Ada garuda di dadaku

Sabtu, 19 Oktober 2013 - 06:39 WIB
Ada garuda di dadaku
Ada garuda di dadaku
A A A
Menangis, haru, dan bangga ketika wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan PSSI U-19 dengan Korea Selatan saat perebutan juara Grup G kualifikasi Piala Asia 2014 sabtu malam kemarin (12 Oktober 2013).

Kemenangan PSSI atas “Kesatria Taiguk” yang berakhir 3-2 menorehkan catatan prestasi yang membanggakan. Betapa tidak, tim yang diasuh pelatih Indra Sjafri ini baru saja merebut Piala ASEAN Football Federation (AFF) 2013 di Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa waktu yang lalu. Sebagai Juara Gup G, PSSI U-19 berhak tampil di Myanmar untuk berlaga dengan kampiun-kampiun sepak bola di Asia lainnya.

Kemenangan yang ditorehkan Evan Dimas Darmono dan kawan-kawan seolah membangkitkan semangat kita yang telah lama padam sebagai: Macan Asia ! Selama ini hampir dalam setiap turnamen yang diikuti PSSI baik di level ASEAN maupun Asia, cerita menang menjadi barang langka yang dituai. Prestasi sepak bola tim nasional senior kita pun maksimal terhenti sebagai juara kedua seperti di Piala AFF maupun ajang SEA Games , walau dalam arti yang “sebenarnya” kata juara hanya mengenal juara satu atau peringkat satu. Bahkan, menghadapi kesebelasan Timor Leste, alih-alih melawan Urugay-PSSI kerap kalah dengan angka yang mencolok.

Oleh karena itu, kemenangan PSSI U-19 bisa kita maknai sebagai momentum kebangkitan sepak bola nasional. Cerita nostalgia bahwa PSSI pernah menahan seri Uni Soviet—kesebelasan tangguh di era 1950-an atau keberhasilan Niac Mitra Surabaya menjuarai Piala Agha Khan di Bangladesh tahun 1979 kini seperti mendapat pelengkap kisah manis dari kemenangan PSSI U-19 kemarin. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari keberhasilan PSSI U-19, salah satu di antaranya adalah kekuatan komunikasi yang dibangun di dalam tim sejak awal pembentukan.

Gaya coach Indra Sjafri dalam melatih anak-anak penuh talenta sepak bola di PSSI U-19 sungguh sangat menarik. Selalu menunjukkan kata-kata semangat yang “berenergi tinggi”. Indonesia itu lebih hebat dari Korea Selatan. Indonesia adalah Macan Asia. Kita menuju Piala Dunia. Semua lawan bisa dikalahkan kecuali Tuhan. Tidak ada kata menyerah sebelum pertandingan berakhir. Itu semua kata-kata Indra Sjafri yang sering dilontarkan sebelum pertandingan dimulai.

Bahkan, ada yang lebih menarik saat akan memasukkan Yabes Roni Malafani–pemain asal Alor, Nusa Tenggara Timur– Indra memeluk sambil membisiki telinga Yabes: “Buat orang NTT bangga dengan kamu”. Dahsyat, sebuah motivasi yang dibutuhkan oleh seorang pemain kampung yang baru pertama kali pentas di pertandingan internasional. Ketika Yabes di masukkan di sesi kedua pertandingan melawan Filipina, untuk sementara skor masih 1- 0 untuk PSSI. Pemain-pemain kita dibuat frustrasi karena Philipina menerapkan strategi “parkir bus” untuk menahan laju serangan PSSI. Berkat contekkan kaki Yabes, PSSI memperbesar kemenangan atas Filipina.

Doa & sujud
Berkaca dari pengalaman Timnas PSSI yang pernah ada, baru kali ini warna “religius” begitu kental terasa. Berdoa memang merupakan ritual wajib bagi setiap pemain Timnas yang akan berlaga, namun jika ada pelatih yang melakukan sujud syukur saat anak asuhnya menceploskan bola ke gawang lawan nampaknya hanya Indra Sjafri yang melakukannya. Akibatnya, pemain-pemain di lapangan pun juga melakukan selebrasi serupa. Perjuangan tanpa doa sepertinya akan sia-sia, begitu sepertinya moto yang dipegang pelatih, staf dan official serta pemain. Sifat rendah hati namun bukan rendah diri selalu ditanamkan Indra Sjafri kepada anak didiknya.

