Prahara (Mahkamah) Konstitusi
A
A
A
SEBUAH berita amat dahsyat: KPK menangkap ketua Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga tinggi negara satu-satunya di negeri ini yang diberi wewenang menyatakan apa yang konstitusional dan apa yang inkonstitusional dari berlakunya semua undang-undang.
Menurut Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar, penangkapan Akil Mochtar adalah cerita lama yang sudah terverifikasi. Fenomena penangkapan Ketua MK Akil Mochtar menggambarkan apa yang oleh Whitehead mengenai kejahatan dilukiskan sebagai terjadinya “proses distorsi dan degradasi intensitas.” Menurut Quiney (1970) kejahatan adalah suatu ketentuan mengenai perilaku manusia yang diciptakan oleh golongan berkuasa dalam masyarakat yang secara otomatis terorganisasi.
Penangkapan sang ketua MK yang dalam khazanah teori konstitusi disimbolisasikan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) tersebut melukiskan dua hal sekaligus. Pertama, dalam konteks kedudukan MK sebagai institusi satu-satunya yang dinisbatkan berwenang menafsirkan konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dan putusannya bersifat final dan mengikat merupakan sebuah delegitimasi secara masif yang justru berasal dari dalam institusi itu sendiri dan pembusukan organisasi (organizational decay).
Kedua, dalam konteks kasus yang diungkap menyangkut jaringan korupsi politik di lingkaran politik pilkada telah mengonfirmasi ada lingkaran setan korupsi politik pilkada (vicious circle of local politics) dan menyebabkan terjadi distorsi dalam sistem demokrasi yang diintegrasikan dalam habitus koruptif. Dalam kasus yang diungkap KPK tersebut terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Dalam kasus pengungkapan korupsi politik yang menjerat ketua MK tersebut sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa berbagai kasus korupsi politik oleh Jean Baudrillard di dalam The Perfect Crime (1995) disebut sebagai the perfect crime (kejahatan sempurna) sebagai sebuah ‘penggelapan’ dan ‘pemerkosaan realitas’ kejahatan; sebuah kejahatan yang menyembunyikan dirinya secara sempurna.
Pembongkaran berbagai skandal korupsi politik akan menyebabkan itu menjadi sebuah arus balik melawan apa yang selama ini dicitrakan sebagai putusan MK yang dinisbatkan “tak dapat salah” karena dalam konstitusi dan UU MK disebut sebagai putusan yang bersifat “final and binding”. Di dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983), Jean Baudrillard menggunakan istilah hiper realitas (hyper-reality) untuk menjelaskan perekayasaan dan distorsi sebuah realitas.
Itulah yang kini menjadi kesan yang kiat menguat bagi publik dan jika tidak ditangani secara tepat akan mendelegitimasi posisi dan kedudukan MK pasca-Mahfud dan Jimly. Pada gilirannya, karena MK dalam konstitusi dinisbatkan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) dan satu-satunya lembaga penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution), yang amat dikhawatirkan adalah terjadi disorientasi publik terhadap institusionalisasi nilai-nilai konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman etis perilaku publik.
Delegitimasi institusi tersebut bisa menyebabkan terjadi krisis kepercayaan publik yang mengarah pada kegagalan publik untuk mempercayai kesahihan makna konstitusi itu sendiri. Itu rawan terhadap terjadi situasi chaotic karena konstitusi sejatinya adalah kontrak politik tertinggi yang menjadi norma fundamental kehidupan ketatanegaraan. Putusan pengadilan yang telah dibuat dengan konsiderasi hukum yang dicemari oleh kasus korupsi politik sulit untuk dipertahankan sebagai sebuah putusan yang memiliki legalitas hukum, mengingat konsiderasi hukum yang dibuat diragukan rasionalitas dan keadilan hukum yang terkandung di dalamnya.
Apalagi itu terjadi dalam sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bisa menempatkan diri sebagai lembaga yang dipimpin oleh seorang negarawan. Penting untuk segera dilakukan kocok ulang hakim-hakim MK karena kini telah ada krisis kepercayaan publik yang kian meluas pascapenangkapan Akil Mochtar, sang ketua aktif MK. Belum lagi ada krisis kepercayaan publik yang belum tuntas terkait proses penetapan Patrialis Akbar yang dilakukan secara tertutup oleh Presiden dan kini SK pengangkatan Patrialis tersebut sedang dalam proses pengujian di PTUN Jakarta.
