Kesebelasan nasionalisme
A
A
A
TENTU saja beda antara kesebelasan Cikeas jelang Pilpres 2014 dan kesebelasan nasionalisme Piala AFF U- 19. Kesebelasan Cikeas dalam dialog kesejarahan tidak memiliki akar kultur Bhinneka Tunggal Ika.
Saya bahkan berpendapat bahwa kesebelasan konvensi ini berjenis kelamin feodalisme klamar-klemer khas SBY. Sesuatu yang enggak ngeh. Basa-basi berbasis cerita citra Cikeas. Terus? Tidak jelas mana kucing mana karung dan mana pulak sarung demokrasi yang dikenakan SBY. Yang penting, “Sudah ada sebelas kucing dalam karung yang siap tarung unjuk burung Garuda”.
Beda banget dengan garuda muda. Bola, boleh jadi, ajarkan kita tentang moral, sportivitas, dan orientasi arah nasionalisme. Pada bola, lihatlah ada kemajemukan status untuk mengeliminir ego tiap pemain hingga ke paling dasar, semata-mata demi hasrat suci sarangkan bola ke jaring kemenangan yang juga bersifat majemuk.
Ini ditakwil Tantular semasa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14: ”Bhinneka tunggal ika hananing dharma bal-balan.” Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Ini ada dalam lelaku sepak bola.”
Sesama sastrawan bernama ‘Tan’, tentu saya sependapat apa yang dituturkan Tantular. Sebab itu, saya lari ke Penjara Sukamiskin, Bandung. Di bawah bendera merah putih, kuucap ulang suara Soekarno pada Januari 1932: “Berilah saya sebelas pemuda bersemangat dan berapi-api kecintaannya terhadap bangsa dan Tanah Air tumpah darah, saya akan dapat menggemparkan dunia.”
Tidak aneh, bila rating televisi MNCTV saat siarkan final Piala AFF U-19 melonjak fantastis. Maklum, setelah 22 tahun, Indonesia tidak pernah juarai bola kaki. Kini pada 22 September 2013, melalui tendangan penalti pamungkas berkaos 20, Ilham Udin, Indonesia menyabet Piala AFF U-19, taklukan juara bertahan empat kali Vietnam, sejak diadakan pada 2002.
Istilah “Jebretttt Golllllll!” kini menghiasi jejaring sosial. Merah Putih menjadi sesuatu banget. Paling tidak ini mengingatkan kenangan ketika Jumat, 8 Juni 2012, merah putih berkibar di Stadion Nasional Warsawa. Saat itu saya berharap itu Indonesia. Ternyata, tidak! Itu Polandia. Itu untuk pesta Eropa 2012.
Meski begitu, apa pun itu, Polandia yang putih merah dan Indonesia yang merah putih adalah kembaran bolak- balik bola yang menyejarah. Warsawa yang dalam bahasa Polandia tertulis Warszawa, hakikatnya sih bermakna ‘waras tah, wa’ (sehat kah, uwa? Basa Cerbon).
Bahkan bukan hal yang kebetulan kota yang berdiri sejak 1294 ini dibelah Sungai Vistula (wis lah). Hal lain Syrenka yang bermakna putri duyung kecil sebagai lambang kota Warsawa ditengarai merupakan duplikasi dari gadis sintren. Tidak aneh manakala kata syrenka dalam bahasa Polandia sering diterjemahkan menjadi siren dalam bahasa Inggris dan sintren dalam bahasa Cirebon. Beberapa frasa di atas paling tidak meyakinkan saya bahwa Warsawa itu tercipta dari tulang rusuk Manukrawa (baca Indramayu).
Ada tautan kultural yang tidak ditulis sejarah, tapi diyakini sebagai mitos pembuat sejarah di pusaran Warsawa ini. Konon, seputar 1382 M, Adipati Boleslaus dari Masovia menemui Ki Sleman dari Indramayu tersebab kepincut kecantikan Putri Sintren. Ia buat patung Sintren. Ia pindahkan kecantikan Putri Sintren dalam bentuk karya seni yang agung. Yang aneh, Boleslaus tidak pernah bisa membuat patung Putri Sintren. Selalu saja yang terbentuk adalah patung seekor naga yang memiliki kepala manusia lelaki, membawa pedang dan perisai.
