Riil dinasti politik
A
A
A
MINGGU lalu saya dan Faisal Basri, pengamat ekonomi kenamaan dan guru saya, berkunjung ke Bangkok, Thailand, untuk menghadiri workshop yang diselenggarakan Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UNESCAP).
Ada cerita menarik tentang diskusi UNESCAP, tetapi kali ini saya ingin berbagi oleh-oleh dari kegiatan menelusuri jalan dan pusat keramaian di Bangkok, kota yang pada 1970–1980-an menjadi salah satu pusat perkulakan utama untuk pedagang di Tanah Air. Yang paling menarik bagi kami berdua adalah bagaimana pusat-pusat perdagangan dan turisme ditata untuk berpihak kepada rakyat kecil dan bukannya kepada perusahaan franchise asing. Hanya sejumlah kecil mal menjual produk bermerek sekelas Louis Vuitton dan McDonald.
Kebanyakan mal ber- AC justru berisi pedagang lokal yang menjual produk buatan Thailand. Ada mal yang tutup pukul 19.00 karena setelah itu para pedagang kaki lima di depan mal mendadak lebih ramai. Tak mengherankan, produk produsen kecil di sana terdongkrak ke pasar internasional! Kami juga mencermati betapa cerdasnya ide pembuatan Asiatique Night Market di pinggir SungaiChaoPhraya, kagumpada keterpaduan rencana pemerintah untuk menjadikan Bangkok sebagai tempat liburan yang ramah untuk keluarga, bahkan keluarga berkantong paspasan sekalipun.
Pemerintah menyubsidi para turis untuk menikmati keindahan Chao Phraya dengan perahu motor sederhana berkapasitas 50-an orang yang gratis. Singkat kata, perkembangan kota ini mengagumkan mengingat badai politik yang belum sepenuhnya berlalu antara kelompok masyarakat yang didukung militer dan kelompok yang didukung keluarga Thaksin. Kelompok Kaus Kuning (yang didukung militer) kadang-kadang masih berunjuk rasa di Kota Bangkok untuk menuntut mundur sang Perdana Menteri Yingluck Shinawarta yang adalah adik kandung Thaksin Shinawatra.
Thaksin adalah Perdana Menteri Thailand tahun 2001 yang dipreteli kekuasaannya oleh militer seusai memberikan pidato di markas PBB tahun 2006. Kini Yingluck mampu meletakkan Thailand di peringkat ke-38 negara kompetitif di dunia dalam waktu 3 tahun (2010–2013). Perkembangan ekonomi Thailand dan dominasi kekuasaan keluarga Shinawatra membuat saya teringat tentang istilah “dinasti politik” yang mendadak ramai dibicarakan di Tanah Air. Istilah ini menjadi marak ketika Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten, tertangkap KPK untuk kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Dari sana terungkap ada sekitar 56 kepala daerah di seluruh Indonesia yang melakukan praktik politik dinasti. Demikian info dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Ujung dari pembahasan di media adalah pemikiran untuk membatasi keterlibatan anggota keluarga dalam politik dan untuk mengembalikan lagi fungsi DPRD dalam memilih kepala daerah sehingga kepala daerah tidak lagi dipilih langsung. Mari kita cek penggunaan istilah dinasti politik dan apakah dinasti politik itu baik atau buruk bagi demokrasi dan pembangunan negeri.
Istilah dinasti politik atau politik dinasti dimengerti sebagai praktik membangun kekuasaan yang menggurita oleh sejumlah orang yang masih memiliki kaitan kekerabatan. Dalam kasus Atut, istilah tadi bahkan distempel konotasi buruk, yakni kekuasaan kekerabatan yang cenderung koruptif dan melambatkan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Secara riil, dampak dinasti politik sangat tergantung dari konteks sejarah negara masingmasing dan relasi sosial yang berkembang bersamaan dengan tumbuhnya dinasti politik.
Ambil contoh keluarga besar Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang tradisi turun-temurun dalam keluarganya adalah untuk bersentuhan dengan urusan moral sosial dan keagamaan serta tak sedikit pula anggota keluarga mereka yang berpolitik walaupun terkadang tidak terelakkan saling berbeda pandangan. Mungkin masih banyak lagi keluarga besar di negeri ini yang terlibat politik karena habitus, karena nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga sejak kecil, sebagaimana didefinisikan Bourdieu.