Jika tidak segera dilakukan terapi organisasi terhadap MK, dikhawatirkan akan terjadi krisis kepercayaan publik sebagai akibat delegitimasi secara masif terhadap institusi tersebut secara luas dan bukan tidak mungkin akan terjadi krisis ketatanegaraan. Saat itu bukan hanya hakim MK yang akan mengalami delegitimasi, melainkan juga bisa mengarah terhadap krisis kepercayaan yang parah terhadap negara.
Kini nyaris tak ada lagi lembaga negara yang bisa dipercaya oleh publik karena jerat korupsi politik yang menyeret sederet nama pejabat publik yang seharusnya harus bisa menjadi panutan masyarakat. Negara telah menjadi ruang leluasa bagi terjadi banalitas kejahatan (banality of evil) dan menjadikan banyak kasus korupsi politik yang sejatinya adalah pengkhianatan terhadap rakyat yang telah mempercayakan nasibnya kepada negara lewat pajak dan retribusi yang dibayarkannya kepada negara dalam APBN/D.
Para elite politik dan pejabat publik sibuk memoles dan mematut diri dengan berbagai citra publik lewat berbagai media, namun realitasnya menyembunyikan sebuah kejahatan yang sempurna (the perfect crime). Baudrillard di dalam The Evil Demon of Images (1983) melihat citra sebagai iblis-iblis jahat yang menakutkan disebabkan kepalsuan, kesemuan, kebohongan yang selalu disajikannya dari hari ke hari secara halus.
Dengan rusaknya integritas pada hampir seluruh pilar-pilar trias politicadi negeri ini sebagai dampak dari berbagai jerat gurita korupsi politik interaksi dinamis di antara tiga pilar trias politica di negeri ini telah menjadi sebuah checks and balances yang palsu dan destruktif. Kasus korupsi politik yang menjerat ketua MK jika tak ditangani akan menjadikan negeri ini ibarat kapal karam yang terjerat karang-karang korupsi-politik.
DR W RIAWAN TJANDRA
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta ,
Saat Ini Sedang Visiting Scholar di Universitas Flinders, Adelaide, Australia
Menurut Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar, penangkapan Akil Mochtar adalah cerita lama yang sudah terverifikasi. Fenomena penangkapan Ketua MK Akil Mochtar menggambarkan apa yang oleh Whitehead mengenai kejahatan dilukiskan sebagai terjadinya “proses distorsi dan degradasi intensitas.” Menurut Quiney (1970) kejahatan adalah suatu ketentuan mengenai perilaku manusia yang diciptakan oleh golongan berkuasa dalam masyarakat yang secara otomatis terorganisasi.
Penangkapan sang ketua MK yang dalam khazanah teori konstitusi disimbolisasikan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) tersebut melukiskan dua hal sekaligus. Pertama, dalam konteks kedudukan MK sebagai institusi satu-satunya yang dinisbatkan berwenang menafsirkan konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dan putusannya bersifat final dan mengikat merupakan sebuah delegitimasi secara masif yang justru berasal dari dalam institusi itu sendiri dan pembusukan organisasi (organizational decay).
Kedua, dalam konteks kasus yang diungkap menyangkut jaringan korupsi politik di lingkaran politik pilkada telah mengonfirmasi ada lingkaran setan korupsi politik pilkada (vicious circle of local politics) dan menyebabkan terjadi distorsi dalam sistem demokrasi yang diintegrasikan dalam habitus koruptif. Dalam kasus yang diungkap KPK tersebut terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Dalam kasus pengungkapan korupsi politik yang menjerat ketua MK tersebut sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa berbagai kasus korupsi politik oleh Jean Baudrillard di dalam The Perfect Crime (1995) disebut sebagai the perfect crime (kejahatan sempurna) sebagai sebuah ‘penggelapan’ dan ‘pemerkosaan realitas’ kejahatan; sebuah kejahatan yang menyembunyikan dirinya secara sempurna.
