Radikalisasi Pancasila di bidang agama
A
A
A
ISTILAH “radikalisasi” di tulisan ini mengacu pada pemikiran almarhum Kuntowijoyo (Kompas, 20 Februari 2001) yang menawarkan untuk: mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara; mengganti persepsi dari Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial; serta Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal.
Penjelasan Kuntowijoyo mengindikasikan bahwa sebetulnya apa yang ia maksudkan dengan istilah radikalisasi itu bisa juga diganti dengan istilah revitalisasi, restorasi, renaisans, dan objektivikasi. Kendati demikian, semua istilah pengganti itu memang tidak bisa mencakup seluruh elemen yang dikandung dalam kata radikalisasi sebagaimana dikemukakan Kunto. Meski istilah ini membingungkan, kriteria-kriteria di atas cukup bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisasi.
Dengan mengacu pada beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini, penulis sepakat dengan upaya radikalisasi Pancasila sebagaimana dipaparkan Kuntowijoyo itu. Pertama, pada tahun-tahun terakhir ini, terutama sejak Era Reformasi 1998, terdapat kecenderungan dari beberapa orang untuk kembali mempertentangkan antara Islam dan Pancasila atau loyalitas kepada agama dan loyalitaskepada negara. Ketaatan pada ideologi lain selain Islam, beberapa kelompok meyakini, bisa disebut sebagai pelanggaran terhadap Islam.
Kedua, beberapa peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang diciptakan belakangan ini terlihat tidak konsisten dengan nilainilai Pancasila. Yang paling mencolok terutama peraturan yang berkaitan dengan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Ketiga, nilai utama yang dikandung Pancasila, menurut Soekarno, adalah gotong-royong. Sayangnya, nilai ini sepertinya sudah luntur di masyarakat. Misalnya, budaya antre di jalan raya sepertinya sudah tidak berlaku. Keamanan di Jakarta sangat bergantung pada satpam, sementara masyarakat tak mau saling membahu mengamankan daerahnya. Orang hanya mau membantu pada mereka yang seagama, sementara kelompok yang dituduh sesat, meski hidup miskin, tak diberi zakat pada Ramadan.
Tiga hal di atas di antaranya yang membuat radikalisasi Pancasila perlu segera direalisasikan. Persoalannya kemudian adalah ke arah mana kita mesti mengacu dalam kaitannya dengan pemahaman Pancasila yang benar? Pemahaman Pancasila seperti apa yang perlu diamalkan? Seringkali orang memandang bahwa pemahaman para pendiri negeri ini, terutama para perumus Pancasila seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, adalah yang paling sah dan sempurna dalam menjelaskan nilai-nilai yang dikandung Pancasila.
Penafsiran yang dilakukan para perumus Pancasila memang harus tetap dijadikan acuan. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa setiap orang itu hidup pada zamannya dan problemnya masing-masing. Secara prinsip, penjelasan Soekarno-Hatta ketika mengelaborasi Pancasila perlu dirujuk karena nilai historis di situ. Hanya, perlu digarisbawahi bahwa pemahaman mereka tak perlu dianggap yang paling sempurna dan otentitas itu tak mesti berada di titik awal sejarah Indonesia.
Sikap kritis ini perlu dilakukan untuk menghindari apa yang dikonsepsikan Mircea Eliade sebagai the myth of eternal return, sebuah keyakinan bahwa kita lemah dan buruk sementara orang-orang dahulu itu manusia terbaik. Contoh terbaik dalam bahasan ini adalah Ahmadiyah.
Meski dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menulis satu bab yang berjudul “Tidak Pertjaja Bahwa Mirza Ghulam Ahmad Adalah Nabi”, di era Soekarno-lah pemerintah mengakui secara resmi (Keputusan Menteri Kehakiman RI No JA 5/23/13 13 Maret 1953) keberadaan organisasi Ahmadiyah di Indonesia. Hanya, era Soekarno pulalah yang melahirkan UU No 1/PNPS/1965. Meski memiliki konteks yang berbeda pada saat pengeluarannya, UU itu kini dipakai sebagai dasar hukum untuk membubarkan Ahmadiyah. Pada akhir kekuasaannya, ideologi Pancasila ini diubah sedemikian rupa untuk mendukung kekuasaan Soekarno.
Selain perlunya radikalisasi penerapan Pancasila dan pencarian yang radikal terhadap interpretasi Pancasila yang sesuai dengan zaman sekarang, dalam kaitannya dengan radikalisasi ada satu hal lagi yang perlu dipikirkan yaitu pada substansi Pancasila itu sendiri. Meski Pancasila itu harus dianggap sakti, sila-sila Pancasila bukanlah tak memiliki masalah. Dalam kaitannya dengan agama, tentu sila pertama yang perlu dilihat.
