Rasa aman yang hilang

Selasa, 17 September 2013 - 07:31 WIB
Rasa aman yang hilang
Rasa aman yang hilang
A A A
EKSES dari rangkaian serangan mematikan terhadap prajurit Polri di lapangan akhir-akhir ini akan sangat luar biasa. Jika negara terus bersikap minimalis seperti sekarang, taruhannya adalah rasaaman.

Ketidakyakinan rakyat atas kemampuan negara membangun rasa aman akan mendorong setiap orang mempersenjatai diri guna membangun benteng pengamanan masingmasing. Situasi sekarang benar-benar sangat membingungkan. Pasalnya, belum ada institusi negara yang bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya sedang terjadi, terkait dengan rangkaian penembakan dan pembunuhan terhadap sejumlah prajurit Polri, akhir-akhir ini.

Benar bahwa rangkaian peristiwanya hanya terjadi di kawasan Jabodetabek, tetapi penembakan yang menewaskan beberapa prajurit Polri menggetarkan khalayak di seluruh pelosok negeri. Kalau kebingungan sekarang ini dibiarkan berlarut-larut, eksesnya dalam jangka dekat akan sangat luar biasa, sebab yang akan mengemuka kemudian adalah perasaan tidak aman.

Melihat polisi menjadi sasaran penembakan dan pembunuhan di keramaian kota, sangat beralasan jika komunitas atau elemen warga lainnya ikut khawatir akan menjadi target penembakan juga. Artinya, kalau sekarang prajurit Polri yang dibidik, bukan tidak mungkin di kemudian hari target para pembunuh akan bergeser ke komunitas atau elemen warga lainnya. Sekarang, siapa saja berhak untuk membuat kesimpulan bahwa ada orang atau sekelompok pembunuh sedang berkeliaran di Jabodetabek yang terus mengintai target.

Di jalan atau di ruang publik lainnya, setiap orang harus waspada atau curiga pada orang lain di kiri-kanannya. Hari-hari ini, pihak yang paling menderita adalah prajurit Polri yang bertugas di lapangan beserta keluarga mereka di rumah. Waspada berlebihan, saling curiga, serta gelisah prajurit Polri dan keluarga mereka adalah cerminan rasa tidak aman. Mudah-mudahan kecenderungan ini tidak berlarut-larut. Artinya, untuk memulihkan rasa aman masyarakat, negara harus memberi respons terhadap para pembunuh yang berkeliaran di keramaian kota, tidak peduli latar belakang orang atau kelompok pembunuh itu.

Sebaliknya, jika negara lamban atau terkesan minimalis maka akan muncul pandangan dari masyarakat bahwa negara tidak mampu memberi rasa aman. Kalau pandangan atau anggapan seperti itu meluas, sikap dan reaksi masyarakat bisa menjadi sangat ekstrem. Setiap orang akan terdorong untuk membentengi diri dari ancaman pembunuhan di ruang publik. Model pertahanan diri sudah barang tentu akan beragam, termasuk mempersenjatai diri masing-masing.

Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa keresahan dan gelisah langsung merebak di ruang publik menyusul tragedi penembakan yang menewaskan Aipda (anumerta) Sukardi di depan Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, baru-baru ini. Belum kering air mata duka keluarga Aipda Sukardi, Briptu Ruslan yang bertugas di Satuan Sabhara Mabes Polri kembali menjadi korban penembakan pada Jumat (13/9) malam di tempat pencucian motor di Cimanggis, Depok.

Serangan terhadap prajurit Polri di wilayah Jabodetabek akhir-akhir ini benar-benar bisa meruntuhkan moral seluruh prajurit Polri dan keluarganya. Pasalnya, kejadiannya beruntun dan belum ada yang tahu kapan serangan ini akan berakhir. Pekan pertama Agustus 2013 lalu, Aiptu Dwiatno ditembak di kawasan Ciputat, dan menjelang akhir Juli lalu Aipda Patah Saktiyono ditembak di Cirendeu. Sebelumnya, rumah anggota Satuan Narkoba Polda Metro Jaya di Cipondoh, Tangerang, juga menjadi sasaran penembakan.

Selain rangkaian penembakan di kawasan Jabodetabek, jajaran Polri di daerah mendapat ancaman serangan bom. Pada 13 Mei 2013, pos polisi di Jalan Mitra Batik, Kota Tasikmalaya dilempar bom Molotov. Tersangka kasus ini tewas ditembak, setelah sebelumnya menusuk anggota satuan lalu lintas Polres Tasikmalaya Kota Aiptu Widartono.