Saya melihat dinasti politik adalah sisa dari praktik politik Orde Baru. Richard Robison dalam karyanya Indonesia: The Rise of Capital (1986) menjelaskan tentang proses pembentukan modal kapitalisme di Indonesia dan kelas-kelas yang mengiringinya. Berbeda dengan perkembangan kapitalisme di Eropa, kapitalisme di Indonesia tumbuh karena dicangkok melalui proses penjajahan Pemerintah Hindia Belanda. Sistem tanam paksa menjadi awal masuknya Indonesia dalam siklus sistem kapitalisme global.
Kelas borjuasi di Indonesia tumbuh bukan karena hasil keringat sendiri, melainkan karena pembagian lisensi kekuasaan oleh negara. Pada masa Orde Baru, praktik tersebut berkembang lebih mendalam dan luas menyusul penguasaan politik oleh kaum militer dan ditumpas habisnya gerakan kiri dan ditekannya kelompok nasionalis. Kapitalis domestik tidak hanya menikmati uang dan jabatan negara, tetapi juga mendapatkan perlindungan politik dalam menghadapi pesaing maupun protes yang muncul dari masyarakat( sepertigerakanburuhdan petani).
Orde Baru menciptakan sebuah negara patrimonial, negara yang didasarkan atas loyalitas pada power yang bersumber dalam tokoh politik tertentu. Dalam birokrasi sipil maupun militer, lahirlah eliteelite baru yang umumnya berbasis kekerabatan dan pertemanan hingga saat ini. Para pejabat birokrasi mungkin saja mengikuti seleksi, tetapi kehadiran dukungan dari kerabat di jabatan tinggi tertentu tentu punya nilai lebih. Bayangkan saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jika ia tidak menikahi putri Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang adalah pejabat militer Orde Baru, nasibnya tentu akan berbeda.
Sama halnya dengan Mayor Infanteri Agus Yudhoyono yang belum tentu menerima penghargaan alumnus muda berbakat dari Nanyang Technological University Singapura jika ia hanya perwira biasa dan bukan anak dari pejabat yang dianggap bisa berpengaruh di kawasan. Apalagi ketika kerabat Sarwo Edhi Wibowo/ Yudhoyono bersatu dengan kerabat Hatta Rajasa. Dalam perjalanannya, elite Orde Baru ada juga yang “jatuh”, tetapi tidak sedikit yang mampu bertahan. Gerakan Reformasi 1998 telah mendorong liberalisasi dan mengurangi peran negara dalam ekonomi.
Infrastruktur demokrasi modern telah dirancang, misalnya dengan melakukan pemisahan kekuasaan ala trias politika (yudikatif, legislatif, dan eksekutif), melakukan desentralisasi kekuasaan, memisahkan kekuasaan moneter dan fiskal, mengundang modal swasta asing untuk meningkatkan persaingan di dalam negeri, dll. Meski demikian pembangunan infrastruktur politik baru itu tidak sepenuhnya menghapus praktik politik ala Orde Baru. Reformasi telah memindahkan kekuasaan yang dulu terpusat menjadi lebih terdistribusi di antara kekuasaan trias politika. Istilah yang popular saat ini adalah politik oligarki, yaitu pemusatan kekuasaan pada segelintir anggota DPR, eksekutif, dan yudikatif yang saling kongkalikong.
Karena kondisi itu, dibutuhkan koordinasi atau kerja sama dengan jaringan yang dibentuk pada masa Orde Baru atau jaringan baru yang timbul seiiring dengan banyaknya pemain baru lewat partai-partai. Kasus dinasti Ratu Atut perlu diletakkan dalam konteks ini dan dinasti Ratu Atut bukanlah satu-satunya jaringan yang kita kenal. Kita pernah mendengar misalnya keluarga Cendana sebagai bagian dari jaringan keluarga, jaringan organisasi mahasiswa (HMI, CGMI), jaringan etnis (Jawa, Makassar, Chinese), jaringan militer, dan jaringan-jaringan lain yang bermain di tingkat lokal. Jaringan tersebut yang mengelola hubungan bisnis dan politik dalam bentuk oligarki.