Pembongkaran berbagai skandal korupsi politik akan menyebabkan itu menjadi sebuah arus balik melawan apa yang selama ini dicitrakan sebagai putusan MK yang dinisbatkan “tak dapat salah” karena dalam konstitusi dan UU MK disebut sebagai putusan yang bersifat “final and binding”. Di dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983), Jean Baudrillard menggunakan istilah hiper realitas (hyper-reality) untuk menjelaskan perekayasaan dan distorsi sebuah realitas.
Itulah yang kini menjadi kesan yang kiat menguat bagi publik dan jika tidak ditangani secara tepat akan mendelegitimasi posisi dan kedudukan MK pasca-Mahfud dan Jimly. Pada gilirannya, karena MK dalam konstitusi dinisbatkan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) dan satu-satunya lembaga penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution), yang amat dikhawatirkan adalah terjadi disorientasi publik terhadap institusionalisasi nilai-nilai konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman etis perilaku publik.
Delegitimasi institusi tersebut bisa menyebabkan terjadi krisis kepercayaan publik yang mengarah pada kegagalan publik untuk mempercayai kesahihan makna konstitusi itu sendiri. Itu rawan terhadap terjadi situasi chaotic karena konstitusi sejatinya adalah kontrak politik tertinggi yang menjadi norma fundamental kehidupan ketatanegaraan. Putusan pengadilan yang telah dibuat dengan konsiderasi hukum yang dicemari oleh kasus korupsi politik sulit untuk dipertahankan sebagai sebuah putusan yang memiliki legalitas hukum, mengingat konsiderasi hukum yang dibuat diragukan rasionalitas dan keadilan hukum yang terkandung di dalamnya.
Apalagi itu terjadi dalam sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bisa menempatkan diri sebagai lembaga yang dipimpin oleh seorang negarawan. Penting untuk segera dilakukan kocok ulang hakim-hakim MK karena kini telah ada krisis kepercayaan publik yang kian meluas pascapenangkapan Akil Mochtar, sang ketua aktif MK. Belum lagi ada krisis kepercayaan publik yang belum tuntas terkait proses penetapan Patrialis Akbar yang dilakukan secara tertutup oleh Presiden dan kini SK pengangkatan Patrialis tersebut sedang dalam proses pengujian di PTUN Jakarta.
Jika tidak segera dilakukan terapi organisasi terhadap MK, dikhawatirkan akan terjadi krisis kepercayaan publik sebagai akibat delegitimasi secara masif terhadap institusi tersebut secara luas dan bukan tidak mungkin akan terjadi krisis ketatanegaraan. Saat itu bukan hanya hakim MK yang akan mengalami delegitimasi, melainkan juga bisa mengarah terhadap krisis kepercayaan yang parah terhadap negara.
Kini nyaris tak ada lagi lembaga negara yang bisa dipercaya oleh publik karena jerat korupsi politik yang menyeret sederet nama pejabat publik yang seharusnya harus bisa menjadi panutan masyarakat. Negara telah menjadi ruang leluasa bagi terjadi banalitas kejahatan (banality of evil) dan menjadikan banyak kasus korupsi politik yang sejatinya adalah pengkhianatan terhadap rakyat yang telah mempercayakan nasibnya kepada negara lewat pajak dan retribusi yang dibayarkannya kepada negara dalam APBN/D.
Para elite politik dan pejabat publik sibuk memoles dan mematut diri dengan berbagai citra publik lewat berbagai media, namun realitasnya menyembunyikan sebuah kejahatan yang sempurna (the perfect crime). Baudrillard di dalam The Evil Demon of Images (1983) melihat citra sebagai iblis-iblis jahat yang menakutkan disebabkan kepalsuan, kesemuan, kebohongan yang selalu disajikannya dari hari ke hari secara halus.
Dengan rusaknya integritas pada hampir seluruh pilar-pilar trias politicadi negeri ini sebagai dampak dari berbagai jerat gurita korupsi politik interaksi dinamis di antara tiga pilar trias politica di negeri ini telah menjadi sebuah checks and balances yang palsu dan destruktif. Kasus korupsi politik yang menjerat ketua MK jika tak ditangani akan menjadikan negeri ini ibarat kapal karam yang terjerat karang-karang korupsi-politik.
DR W RIAWAN TJANDRA
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta ,
Saat Ini Sedang Visiting Scholar di Universitas Flinders, Adelaide, Australia
(nfl)