Dalam banyak diskusi, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” jarang atau tidak pernah dipersoalkan. Banyak aktivis dan sarjana yang menganggap sila ini berkah bagi umat beragama. Ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan murni negara sekuler murni karena agama ditempatkan di sila pertama dari dasar negara. Kendati demikian, sila ini mengandung banyak persoalan sejak dilahirkan.
Di antaranya persoalan di urutan ke berapa dia harus ditempatkan dan bagaimana susunan kalimat yang tepat untuk sila ini. Dalam usulannya, Soekarno hanya menyebut “Ketuhanan”. Kubu Islam meminta tambahan tujuh kata “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Kepada Pemeluknya”. Hasil akhir dari kompromi adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kata “Yang Maha Esa” dalam sila ini menunjukkan betapa kuat pengaruh Islam dan Kristen dalam penyusunan Pancasila.
Konsekuensi dari kata-kata tersebut, kelompok agama yang tuhannya tidak esa dikeluarkan dari agama yang diakui pada masa awal kemerdekaan. Karena memiliki konsep ketuhanan yang berbeda dari Islam dan Kristen, Hindu dan Buddha misalnya baru diakui sebagai agama di Departemen Agama pada 1950-an. Itu pun terjadi setelah umat Hindu menetapkan “Sang Hyang Widi” yang sebelumnya tak terlalu sentral dalam agama ini sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara agama Buddha harus menyepakati untuk menganggap tokoh Adi Buddha, nama yang diambil dari teks Jawa Kuno, sebagai Tuhan Yang Esa (Howell 2005, 478). Ini belum lagi kalau dilihat kondisi para penganut agama lokal. Keyakinan mereka tak dianggap sebagai agama karena konsepsi keagamaan mereka berbeda dari agama Semit yang memiliki nabi dan kitab suci.
Kesimpulannya, dalam kaitannya dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan dalam upaya radikalisasi Pancasila, tiga hal yang perlu mendapat perhatian oleh bangsa Indonesia saat ini yaitu penerapan Pancasila, penafsiran Pancasila, dan pembacaan secara kritis terhadap Pancasila. Dengan melihat Pancasila dengan tiga perspektif itu, kesaktian Pancasila tidak hanya muncul sebagai simbol, tapi juga menjadi lebih nyata dan kritis.
AHMAD NAJIB BURHANI
Peneliti LIPI & Doktor Bidang Agama dari Universitas California, Santa Barbara
Penjelasan Kuntowijoyo mengindikasikan bahwa sebetulnya apa yang ia maksudkan dengan istilah radikalisasi itu bisa juga diganti dengan istilah revitalisasi, restorasi, renaisans, dan objektivikasi. Kendati demikian, semua istilah pengganti itu memang tidak bisa mencakup seluruh elemen yang dikandung dalam kata radikalisasi sebagaimana dikemukakan Kunto. Meski istilah ini membingungkan, kriteria-kriteria di atas cukup bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisasi.
Dengan mengacu pada beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini, penulis sepakat dengan upaya radikalisasi Pancasila sebagaimana dipaparkan Kuntowijoyo itu. Pertama, pada tahun-tahun terakhir ini, terutama sejak Era Reformasi 1998, terdapat kecenderungan dari beberapa orang untuk kembali mempertentangkan antara Islam dan Pancasila atau loyalitas kepada agama dan loyalitaskepada negara. Ketaatan pada ideologi lain selain Islam, beberapa kelompok meyakini, bisa disebut sebagai pelanggaran terhadap Islam.
Kedua, beberapa peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang diciptakan belakangan ini terlihat tidak konsisten dengan nilainilai Pancasila. Yang paling mencolok terutama peraturan yang berkaitan dengan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Ketiga, nilai utama yang dikandung Pancasila, menurut Soekarno, adalah gotong-royong. Sayangnya, nilai ini sepertinya sudah luntur di masyarakat. Misalnya, budaya antre di jalan raya sepertinya sudah tidak berlaku. Keamanan di Jakarta sangat bergantung pada satpam, sementara masyarakat tak mau saling membahu mengamankan daerahnya. Orang hanya mau membantu pada mereka yang seagama, sementara kelompok yang dituduh sesat, meski hidup miskin, tak diberi zakat pada Ramadan.
Tiga hal di atas di antaranya yang membuat radikalisasi Pancasila perlu segera direalisasikan. Persoalannya kemudian adalah ke arah mana kita mesti mengacu dalam kaitannya dengan pemahaman Pancasila yang benar? Pemahaman Pancasila seperti apa yang perlu diamalkan? Seringkali orang memandang bahwa pemahaman para pendiri negeri ini, terutama para perumus Pancasila seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, adalah yang paling sah dan sempurna dalam menjelaskan nilai-nilai yang dikandung Pancasila.
