Pertumbuhan penduduk sudah lampu merah

Kamis, 26 September 2013 - 07:40 WIB
Pertumbuhan penduduk...
Pertumbuhan penduduk sudah lampu merah
A A A
LAJU pertumbuhan penduduk Indonesia yang dihitung berdasarkan jumlah kelahiran dari wanita usia subur dalam kurun 10 tahun terakhir ternyata tidak menurun. Mengacu data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) 2012, laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,5%, jauh dari angka ideal yang semestinya di bawah 1%.

Memang 10 tahun lalu, lewat program Keluarga Berencana (KB) sudah ada upaya menekan rata-rata jumlah anak yang lahir dengan mengurangi ratarata kelahiran usia wanita subur 15–29 tahun atau total fertility rate (TFR) pada berkurang dari 2,6 menjadi 2,1. Sayang, cita-cita tersebut pupus, karena pada tahun 2013 angka TFR masih pada kisaran 2,6. Angka ini tidak bergerak sejak 10 tahun yang lalu.

Nah, pada tahun 2014 tinggal tersisa beberapa bulan lagi, artinya hampir mustahil target 2,1 tersebut bisa tercapai. Sekadar memberi gambaran, jika saja target TFR 2,1 tercapai maka bisa disebut ratarata satu keluarga mempunyai dua anak. Angka dua anak adalah target ideal program KB. Namun kalau TFR mandek pada kisaran 2,6, saya anggap keluargakeluarga Indonesia masih punya tiga anak.

Padahal, tingginya TFR berkorelasi dengan angka kematian ibu (AKI) hamil atau melahirkan. Data SDKI kembali menyebutkan, AKI di Indonesia mencapai 359 orang per 100.000 kelahiran. Ini tertinggi dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya. Di Vietnam, angka AKI cuma 50 orang per 100.000 kelahiran. Atas kondisi ini, saya menyebut dinamika kependudukan di Indonesia sudah “lampu merah”.

Bayangkan, dengan angka jumlah penduduk Indonesia yang saat ini mencapai sebesar 240 juta. Jika trennya masih seperti ini, diperkirakan pada 2030 jumlah penduduk kita mencapai 340-400 juta. Tidak hanya masalah kesehatan, di masa mendatang pastinya ledakan penduduk yang tidak wajar akan menciptakan berbagai persoalan pelik seperti, krisis pangan, keterbatasan lahan tempat tinggal, kerusakan lingkungan, tingginya angka kriminalitas.

Kekhawatiran ini wajar, karena saat ini saja kita masih diterpa persoalan kenaikan harga cabai, bawang, daging sapi, daging ayam, dan sembako lainnya. Tingginya tingkat konsumsi semakin sulit teratasi ketika jumlah penduduk melambung, sedangkan ketersediaan pangan sangat terbatas. Lalu, apa yang menjadi persoalan kampanye KB selama ini? Permasalahan pertama adalah, luas wilayah Indonesia yang secara geografis terbentang dari satu pulau ke pulau yang lain.

Kedua, penerapan kebijakan otonomi daerah, karena masing-masing kepala daerah punya arah yang berbeda dengan program KB. Sarana-prasarana penunjang pemakaian KB, seperti klinik kesehatan, menjadi tidak optimal. Timpangnya pendapatan satu daerah dengan daerah yang lain jelas membuat pembangunan sarana kesehatan juga terhadang. Belum lagi ketersediaan tenaga dokter atau bidan. Di daerah makmur bisa jadi akan memiliki banyak klinik, dokter, dan bidan.

Kondisi sebaliknya terjadi di daerah minus. Padahal, klinik-klinik inilah yang menjadi ujung tombak sosialisasi agar masyarakat disiplin memakai alat-alat KB. Selain itu, ada kendala banyak peraturan daerah (perda) yang masih mencantumkan setiap pelayanan alat kontrasepsi dipungut biaya. Ini tidak bisa diubah kecuali perdanya diubah. Padahal, kita semua berharap semua pelayanan alat kontrasepsi ini gratis, toh ini membantu program nasional.