Apa boleh buat, saat pulang kampung, patung naga berkepala manusia itulah yang dijadikan lambang Warsawa. Juga dituturkan bahwa saat Adipati Boleslaus membuat patung Sintren selalu disuguhi bubur abang bubur putih.
Sesekali ia alunkan macapat “Getah lan getih nipun dipuncipta malih dumateng Gusti Hyang Maha Agung nuli keringet kinclong.” Getah pohon berwarna putih dan darah berwarna itu terlihat gemebyar merupakan iluminasi Ilahiah. Konon, sejak itulah Adipati Boleslaus berharap kelak Polandia berbendera bubur abang bubur putih. Obsesi Boleslaus terkabul. Putih dan merah secara resmi diadopsi sebagai warna bendera nasional Polandia pada 1831.
Sembah sungkem
Apa pun itu, imagologi bola kaki memang sesuatu yang statuistis banget deh. Tersebab itu, lagi sekali saya berteriak mendaur-ulang tuturan Bung Karno di depan Gedung Bioskop Oranye Groote Postweg Cikakak, Bandung, “Meskipun suatu negara punya 10.000 meriam, negara itu tetap lemah selama rakyatnya tetap seperti kecoa. Sebaliknya, rakyat yang tidak bersenjata, tetapi mempunyai sebelas pesepak bola andal, tidak akan kalah sekalipun harus berhadapan dengan tentara bersenjata.” Bung Karno benar. “Lelaku urip iku kudu khanti bal-balan,” ungkap frasa komitmen hati orang Indramayu abad ke XIV M.
Sepak bola (bal-balan) itu sikil anemu endas, endas rainira dadia sikil. Kaki bersua kepala, kepala bersua kaki. Hal ini ditakwil sebagai pergulatan kebatinan menusa Indramayu ketika mencari pembeda mana kepala dan mana pulak kelapa. Dan, yang bisa membedakan itu adalah ‘Darma Bal-balan’. Darma Bal-balan era Indraprahasta ini pernah memukau petualang Italia, Marco Polo (1254-1324).
Di bawah cahaya senja berpelangi di atas Kali Cimanuk, usai permainan Darma Bal-balan, Marco tuturkan bahwa dalam permainan ini ada nomena zero zum gameyang menegangkan. Permainan ini dilaksanakan di atas tanggul Kali Cimanuk. Bola adalah sebutir kelapa. Ratusan orang nimbrung dalam permainan Darma Balbalan. Adalah pertarungan paling mengerikan antara kelompok Cimanuk Barat melawan Cimanuk Timur. Tidak ada wasit. Tidak ada jaring gawang.
Tidak ada batas waktu kapan bola digulirkan dan kapan pulak bola berhenti bergulir. Yang terjadi adalah Amukti Mateni sikhil anemu endas, endas rainira dadia shikil. Jelang senja, ketika matahari menjadi retak, baru diketahui bola yang pada awalnya berupa sebutir kelapa itu, ternyata adalah sosok kepala manusia berselemak darah. “Ratusan orang mati dalam satu pertandingan ini,” tulis Stubbes dalam The Anatomie of Abuses(1583). Tak pelak, malam pun menjadi amis.
Bulan bulat merintih di aliran sungai sunyi berwarna merah darah. Tentu, ini era yang mengenaskan. Meski begitu, kini bola berdarah-darah itu telah menyatukan keragaman etnis yang kerap disebut: kesebelasan nasionalisme multikultural. Adakah para calon presiden 2014, juga kesebelasan Cikeas ikhlas becermin pada kesebelasan Garuda Muda? Ah, mana saya tahu. Meski begitu, kelak di hari H pilpres, di bilik suara, saya tuturkan sajak, “Hari ini ketika kumasuki bilik suara, mari kita mandi gamelan sebab besok akan ada banyak lagu dan lusa manusia saling tukar igauan, sedang sang presiden duduk menerima sembah sungkem.”