Penafsiran yang dilakukan para perumus Pancasila memang harus tetap dijadikan acuan. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa setiap orang itu hidup pada zamannya dan problemnya masing-masing. Secara prinsip, penjelasan Soekarno-Hatta ketika mengelaborasi Pancasila perlu dirujuk karena nilai historis di situ. Hanya, perlu digarisbawahi bahwa pemahaman mereka tak perlu dianggap yang paling sempurna dan otentitas itu tak mesti berada di titik awal sejarah Indonesia.
Sikap kritis ini perlu dilakukan untuk menghindari apa yang dikonsepsikan Mircea Eliade sebagai the myth of eternal return, sebuah keyakinan bahwa kita lemah dan buruk sementara orang-orang dahulu itu manusia terbaik. Contoh terbaik dalam bahasan ini adalah Ahmadiyah.
Meski dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menulis satu bab yang berjudul “Tidak Pertjaja Bahwa Mirza Ghulam Ahmad Adalah Nabi”, di era Soekarno-lah pemerintah mengakui secara resmi (Keputusan Menteri Kehakiman RI No JA 5/23/13 13 Maret 1953) keberadaan organisasi Ahmadiyah di Indonesia. Hanya, era Soekarno pulalah yang melahirkan UU No 1/PNPS/1965. Meski memiliki konteks yang berbeda pada saat pengeluarannya, UU itu kini dipakai sebagai dasar hukum untuk membubarkan Ahmadiyah. Pada akhir kekuasaannya, ideologi Pancasila ini diubah sedemikian rupa untuk mendukung kekuasaan Soekarno.
Selain perlunya radikalisasi penerapan Pancasila dan pencarian yang radikal terhadap interpretasi Pancasila yang sesuai dengan zaman sekarang, dalam kaitannya dengan radikalisasi ada satu hal lagi yang perlu dipikirkan yaitu pada substansi Pancasila itu sendiri. Meski Pancasila itu harus dianggap sakti, sila-sila Pancasila bukanlah tak memiliki masalah. Dalam kaitannya dengan agama, tentu sila pertama yang perlu dilihat.
Dalam banyak diskusi, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” jarang atau tidak pernah dipersoalkan. Banyak aktivis dan sarjana yang menganggap sila ini berkah bagi umat beragama. Ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan murni negara sekuler murni karena agama ditempatkan di sila pertama dari dasar negara. Kendati demikian, sila ini mengandung banyak persoalan sejak dilahirkan.
Di antaranya persoalan di urutan ke berapa dia harus ditempatkan dan bagaimana susunan kalimat yang tepat untuk sila ini. Dalam usulannya, Soekarno hanya menyebut “Ketuhanan”. Kubu Islam meminta tambahan tujuh kata “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Kepada Pemeluknya”. Hasil akhir dari kompromi adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kata “Yang Maha Esa” dalam sila ini menunjukkan betapa kuat pengaruh Islam dan Kristen dalam penyusunan Pancasila.
Konsekuensi dari kata-kata tersebut, kelompok agama yang tuhannya tidak esa dikeluarkan dari agama yang diakui pada masa awal kemerdekaan. Karena memiliki konsep ketuhanan yang berbeda dari Islam dan Kristen, Hindu dan Buddha misalnya baru diakui sebagai agama di Departemen Agama pada 1950-an. Itu pun terjadi setelah umat Hindu menetapkan “Sang Hyang Widi” yang sebelumnya tak terlalu sentral dalam agama ini sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara agama Buddha harus menyepakati untuk menganggap tokoh Adi Buddha, nama yang diambil dari teks Jawa Kuno, sebagai Tuhan Yang Esa (Howell 2005, 478). Ini belum lagi kalau dilihat kondisi para penganut agama lokal. Keyakinan mereka tak dianggap sebagai agama karena konsepsi keagamaan mereka berbeda dari agama Semit yang memiliki nabi dan kitab suci.
Kesimpulannya, dalam kaitannya dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan dalam upaya radikalisasi Pancasila, tiga hal yang perlu mendapat perhatian oleh bangsa Indonesia saat ini yaitu penerapan Pancasila, penafsiran Pancasila, dan pembacaan secara kritis terhadap Pancasila. Dengan melihat Pancasila dengan tiga perspektif itu, kesaktian Pancasila tidak hanya muncul sebagai simbol, tapi juga menjadi lebih nyata dan kritis.
AHMAD NAJIB BURHANI
Peneliti LIPI & Doktor Bidang Agama dari Universitas California, Santa Barbara
(nfl)