Mengendalikan penduduk di tanah air
A
A
A
JUMLAH penduduk Indonesia terus menanjak. Tahun ini diperkirakan jumlah penduduk bakal mencapai 250 juta jiwa. Bila perkiraan itu benar, jumlah penduduk Indonesia meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah penduduk pada dua dasawarsa silam.
Salah satu penyebab peningkatan jumlah penduduk adalah jumlah kelahiran yang masih tinggi yakni rata-rata sebanyak 4,5 juta bayi per tahun. Tingginya angka kelahiran itu menunjukkan kampanye pembatasan kelahiran atau keluarga berencana masih belum berhasil. Jumlah kelahiran bayi setinggi itu menyebabkan Indonesia belum mencapai Millennium Development Goals (MDGs) mengenai maternal health atau kesehatan ibu saat kehamilan.
Tanda-tanda ketidakberhasilan kampanye pembatasan kelahiran itu tampak dari penghitungan total fertility rate (TFR) di Indonesia yang mencapai 2,6 dari jumlah wanita usia produktif melahirkan. Angka ini jauh dari harapan ideal pemerintah yang menargetkan sebesar 2,1. Tingginya TFR ini tentu harus diwaspadai. Tingginya tingkat kelahiran berkorelasi dengan angka kematian ibu (AKI) hamil atau melahirkan.
Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan, AKI di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran. Meskipun besarnya AKI pada hasil SDKI 2012 masih diperdebatkan dari sisi metodologi dan besar sampel yang diperoleh, tingginya AKI di Indonesia perlu mendapat perhatian serius untuk penanggulangannya. Angka ini tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain.
Di Vietnam, yang juga tergolong negara berkembang seperti Indonesia, angka AKI cuma 50 orang per 100.000 kelahiran. Sedangkan Thailand, Malaysia, dan Singapura lebih rendah lagi, masingmasing 10, 5, dan 3 ibu meninggal dari 100.000 kelahiran. Tingginya AKI melahirkan jelas berkorelasi dengan tingginya angka kelahiran. Karena itu, untuk menekan angka kematian ibu melahirkan, salah satu solusi yang patut dihidupkan kembali adalah penggunaan kontrasepsi untuk penjarangan waktu melahirkan.
Hari Kontrasepsi Dunia atau World Contraception Dayyang jatuh pada 26 September lalu tentu bisa menjadi momen yang pas agar semua stakeholder menggalakkan pentingnya pemakaian alat kontrasepsi untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Apalagi saat ini sudah tersedia berbagai jenis alat kontrasepsi, bahkan untuk penduduk kelompok prasejahtera dan sejahtera satu, pemerintah menyediakan seluruh metode layanan kontrasepsi beserta alat kontrasepsinya secara cuma-cuma.
Pemerintah bahkan telah menetapkan untuk memberikan pelayanan cuma-cuma bagi seluruh penduduk di tujuh propinsi yaitu Aceh, NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Pasangan suami-istri bisa memilih metode kontrasepsi yang pas. Mulai metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yang bersifat tidak permanen seperti penggunaan intra uterine device (IUD) atau spiral dan implan. Atau bisa memilih MKJP yang permanen seperti tindakan sterilisasi pria atau wanita; atau menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek (Non-MKJP) seperti penggunaan kondom, minum pil, atau suntik KB.
Kampanye penggunaan alat kontrasepsi bukan perkara mudah. Selalu saja ada sikap pro dan kontra dari masyarakat. Kendati demikian, terlepas dari silang pendapat itu, pemerintah tentu tidak bisa berpangku tangan begitu saja dengan membiarkan jumlah penduduk meledak. Melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Keluarga Berencana (KB) dan pemerintah kabupaten/ kota terus berupaya menyosialisasikan dengan memberikan pemahaman agar penggunaan kontrasepsi bisa diterima dan kemudian secara luas digunakan masyarakat.
Kampanye penggunaan alat kontrasepsi saat ini belum berjalan optimal. Luas Indonesia yang terbentang jauh dengan profil geografis kepulauan salah satu tantangan agar kampanye KB bisa mencapai seluruh penjuru Indonesia. Di lain pihak, sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah, program kependudukan dan KB sangat bergantung pada kebijakan masing-masing kepala daerah.
Sarana prasarana penunjang pemakaian KB seperti klinik kesehatan menjadi tidak optimal. Timpangnya pendapatan satu daerah dengan daerah yang lain jelas membuat pembangunan sarana kesehatan juga timpang. Belum lagi ketersediaan tenaga dokter atau bidan. Di daerah makmur bisa jadi akan memiliki banyak klinik, banyak dokter dan bidan. Kondisi sebaliknya terjadi di daerah minus.