TANDI SKOBER
Budayawan
Saya bahkan berpendapat bahwa kesebelasan konvensi ini berjenis kelamin feodalisme klamar-klemer khas SBY. Sesuatu yang enggak ngeh. Basa-basi berbasis cerita citra Cikeas. Terus? Tidak jelas mana kucing mana karung dan mana pulak sarung demokrasi yang dikenakan SBY. Yang penting, “Sudah ada sebelas kucing dalam karung yang siap tarung unjuk burung Garuda”.
Beda banget dengan garuda muda. Bola, boleh jadi, ajarkan kita tentang moral, sportivitas, dan orientasi arah nasionalisme. Pada bola, lihatlah ada kemajemukan status untuk mengeliminir ego tiap pemain hingga ke paling dasar, semata-mata demi hasrat suci sarangkan bola ke jaring kemenangan yang juga bersifat majemuk.
Ini ditakwil Tantular semasa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14: ”Bhinneka tunggal ika hananing dharma bal-balan.” Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Ini ada dalam lelaku sepak bola.”
Sesama sastrawan bernama ‘Tan’, tentu saya sependapat apa yang dituturkan Tantular. Sebab itu, saya lari ke Penjara Sukamiskin, Bandung. Di bawah bendera merah putih, kuucap ulang suara Soekarno pada Januari 1932: “Berilah saya sebelas pemuda bersemangat dan berapi-api kecintaannya terhadap bangsa dan Tanah Air tumpah darah, saya akan dapat menggemparkan dunia.”
Tidak aneh, bila rating televisi MNCTV saat siarkan final Piala AFF U-19 melonjak fantastis. Maklum, setelah 22 tahun, Indonesia tidak pernah juarai bola kaki. Kini pada 22 September 2013, melalui tendangan penalti pamungkas berkaos 20, Ilham Udin, Indonesia menyabet Piala AFF U-19, taklukan juara bertahan empat kali Vietnam, sejak diadakan pada 2002.
Istilah “Jebretttt Golllllll!” kini menghiasi jejaring sosial. Merah Putih menjadi sesuatu banget. Paling tidak ini mengingatkan kenangan ketika Jumat, 8 Juni 2012, merah putih berkibar di Stadion Nasional Warsawa. Saat itu saya berharap itu Indonesia. Ternyata, tidak! Itu Polandia. Itu untuk pesta Eropa 2012.
Meski begitu, apa pun itu, Polandia yang putih merah dan Indonesia yang merah putih adalah kembaran bolak- balik bola yang menyejarah. Warsawa yang dalam bahasa Polandia tertulis Warszawa, hakikatnya sih bermakna ‘waras tah, wa’ (sehat kah, uwa? Basa Cerbon).
Bahkan bukan hal yang kebetulan kota yang berdiri sejak 1294 ini dibelah Sungai Vistula (wis lah). Hal lain Syrenka yang bermakna putri duyung kecil sebagai lambang kota Warsawa ditengarai merupakan duplikasi dari gadis sintren. Tidak aneh manakala kata syrenka dalam bahasa Polandia sering diterjemahkan menjadi siren dalam bahasa Inggris dan sintren dalam bahasa Cirebon. Beberapa frasa di atas paling tidak meyakinkan saya bahwa Warsawa itu tercipta dari tulang rusuk Manukrawa (baca Indramayu).
Ada tautan kultural yang tidak ditulis sejarah, tapi diyakini sebagai mitos pembuat sejarah di pusaran Warsawa ini. Konon, seputar 1382 M, Adipati Boleslaus dari Masovia menemui Ki Sleman dari Indramayu tersebab kepincut kecantikan Putri Sintren. Ia buat patung Sintren. Ia pindahkan kecantikan Putri Sintren dalam bentuk karya seni yang agung. Yang aneh, Boleslaus tidak pernah bisa membuat patung Putri Sintren. Selalu saja yang terbentuk adalah patung seekor naga yang memiliki kepala manusia lelaki, membawa pedang dan perisai.