Membuat peraturan untuk membatasi keterlibatan anggota keluarga dalam politik mungkin dapat memuaskan rasa kekecewaan kita, tetapi belum menjamin oligarki itu hilang. Satu-satunya cara adalah dengan terus-menerus mendukung penguatan demokrasi dan mengorganisasi diri sebagai anggota masyarakat sipil untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan yang ada.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Ada cerita menarik tentang diskusi UNESCAP, tetapi kali ini saya ingin berbagi oleh-oleh dari kegiatan menelusuri jalan dan pusat keramaian di Bangkok, kota yang pada 1970–1980-an menjadi salah satu pusat perkulakan utama untuk pedagang di Tanah Air. Yang paling menarik bagi kami berdua adalah bagaimana pusat-pusat perdagangan dan turisme ditata untuk berpihak kepada rakyat kecil dan bukannya kepada perusahaan franchise asing. Hanya sejumlah kecil mal menjual produk bermerek sekelas Louis Vuitton dan McDonald.
Kebanyakan mal ber- AC justru berisi pedagang lokal yang menjual produk buatan Thailand. Ada mal yang tutup pukul 19.00 karena setelah itu para pedagang kaki lima di depan mal mendadak lebih ramai. Tak mengherankan, produk produsen kecil di sana terdongkrak ke pasar internasional! Kami juga mencermati betapa cerdasnya ide pembuatan Asiatique Night Market di pinggir SungaiChaoPhraya, kagumpada keterpaduan rencana pemerintah untuk menjadikan Bangkok sebagai tempat liburan yang ramah untuk keluarga, bahkan keluarga berkantong paspasan sekalipun.
Pemerintah menyubsidi para turis untuk menikmati keindahan Chao Phraya dengan perahu motor sederhana berkapasitas 50-an orang yang gratis. Singkat kata, perkembangan kota ini mengagumkan mengingat badai politik yang belum sepenuhnya berlalu antara kelompok masyarakat yang didukung militer dan kelompok yang didukung keluarga Thaksin. Kelompok Kaus Kuning (yang didukung militer) kadang-kadang masih berunjuk rasa di Kota Bangkok untuk menuntut mundur sang Perdana Menteri Yingluck Shinawarta yang adalah adik kandung Thaksin Shinawatra.
Thaksin adalah Perdana Menteri Thailand tahun 2001 yang dipreteli kekuasaannya oleh militer seusai memberikan pidato di markas PBB tahun 2006. Kini Yingluck mampu meletakkan Thailand di peringkat ke-38 negara kompetitif di dunia dalam waktu 3 tahun (2010–2013). Perkembangan ekonomi Thailand dan dominasi kekuasaan keluarga Shinawatra membuat saya teringat tentang istilah “dinasti politik” yang mendadak ramai dibicarakan di Tanah Air. Istilah ini menjadi marak ketika Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten, tertangkap KPK untuk kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Dari sana terungkap ada sekitar 56 kepala daerah di seluruh Indonesia yang melakukan praktik politik dinasti. Demikian info dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Ujung dari pembahasan di media adalah pemikiran untuk membatasi keterlibatan anggota keluarga dalam politik dan untuk mengembalikan lagi fungsi DPRD dalam memilih kepala daerah sehingga kepala daerah tidak lagi dipilih langsung. Mari kita cek penggunaan istilah dinasti politik dan apakah dinasti politik itu baik atau buruk bagi demokrasi dan pembangunan negeri.
Istilah dinasti politik atau politik dinasti dimengerti sebagai praktik membangun kekuasaan yang menggurita oleh sejumlah orang yang masih memiliki kaitan kekerabatan. Dalam kasus Atut, istilah tadi bahkan distempel konotasi buruk, yakni kekuasaan kekerabatan yang cenderung koruptif dan melambatkan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Secara riil, dampak dinasti politik sangat tergantung dari konteks sejarah negara masingmasing dan relasi sosial yang berkembang bersamaan dengan tumbuhnya dinasti politik.
Ambil contoh keluarga besar Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang tradisi turun-temurun dalam keluarganya adalah untuk bersentuhan dengan urusan moral sosial dan keagamaan serta tak sedikit pula anggota keluarga mereka yang berpolitik walaupun terkadang tidak terelakkan saling berbeda pandangan. Mungkin masih banyak lagi keluarga besar di negeri ini yang terlibat politik karena habitus, karena nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga sejak kecil, sebagaimana didefinisikan Bourdieu.