Masalah seputar otonomi daerah tersebut, ditambah dengan tingginya angka drop out (DO) atau putus pemakaian kontrasepsi. Sebagai gambaran angka DO untuk produk kontrasepsi berjenis injeksi saja hingga mencapai 40%, padahal kami berharap hanya 20%. Tingginya angka DO tersebut juga berkorelasidengankondisi infrastruktur kesehatan di daerah. Kalau jarak antara klinik dengan rumah warga terlalu jauh, jelas tingkat kedisiplinan penggunaan alat kontrasepsi akan menurun. Biaya ber-KB menjadi tidak ekonomis.

Harus jangka panjang
Kalaupun pemerintah pusat membantu kampanye dengan menyediakan alat kontrasepsi per bulan gratis di suatu daerah terpencil secara bergerak (mobile), sedangkan warga memakai pil dan suntik yang sifatnya temporer hanya beberapa bulan, maka bulan depan warga DO, karena ketiadaan layanan.

Lalu, apa yang akan BKKBN lakukan untuk mengatasi persoalan tersebut sehingga dampak negatif kependudukan di masa mendatang tidak terjadi? Karena itu, kami mempunyai solusi yakni dengan lebih fokus melakukan kampanye penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). MKJP adalah penggunaan alat-alat kontrasepsi yang bisa bermanfaat untuk jangka panjang.

Kontrasepsi pada MKJP rata-rata efektif 3–7 tahun. Berbeda dengan kontrasepsi jangka pendek yang sifatnya hanya bertahan beberapa hari atau bulan. Sekadar informasi, alat kontrasepsi berdasarkan waktunya ada dua jenis, yakni kontrasepsi jangka panjang, dan kontrasepsi jangka pendek. Kontrasepsi jangka pendek contohnya pil, dan suntikan. Sedangkan yang jangka panjang yakni, implan dan intra-uterine device (IUD).

Berbeda dengan pil dan suntik, implan, dan IUD tingkat kegagalannya tidak lebih dari 1% tiap 100 wanita yang memakai. Untuk implan, tingkat kegagalan hanya sebesar 0,05% per 100 wanita. Bandingkan dengan tingkat kegagalan pil dan suntik yang bisa mencapai 9–10%. Strategi penggunaan MKJP ini jelas akan mengatasi hambatan geografis dan beragamnya kebijakan otonomi daerah.

Contoh, walaupun hanya mengandalkan satu klinik di satu kawasan, mungkin jauh dari tempat tinggal warga lain, namun warga hanya sekali datang dan mungkin beru kembali lagi tujuh tahun kemudian. Memang, kadang-kadang ada perasaan malu para perempuan dalam memasang IUD. Proses pemasangan itu dianggap suatu yang privasi. Jadi walaupun itu dilakukan oleh bidan, kalau tidak perlu banget biasanya para perempuan enggan.

Karena itu, tampaknya memang implan saat ini menjadi pilihan yang terbaik. Dengan menggunakan MKJP maka akan mengurangi tingkat DO serta mengurangi faktor kegagalan kontrasepsi, menekan TFR dan mengurangi jumlah penduduk, dan menghindari risiko masalah-masalah ekonomi dan sosial masyarakat. Dan yang pasti, program KB dua anak cukup akan tercapai.

Saat ini untuk mencapai citacita itu, BKKBN punya langkah konkret untuk memperkenalkan MPJP. Sejak 2012, kami berikan implan dan IUD secara gratis di mana pun. Baik di pelayanan kesehatan publik maupun di swasta kami gratiskan. Pemerintah punya dana untuk pengadaan implan sebesar Rp200 miliar pada 2013. Masalah kependudukan adalah tanggung jawab bersama. Harus ada integrasi satu kebijakan dengan yang lainnya. Tahun depan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pelayanan KB masuk dalam layanan dasar. Kita juga berharap kebijakan ini juga membantu mengubah “lampu merah” kependudukan menjadi lebih “hijau”.

FASLI JALAL
Kepala BKKBN
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1773 seconds (0.1#10.140)