Kasus Akil akibat kekuasaan MK tak terbatas
A
A
A
Sindonews.com - Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak terbatas dianggap menjadi salah satu celah untuk upaya penyuapan, seperti yang saat ini tengah dialami oleh Ketua MK Akil Mochtar.
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengungkapkan, kasus ini jauh berbeda ketika sebelum tahun 2006, KY masih diberikan kekuasaan untuk mengawasi lembaga hukum termasuk MK.
"Kalau dari dulu kan MA (Mahkamah Agung) banyak terjadi (kasus), KY juga ikut mengawasi dan menghadirkan saksi," kata Imam dalam keterangan persnya, Kamis (3/10/2013).
"KY dianggap baik-baik dan belum sampai tahap seperti sekarang. Penangkapan ini memalukan dunia hukum, kita sebagai bangsa ada lembaga tinggi negara yang menegakkan kontitusi kok melakukan tindakan tercela," imbuhnya.
Komisioner bidang hubungan antar lembaga ini mengatakan, seharusnya peraturan mengenai kewenangan MK ini perlu kembali mendapatkan evaluasi. Dia menceritakan, ketika pada awalnya Undang-Undang (UU) 2004 tentang UU KY bahwa hakim MA, MK diawasi oleh mereka.
Namun, kemudian putusan MK pada tahun 2006 justru menghapus kewenangan KY untuk mengawasi lembaga tersebut. "Artinya, lembaga itu (MK) berjalan tanpa ada pengawasan, etik, moral, dan perilaku hakimnya. Sehingga kita perlu berpikir ke depan, bagaimana agar dalam hal ini kewenangan KY untuk mengawasi semua hakim termasuk MK juga. Paling tidak untuk mengurangi hal seperti ini," paparnya.
Karenanya, lanjut Imam, dengan adanya pengawas, hakim yang bertemu pihak yang bersengketa saja sudah melakukan pelanggaran etika. "Ini tanpa pengawasan, artinya kontrolnya enggak ada, saya rasa secara perspektif perundang-undangan harus dibenahi," tegasnya.
Baca juga berita terkait, Akil resmi jadi tersangka di 2 pilkada.
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengungkapkan, kasus ini jauh berbeda ketika sebelum tahun 2006, KY masih diberikan kekuasaan untuk mengawasi lembaga hukum termasuk MK.
"Kalau dari dulu kan MA (Mahkamah Agung) banyak terjadi (kasus), KY juga ikut mengawasi dan menghadirkan saksi," kata Imam dalam keterangan persnya, Kamis (3/10/2013).
"KY dianggap baik-baik dan belum sampai tahap seperti sekarang. Penangkapan ini memalukan dunia hukum, kita sebagai bangsa ada lembaga tinggi negara yang menegakkan kontitusi kok melakukan tindakan tercela," imbuhnya.
Komisioner bidang hubungan antar lembaga ini mengatakan, seharusnya peraturan mengenai kewenangan MK ini perlu kembali mendapatkan evaluasi. Dia menceritakan, ketika pada awalnya Undang-Undang (UU) 2004 tentang UU KY bahwa hakim MA, MK diawasi oleh mereka.
Namun, kemudian putusan MK pada tahun 2006 justru menghapus kewenangan KY untuk mengawasi lembaga tersebut. "Artinya, lembaga itu (MK) berjalan tanpa ada pengawasan, etik, moral, dan perilaku hakimnya. Sehingga kita perlu berpikir ke depan, bagaimana agar dalam hal ini kewenangan KY untuk mengawasi semua hakim termasuk MK juga. Paling tidak untuk mengurangi hal seperti ini," paparnya.
Karenanya, lanjut Imam, dengan adanya pengawas, hakim yang bertemu pihak yang bersengketa saja sudah melakukan pelanggaran etika. "Ini tanpa pengawasan, artinya kontrolnya enggak ada, saya rasa secara perspektif perundang-undangan harus dibenahi," tegasnya.
Baca juga berita terkait, Akil resmi jadi tersangka di 2 pilkada.
(maf)