Apa boleh buat, saat pulang kampung, patung naga berkepala manusia itulah yang dijadikan lambang Warsawa. Juga dituturkan bahwa saat Adipati Boleslaus membuat patung Sintren selalu disuguhi bubur abang bubur putih.
Sesekali ia alunkan macapat “Getah lan getih nipun dipuncipta malih dumateng Gusti Hyang Maha Agung nuli keringet kinclong.” Getah pohon berwarna putih dan darah berwarna itu terlihat gemebyar merupakan iluminasi Ilahiah. Konon, sejak itulah Adipati Boleslaus berharap kelak Polandia berbendera bubur abang bubur putih. Obsesi Boleslaus terkabul. Putih dan merah secara resmi diadopsi sebagai warna bendera nasional Polandia pada 1831.
Sembah sungkem
Apa pun itu, imagologi bola kaki memang sesuatu yang statuistis banget deh. Tersebab itu, lagi sekali saya berteriak mendaur-ulang tuturan Bung Karno di depan Gedung Bioskop Oranye Groote Postweg Cikakak, Bandung, “Meskipun suatu negara punya 10.000 meriam, negara itu tetap lemah selama rakyatnya tetap seperti kecoa. Sebaliknya, rakyat yang tidak bersenjata, tetapi mempunyai sebelas pesepak bola andal, tidak akan kalah sekalipun harus berhadapan dengan tentara bersenjata.” Bung Karno benar. “Lelaku urip iku kudu khanti bal-balan,” ungkap frasa komitmen hati orang Indramayu abad ke XIV M.
Sepak bola (bal-balan) itu sikil anemu endas, endas rainira dadia sikil. Kaki bersua kepala, kepala bersua kaki. Hal ini ditakwil sebagai pergulatan kebatinan menusa Indramayu ketika mencari pembeda mana kepala dan mana pulak kelapa. Dan, yang bisa membedakan itu adalah ‘Darma Bal-balan’. Darma Bal-balan era Indraprahasta ini pernah memukau petualang Italia, Marco Polo (1254-1324).
Di bawah cahaya senja berpelangi di atas Kali Cimanuk, usai permainan Darma Bal-balan, Marco tuturkan bahwa dalam permainan ini ada nomena zero zum gameyang menegangkan. Permainan ini dilaksanakan di atas tanggul Kali Cimanuk. Bola adalah sebutir kelapa. Ratusan orang nimbrung dalam permainan Darma Balbalan. Adalah pertarungan paling mengerikan antara kelompok Cimanuk Barat melawan Cimanuk Timur. Tidak ada wasit. Tidak ada jaring gawang.
Tidak ada batas waktu kapan bola digulirkan dan kapan pulak bola berhenti bergulir. Yang terjadi adalah Amukti Mateni sikhil anemu endas, endas rainira dadia shikil. Jelang senja, ketika matahari menjadi retak, baru diketahui bola yang pada awalnya berupa sebutir kelapa itu, ternyata adalah sosok kepala manusia berselemak darah. “Ratusan orang mati dalam satu pertandingan ini,” tulis Stubbes dalam The Anatomie of Abuses(1583). Tak pelak, malam pun menjadi amis.
Bulan bulat merintih di aliran sungai sunyi berwarna merah darah. Tentu, ini era yang mengenaskan. Meski begitu, kini bola berdarah-darah itu telah menyatukan keragaman etnis yang kerap disebut: kesebelasan nasionalisme multikultural. Adakah para calon presiden 2014, juga kesebelasan Cikeas ikhlas becermin pada kesebelasan Garuda Muda? Ah, mana saya tahu. Meski begitu, kelak di hari H pilpres, di bilik suara, saya tuturkan sajak, “Hari ini ketika kumasuki bilik suara, mari kita mandi gamelan sebab besok akan ada banyak lagu dan lusa manusia saling tukar igauan, sedang sang presiden duduk menerima sembah sungkem.”
TANDI SKOBER
Budayawan
(hyk)