi diamanahi sebagai pihak yang menguasai sumber daya alam).

Batu bara, emas, perak, nikel, aluminium, bijih besi, dan lain-lain diambil dari perut bumi untuk diekspor dalam wujud komoditas mentah sehingga menjadi amunisi bagi negara lain untuk menggerakkan ekonomi. Sebaliknya, pelaku ekonomi domestik sulit untuk ekspansi karena tidak ada pasokan energi.

Keenam, keberadaan BUMN makin terancam dengan kebijakan privatisasi. Sejak reformasi ekonomi telah banyak BUMN yang dijual kepada swasta (domestik maupun asing), sehingga mengurangi kemampuan negara menyediakan layanan publik ataupun menciptakan lapangan pekerjaan secara meyakinkan. Pada 2013 ini saja direncanakan ada enam BUMN yang dijual sebagian sahamnya ke swasta untuk memperoleh tambahan dana.

Kebijakan liberalisasi
Tidak itu saja, pemerintah juga terjebak dalam kebijakan liberalisasi secara masif. Rata-rata tarif impor yang ditekan Indonesia jauh lebih rendah ketimbang negara-negara ASEAN, juga Jepang dan China. Tarif rendah itu bukan hanya komoditas pertanian, namun juga produk manufaktur.

Akibatnya, sejak 2012 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan (pertama kali dalam 40 tahun terakhir). Ekonomi Indonesia di masa depan akan sulit memetik keuntungan dalam pasar global jika sikap terhadap liberalisasi ekonomi ini tidak revisi. Masalah berikutnya, investasi domestik proporsinya tetap kecil, meskipun aneka kebijakan telah diupayakan demi mendongkrak peran investasi dalam negeri.

Hal ini bisa terjadi sebagian terkait dengan kebijakan liberalisasi di atas, yakni sikap pemerintah yang terlalu membuka diri terhadap pihak asing. UU No 25/2007 memberikan keleluasaan bagi investor asing menanamkan modal di Indonesia setara dengan investor domestik, nyaris tanpa perkecualian. Setelah itu, persoalan yang dari dulu tak pernah menghasilkan kemajuan yang berarti adalah perbaikan infrastruktur.

Rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB hanya di kisaran 2–3%, jauh dari kondisi ideal 5%. China, Vietnam, dan India bahkan menganggarkan sekitar 8–10% dari PDB. Ini pula yang menjadi sebab biaya logistik nasional sangat tinggi, sekitar 27% dari PDB akibat keterbatasan infrastruktur.

Bandingkan dengan AS yang hanya 9,9%, Jepang 10,6%, dan Korsel 16,3% (Kadin, 2013). Masalah infrastruktur ini kemudian menjadi sumber soal selanjutnya, yakni daya saing ekonomi nasional yang rendah. Tentu bukan hanya infrastruktur, namun juga oleh sebab yang lain, misalnya kapasitas birokrasi, kelembagaan, dan kepastian hukum. Kapasitas birokrasi yang lemah menyebabkan perizinan lama dan mahal.

Dari sisi kelembagaan, tidak ada insentif yang memadai bagi perusahaan untuk melakukan inovasi, sedangkan regulasi kerap berubah sehingga menyulitkan pengusaha untuk berbisnis. Terakhir adalah kerapuhan sektor perbankan. Denyut ekonomi nasional sangat bergantung pada pompa modal yang disalurkan oleh perbankan.

Sampai kini kontribusi kredit perbankan hanya sekitar 31% dari PDB, jauh sekali ketimbang Malaysia, China, dan Thailand yang sudah di atas 100%. Demikian pula komitmen perbankan untuk membiayai UMKM juga amat lemah, cuma sekitar 21,6% dari total kredit bank (Thailand dan Malaysia masing-masing 35% dan 39%). Catatan lainnya, perbankan nasional kurang efisien dan mengambil marjin keuntungan (NIM) yang terlalu besar, yakni di kisaran 5–6%.

Di luar ini tentu masih banyak soal ekonomi lain yang laik untuk diurus oleh pemerintah di masa mendatang, tapi 11 masalah ini adalah intisari problem yang harus diselesaikan dengan platform ekonomi baru, khususnya yang sesuai dengan kandungan konstitusi.

Indonesia telah membuang waktu sekitar 15 tahun secara percuma, sehingga tahun depan merupakan tikungan terakhir yang akan menentukan nasib bangsa seterusnya.

AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0641 seconds (0.1#10.140)