Padahal klinik-klinik inilah yang menjadi ujung tombak sosialisasi agar masyarakat disiplin memakai alat-alat KB. Selain keberadaan klinik yang tidak merata, faktor geografi juga menjadi tantangan. Akibat itu, penduduk yang bertempat tinggal di daerah terpencil harus menempuh puluhan kilometer untuk mencapai klinik.
Padahal, beberapa alat kontrasepsi memerlukan kehadiran pengguna secara teratur dan kontinu seperti penggunaan KB suntik yang perlu diulang tiga bulan sekali. Tentu saja masih ada solusi untuk mengatasi masalah tersebut yakni mengoptimalkan MKJP. Metode ini bisa mengatasi persoalan hambatan geografi dan solusi agar jadwal pemakaian alat kontrasepsi masyarakat lebih fleksibel dengan efektivitas yang lebih baik sehingga mengurangi drop out rate–tingkat kegagalan KB.
Untuk menghadapi era Jaminan Kesehatan Nasional yang akan dimula secara bertahap pada 2014, pemerintah berupaya keras untuk menyediakan satu klinik MKJP di setiap desa di seluruh penjuru Tanah Air sehingga seluruh pasangan usia subur dapat melakukan kunjungan untuk pemeriksaan dan pelayanan KB. Dari sisi pengguna, biaya akan jauh lebih ekonomis karena hanya mengeluarkan ongkos satu kali kedatangan ke klinik.
Selain itu, masyarakat juga tidak perlu mengatur jadwal rutin karena baik IUD atau implan sudah “terpasang” di bagian tubuh. Salah satu alat kontrasepsi jangka panjang yakni implan bahkan memiliki tingkat kegagalan paling rendah dibandingkan dengan alat kontrasepsi yang lain yakni bisa mencapai 0,05% dari 100 wanita pemakai. Ini jauh lebih rendah dibandingkan kontrasepsi lain yang mencapai di atas 1%.
Terlepas dari berbagai kendala yang ada, masalah kependudukan mendesak ditangani secara serius. Kampanye penggunaan kontrasepsi menyelamatkan nyawa lebih dari seperempat juta perempuan setiap tahun, baik dari kematian saat melahirkan atau aborsi dari kelahiran yang tak diinginkan. Selain itu juga harus ada kebijakan pemerintah yang terintegrasi.
Sebagai contoh,Kanada dan berbagai negara di Eropa menerapkan keringanan pajak hingga18-30% bagi penduduk yang hanya memiliki dua anak. Untuk memberikan kesempatan bagi orang tuanya melakukan investasi pengembangan anak. Ada integrasi antara kebijakan kesehatan dan perpajakan untuk peningkatan kualitas generasi mudanya.
JULIANTO WITJAKSONO
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN
Salah satu penyebab peningkatan jumlah penduduk adalah jumlah kelahiran yang masih tinggi yakni rata-rata sebanyak 4,5 juta bayi per tahun. Tingginya angka kelahiran itu menunjukkan kampanye pembatasan kelahiran atau keluarga berencana masih belum berhasil. Jumlah kelahiran bayi setinggi itu menyebabkan Indonesia belum mencapai Millennium Development Goals (MDGs) mengenai maternal health atau kesehatan ibu saat kehamilan.
Tanda-tanda ketidakberhasilan kampanye pembatasan kelahiran itu tampak dari penghitungan total fertility rate (TFR) di Indonesia yang mencapai 2,6 dari jumlah wanita usia produktif melahirkan. Angka ini jauh dari harapan ideal pemerintah yang menargetkan sebesar 2,1. Tingginya TFR ini tentu harus diwaspadai. Tingginya tingkat kelahiran berkorelasi dengan angka kematian ibu (AKI) hamil atau melahirkan.
Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan, AKI di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran. Meskipun besarnya AKI pada hasil SDKI 2012 masih diperdebatkan dari sisi metodologi dan besar sampel yang diperoleh, tingginya AKI di Indonesia perlu mendapat perhatian serius untuk penanggulangannya. Angka ini tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain.
Di Vietnam, yang juga tergolong negara berkembang seperti Indonesia, angka AKI cuma 50 orang per 100.000 kelahiran. Sedangkan Thailand, Malaysia, dan Singapura lebih rendah lagi, masingmasing 10, 5, dan 3 ibu meninggal dari 100.000 kelahiran. Tingginya AKI melahirkan jelas berkorelasi dengan tingginya angka kelahiran. Karena itu, untuk menekan angka kematian ibu melahirkan, salah satu solusi yang patut dihidupkan kembali adalah penggunaan kontrasepsi untuk penjarangan waktu melahirkan.
Hari Kontrasepsi Dunia atau World Contraception Dayyang jatuh pada 26 September lalu tentu bisa menjadi momen yang pas agar semua stakeholder menggalakkan pentingnya pemakaian alat kontrasepsi untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Apalagi saat ini sudah tersedia berbagai jenis alat kontrasepsi, bahkan untuk penduduk kelompok prasejahtera dan sejahtera satu, pemerintah menyediakan seluruh metode layanan kontrasepsi beserta alat kontrasepsinya secara cuma-cuma.