Hal ini tercermin ketika Indra maupun anakanak asuhnya diwawancarai awak media. Ravi Murdianto sang penjaga gawang, penyerang Ilham Armayn atau Evan Dimas Darmono sang kapten kesebalasan serta pemain-pemain yang lain selalu “tawadlu”, sopan, jauh dari kesan jumawa. Dari segi penguasaan komunikasi, sikap Indra maupun Evan Dimas dan kawan-kawan layak kita jadikan contoh. Di saat bangsa ini mengalami bertubi- tubi deraan kasus-kasus korupsi, banyak elite nasional kita ketika berbicara di depan media malah terkesan arogan, pemarah serta sombong pamer kekuasaan.

Dari sosok Indra Sjafri dan pemain PSSI U-19, kita belajar cara komunikasi yang benar: komunikasi yang sarat kesahajaan. Ketika berbicara kesuksesan, sebagai pelatih bisa saja Indra Sjafri mengklaim bahwa kemenangan PSSI U-19 adalah hasil jerih payahnya. Namun dalam berbagai kesempatan, Indra malah menyebut keberhasilannya ditopang oleh banyak orang di belakang layar. Ada tim teknis yang dibesut eks pemain senior Rudi William Keeltjes, ada tim “mata-mata” yang digawangi Rudi Eka Priyambada, ada tim psikolog, medis serta staf yang lain.

Tidak pernah sekalipun Indra mengumbar cerita kalau dirinya kerap mengeluarkan dana pribadi untuk mencari bibit-bibit baru di seluruh pelosok Tanah Air. Kini terbukti, strategi “blusukkannya” menuai hasil. Berkaca dari perjuangan dan pengorbanan Indra Sjafri, ini merupakan sebuah keteladanan yang patut disimak oleh para pejabat-pejabat kita di tataran eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Betapa kita muak dengan perilaku koruptif dan hedonis pejabat-pejabat kita. Menumpuk harta secara berlebihan dengan cara yang melanggar hukum, perbuatan amoral yang tidak selaras dengan jabatan dan tingkat pendidikan, serta tidak peduli dengan sesama apalagi terhadap bangsa dan negara.

Ternyata, dari sosok Indra Sjafri dan pemain- pemain PSSI U-19, kita belajar cara memupuk nasionalisme yang benar: memperhebat daya upaya untuk mengharumkan Tanah Air. Bagi anak-anak muda, perjuangan Paulo Sitanggang, Maldini Pali, Hargianto, Putu Gede, dan pemain-pemain lain di PSSI U-19 layak dijadikan contoh keteladanan. Mencari tokoh panutan tidak selalu dari pemain-pemain sinetron atau penyanyi mancanegara. Memang harus diakui, mencari figur panutan di negeri sulitnya juga bukan main.

Di saat tokoh-tokoh nasional yang kerap bermunculan di layar kaca satu persatu dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, kehadiran anak-anak muda bersahaja dari seantero negeri layak dijadikan teladan. Kerja keras, konsistensi dengan pilihan hidup yang diambil, kemiskinan tidak boleh memupuskan harapan serta selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan nilainilai kehidupan yang telah lama “alpa” dalam jiwa anak muda kita sekarang.

Saat pelajar-pelajar Ibu Kota mempertontonkan “kejagoannya” dengan aksi siraman air keras kepada sesama pelajar lainnya bahkan ke warga lainnya, ternyata aksi kerja keras pemain PSSI U-19 di lapangan sepak bola justru itulah aksi jagoan yang sesungguhnya. Berjibaku di lapangan, mengejar lawan hingga dapat, mengejar arah bola ke mana pun pergi, serta berlari sepanjang permainan berlangsung.

Tua atau muda, kaya ataupun yang hidup pas-pasan di tengah himpitan kehidupan yang serbasusah, menonton di stadion Gelora Bung Karno atau nonton bareng ternyata asa yang ditunjukkan PSSI U-19 membawa harapan dan optimisme baru. Kita bisa menjadi bangsa yang besar dan hebat jika kita mau bekerja keras. Kita bisa menjadi hebat jika kita tidak melupakan Sang Pencipta. Kita bisa bangkit dari keterpurukan jika kita bersatu. Terima kasih anak-anak muda di PSSI U-19, hatur nuhununtuk Indra Sjafri, matursuwun untuk tim di belakang layar. Berkat Anda semualah, terasa “Ada Garuda di Dadaku”.

ARI JUNAEDI
Doktor Komunikasi Politik, Pengajar Program S-1 & S-2 Universitas Indonesia (UI) dan
Penggila Sepak Bola
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0759 seconds (0.1#10.140)