Saya melihat dinasti politik adalah sisa dari praktik politik Orde Baru. Richard Robison dalam karyanya Indonesia: The Rise of Capital (1986) menjelaskan tentang proses pembentukan modal kapitalisme di Indonesia dan kelas-kelas yang mengiringinya. Berbeda dengan perkembangan kapitalisme di Eropa, kapitalisme di Indonesia tumbuh karena dicangkok melalui proses penjajahan Pemerintah Hindia Belanda. Sistem tanam paksa menjadi awal masuknya Indonesia dalam siklus sistem kapitalisme global.
Kelas borjuasi di Indonesia tumbuh bukan karena hasil keringat sendiri, melainkan karena pembagian lisensi kekuasaan oleh negara. Pada masa Orde Baru, praktik tersebut berkembang lebih mendalam dan luas menyusul penguasaan politik oleh kaum militer dan ditumpas habisnya gerakan kiri dan ditekannya kelompok nasionalis. Kapitalis domestik tidak hanya menikmati uang dan jabatan negara, tetapi juga mendapatkan perlindungan politik dalam menghadapi pesaing maupun protes yang muncul dari masyarakat( sepertigerakanburuhdan petani).
Orde Baru menciptakan sebuah negara patrimonial, negara yang didasarkan atas loyalitas pada power yang bersumber dalam tokoh politik tertentu. Dalam birokrasi sipil maupun militer, lahirlah eliteelite baru yang umumnya berbasis kekerabatan dan pertemanan hingga saat ini. Para pejabat birokrasi mungkin saja mengikuti seleksi, tetapi kehadiran dukungan dari kerabat di jabatan tinggi tertentu tentu punya nilai lebih. Bayangkan saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jika ia tidak menikahi putri Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang adalah pejabat militer Orde Baru, nasibnya tentu akan berbeda.
Sama halnya dengan Mayor Infanteri Agus Yudhoyono yang belum tentu menerima penghargaan alumnus muda berbakat dari Nanyang Technological University Singapura jika ia hanya perwira biasa dan bukan anak dari pejabat yang dianggap bisa berpengaruh di kawasan. Apalagi ketika kerabat Sarwo Edhi Wibowo/ Yudhoyono bersatu dengan kerabat Hatta Rajasa. Dalam perjalanannya, elite Orde Baru ada juga yang “jatuh”, tetapi tidak sedikit yang mampu bertahan. Gerakan Reformasi 1998 telah mendorong liberalisasi dan mengurangi peran negara dalam ekonomi.
Infrastruktur demokrasi modern telah dirancang, misalnya dengan melakukan pemisahan kekuasaan ala trias politika (yudikatif, legislatif, dan eksekutif), melakukan desentralisasi kekuasaan, memisahkan kekuasaan moneter dan fiskal, mengundang modal swasta asing untuk meningkatkan persaingan di dalam negeri, dll. Meski demikian pembangunan infrastruktur politik baru itu tidak sepenuhnya menghapus praktik politik ala Orde Baru. Reformasi telah memindahkan kekuasaan yang dulu terpusat menjadi lebih terdistribusi di antara kekuasaan trias politika. Istilah yang popular saat ini adalah politik oligarki, yaitu pemusatan kekuasaan pada segelintir anggota DPR, eksekutif, dan yudikatif yang saling kongkalikong.
Karena kondisi itu, dibutuhkan koordinasi atau kerja sama dengan jaringan yang dibentuk pada masa Orde Baru atau jaringan baru yang timbul seiiring dengan banyaknya pemain baru lewat partai-partai. Kasus dinasti Ratu Atut perlu diletakkan dalam konteks ini dan dinasti Ratu Atut bukanlah satu-satunya jaringan yang kita kenal. Kita pernah mendengar misalnya keluarga Cendana sebagai bagian dari jaringan keluarga, jaringan organisasi mahasiswa (HMI, CGMI), jaringan etnis (Jawa, Makassar, Chinese), jaringan militer, dan jaringan-jaringan lain yang bermain di tingkat lokal. Jaringan tersebut yang mengelola hubungan bisnis dan politik dalam bentuk oligarki.
Membuat peraturan untuk membatasi keterlibatan anggota keluarga dalam politik mungkin dapat memuaskan rasa kekecewaan kita, tetapi belum menjamin oligarki itu hilang. Satu-satunya cara adalah dengan terus-menerus mendukung penguatan demokrasi dan mengorganisasi diri sebagai anggota masyarakat sipil untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan yang ada.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)