Pemerintah bahkan telah menetapkan untuk memberikan pelayanan cuma-cuma bagi seluruh penduduk di tujuh propinsi yaitu Aceh, NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Pasangan suami-istri bisa memilih metode kontrasepsi yang pas. Mulai metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yang bersifat tidak permanen seperti penggunaan intra uterine device (IUD) atau spiral dan implan. Atau bisa memilih MKJP yang permanen seperti tindakan sterilisasi pria atau wanita; atau menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek (Non-MKJP) seperti penggunaan kondom, minum pil, atau suntik KB.
Kampanye penggunaan alat kontrasepsi bukan perkara mudah. Selalu saja ada sikap pro dan kontra dari masyarakat. Kendati demikian, terlepas dari silang pendapat itu, pemerintah tentu tidak bisa berpangku tangan begitu saja dengan membiarkan jumlah penduduk meledak. Melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Keluarga Berencana (KB) dan pemerintah kabupaten/ kota terus berupaya menyosialisasikan dengan memberikan pemahaman agar penggunaan kontrasepsi bisa diterima dan kemudian secara luas digunakan masyarakat.
Kampanye penggunaan alat kontrasepsi saat ini belum berjalan optimal. Luas Indonesia yang terbentang jauh dengan profil geografis kepulauan salah satu tantangan agar kampanye KB bisa mencapai seluruh penjuru Indonesia. Di lain pihak, sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah, program kependudukan dan KB sangat bergantung pada kebijakan masing-masing kepala daerah.
Sarana prasarana penunjang pemakaian KB seperti klinik kesehatan menjadi tidak optimal. Timpangnya pendapatan satu daerah dengan daerah yang lain jelas membuat pembangunan sarana kesehatan juga timpang. Belum lagi ketersediaan tenaga dokter atau bidan. Di daerah makmur bisa jadi akan memiliki banyak klinik, banyak dokter dan bidan. Kondisi sebaliknya terjadi di daerah minus.
Padahal klinik-klinik inilah yang menjadi ujung tombak sosialisasi agar masyarakat disiplin memakai alat-alat KB. Selain keberadaan klinik yang tidak merata, faktor geografi juga menjadi tantangan. Akibat itu, penduduk yang bertempat tinggal di daerah terpencil harus menempuh puluhan kilometer untuk mencapai klinik.
Padahal, beberapa alat kontrasepsi memerlukan kehadiran pengguna secara teratur dan kontinu seperti penggunaan KB suntik yang perlu diulang tiga bulan sekali. Tentu saja masih ada solusi untuk mengatasi masalah tersebut yakni mengoptimalkan MKJP. Metode ini bisa mengatasi persoalan hambatan geografi dan solusi agar jadwal pemakaian alat kontrasepsi masyarakat lebih fleksibel dengan efektivitas yang lebih baik sehingga mengurangi drop out rate–tingkat kegagalan KB.
Untuk menghadapi era Jaminan Kesehatan Nasional yang akan dimula secara bertahap pada 2014, pemerintah berupaya keras untuk menyediakan satu klinik MKJP di setiap desa di seluruh penjuru Tanah Air sehingga seluruh pasangan usia subur dapat melakukan kunjungan untuk pemeriksaan dan pelayanan KB. Dari sisi pengguna, biaya akan jauh lebih ekonomis karena hanya mengeluarkan ongkos satu kali kedatangan ke klinik.
Selain itu, masyarakat juga tidak perlu mengatur jadwal rutin karena baik IUD atau implan sudah “terpasang” di bagian tubuh. Salah satu alat kontrasepsi jangka panjang yakni implan bahkan memiliki tingkat kegagalan paling rendah dibandingkan dengan alat kontrasepsi yang lain yakni bisa mencapai 0,05% dari 100 wanita pemakai. Ini jauh lebih rendah dibandingkan kontrasepsi lain yang mencapai di atas 1%.
Terlepas dari berbagai kendala yang ada, masalah kependudukan mendesak ditangani secara serius. Kampanye penggunaan kontrasepsi menyelamatkan nyawa lebih dari seperempat juta perempuan setiap tahun, baik dari kematian saat melahirkan atau aborsi dari kelahiran yang tak diinginkan. Selain itu juga harus ada kebijakan pemerintah yang terintegrasi.
Sebagai contoh,Kanada dan berbagai negara di Eropa menerapkan keringanan pajak hingga18-30% bagi penduduk yang hanya memiliki dua anak. Untuk memberikan kesempatan bagi orang tuanya melakukan investasi pengembangan anak. Ada integrasi antara kebijakan kesehatan dan perpajakan untuk peningkatan kualitas generasi mudanya.
JULIANTO WITJAKSONO
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN
(nfl)