Pada awal Juni, Polres Poso di Sulawesi Tengah diserang pelaku bom bunuh diri. Dan pada Sabtu (20/7) dini hari, giliran Polsek Rajapolah, Tasikmalaya diteror ledakan bom panci. Kalau polisi berpakaian dinas saja sudah berkali-kali bisa menjadi sasaran pembunuhan di ruang publik, bagaimana jadinya dengan nasib warga sipil? Bagaimana pula dengan keamanan dan keselamatan jiwa unsur penegak hukum lain yang tidak dipersenjatai, seperti korps hakim dan jaksa?

Kalau Polri terlihat biasabiasa saja menyikapi pembunuhan berantai yang menimpa para prajuritnya di lapangan, apakah Polri juga akan minimalis menyikapi pembunuhan berantai yang dialami warga sipil? Pertanyaan- pertanyaan seperti itulah yang mengemuka di tengah masyarakat, setelah mencermati sikap dan langkah institusi Polri atas rangkaian serangan mematikan yang dialami prajurit Polri.

Senpi sipil
Kalau sekarang hanya terjadi di Jakarta, adakah jaminan bahwa model serangan serupa tidak akan terjadi di daerah lain? Tidakkah pernah terpikirkan bahwa apa yang menimpa prajurit Polri di Jabodetabek belakangan ini akan menginspirasi pihak-pihak tertentu untuk melakukan aksi serupa di tempat lain.

Oleh karena itu, penajaman operasi antiteror dan melucuti pemilikan senjata api (senpi) ilegal oleh sipil menjadi alternatif yang harus ditempuh untuk menghentikan rangkaian pembunuhan berencana terhadap aparatur negara, khususnya prajurit Polri. Dua langkah ini sangat diperlukan untuk memulihkan rasa aman. Atas nama kepentingan rasa aman rakyat, di masa lalu penguasa pernah melancarkan aksi teror kontra teror yang populer dengan sebutan penembakan misterius (petrus).

Sudah barang tentu aksi serupa petrus tidak direkomendasikan untuk merespons kasus-kasus penembakan terhadap prajurit Polri akhir-akhir ini. Akan tetapi, dengan mengungkit sekilas kenangan tentang petrus, ingin ditunjukkan sekaligus mengingatkan betapa negara seharusnya peduli dan wajib berbuat maksimal demi terwujudnya rasa aman dalam hidup bernegara dan berbangsa.

Harus diberikan bukti kepada rakyat bahwa negara selalu melindungi. Untuk yang satu ini, jangan sekadar berwacana tetapi berilah bukti nyata. Maka itu, langkah pertama yang patut dilakukan adalah mempertajam kegiatan antiteror. Tujuan serta targetnya sangat strategis. Karena itu, semua kekuatan negara, terutama TNI, Polri, dan intelijen negara, harus dikerahkan.

Sangat strategis karena harus meyakinkan rakyat bahwa negara melindungi seluruh tumpah darah, dan juga memberi pesan kepada komunitas internasional bahwa pemerintah Indonesia tidak memberi toleransi kepada penembak atau pembunuh berantai di ibukota negara dan sekitarnya. Selain itu, moral prajurit Polri di seluruh penjuru tanah air bisa dipulihkan. Langkah kedua dan juga sangat penting adalah melucuti senjata api ilegal yang kini berada di tangan warga sipil.

Penembakan terhadap sejumlah prajurit Polri akhir-akhir ini hendaknya dijadikan pelajaran yang berharga. Pelajaran pertamanya adalah Polri lengah, sehingga penyelundupan dan peredaran senpi ilegal begitu marak dalam tahun-tahun belakangan ini. Kedua, sudah lama muncul kesan bahwa pihak berwenang terlalu mengobral izin pemilikan dan penguasaan senpi.

Dengan dukungan komunitas intelijen, Polri dan institusi terkait lainnya pasti bisa menangkal dan mengeliminasi penyelundupan senpi. Pun berkoordinasi dengan semua instansi terkait, Polri bisa membatasi dan mengontrol peredaran senpi di dalam negeri. Sekarang ini banyak orang mengatakan sangat mudah memperoleh senpi berikut izin penguasaan atau pemilikannya.

Itu menjadi pertanda maraknya perdagangan senpi ilegal di dalam negeri. Pada akhirnya bisa disimpulkan bahwa sejumlah prajurit Polri justru menjadi target penembakan akibat maraknya perdagangan senpi ilegal di dalam negeri.

BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8291 seconds (0.1#10.140)