Dul

Senin, 16 September 2013 - 11:42 WIB
Dul
Dul
A A A
DUL, yang baru-baru ini mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan Tol Jagorawi, berkecepatan tinggi, meloncati pagar pembatas, menabrak dua mobil yang datang dari arah berlawanan, menewaskan enam orang, dan dia sendiri terluka parah, baru berumur 13 tahun ketika ia mengalami kecelakaan itu.

Reaksi masyarakat kebanyakan menyalahkan orangtua Dul, yang membiarkan anaknya mengemudi dalam usia di bawah umur dan tentu saja tanpa SIM (surat izin mengemudi). Tetapi sangat boleh jadi, Dul sendiri mencuri-curi menyetir mobil itu tanpa sepengetahuan orangtua. Sopir yang tugasnya menyopiri Dul, malah disuruh pulang, dan sopir pun menurut, karena sopir-sopir zaman sekarang lebih takut kepada anak bos daripada kepada bosnya sendiri.

Beruntung sekarang ada UU Perlindungan Anak, sehingga Dul berhak mendapat perlakuan khusus karena ia masih kanak-kanak walaupun berstatus sebagai tersangka. Di sisi lain, saya sendiri sudah nyopir sendiri sejak umur 14 tahun atau sejak kelas I SMA. Tetapi saya punya SIM A, walaupun dengan memalsukan umur di KTP (kartu tanda penduduk) menjadi 18 tahun, karena UU Lalu Lintas Nomor 7/1951 yang berlaku waktu itu menetapkan batas usia untuk pemegang SIM A adalah 18 tahun (menurut UU Lalu Lintas Nomor 22/2009: 17 tahun).

Kebetulan di tahun 1958, Kepala Polisi Kota Tegal (Jawa Tengah) di mana kami tinggal, adalah teman main kartu bridge ayah saya yang waktu itu menjabat sebagai dokter, kepala RS Kardinah Tegal. Maka dengan sedikit KKN (jangan ditiru, ini penyakit dari zaman dulu yang mesti diberantas), saya pun memiliki SIM itu, dan saya masih nyopir sendiri sampai hari ini (55 tahun mengemudi, termasuk mengemudi di luar negeri), dan sampai hari ini, alhamdulillah, belum pernah mengalami kecelakaan fatal, kecuali tabrakan kecil atau serempetan biasa.

Tetapi jangan samakan saya dengan Dul. Di masa saya, UU Lalu Lintas menetapkan kecepatan maksimum dalam kota adalah 30 km/jam dan luar kota 60 km/jam, dan waktu itu belum banyak kendaraan bermotor. Saya hafal betul, kalau mengantar ibu saya rapat ke Pemalang yang 30 km dari Tegal, waktu tempuhnya 30 menit; dan kalau ke Pekalongan, 60 km dari Tegal, satu jam. Perempatan jalan pun masih diatur oleh polantas yang berdiri di tengah jalan dan mengangkat tangan atau melambaikan tangan untuk memberi isyarat lalu lintas (kebanyakan delman, sepeda, dan becak) dari arah mana yang boleh jalan, dan mana yang harus menunggu dulu.

Selain itu, anak-anak zaman itu rata-rata masih taat pada orangtua. Tidak ada istilah nyolong-nyolong bawa mobil orangtua. Nyopir hanya atas perintah orangtua untuk keperluan tertentu, dan awalnya masih ditemani sopir, baru setelah lancar dilepas menyopir sendiri. Ngebut pun tidak bisa, selain karena belum ada jalan tol, kekuatan mesin ketika itu masih rendah, 1.000 cc (sekarang bisa sampai 2.000 cc), dengan accu 6 volt (sekarang 12 volt), sehingga sinar lampunya hanya lebih terang sedikit dari sinar lampu baterai.

Pada waktu itu, polisi juga banyak berkeliaran, masih sebanding dengan jumlah penduduk dan kendaraan di kota, sehingga sewaktu-waktu kalau saya bikin kesalahan, langsung ditangkap. Jadi saya takut betul pada polantas. Lain halnya dengan era Dul sekarang ini. Jalan tol, apalagi di tengah malam yang relatif sepi, memungkinkan mobil dipacu lebih dari 140 km, walaupun UU Lalu Lintas 2009 hanya mengizinkan batas maksimum (kalau tidak salah) 100 km/jam.

Berbagai pasal dan peraturan juga sudah diterapkan, seperti penggunaan seat belt, lampu di siang hari dll, tetapi petugas polantas yang harus menegakkan hukum di lapangan kurang banyak dan mungkin juga kurang termotivasi. Proses pemilikan SIM memang sudah diperketat. Sekarang sulit sekali bagi seseorang yang belum mencapai umur 17 tahun untuk punya SIM, apalagi dengan sistem e-KTP yang berlaku saat ini. Tetapi nyolong-nyolong bawa mobil, atau yang jauh lebih banyak: bawa motor, jauh lebih dimungkinkan ketimbang zaman dulu, karena kesibukan para orangtua sekarang.

Bahkan di lingkungan angkutan umum, banyak sopir tembak yang menggantikan temannya (sopir asli) untuk membawa kendaraan umum (Metromini, bus umum, truk) yang sama sekali tidak punya SIM. Mereka ini awalnya adalah pemuda-pemuda usia anak sekolah, yang putus sekolah, pengangguran, dan bantu-bantu cuci-cuci bus atau truk, kemudian belajar memaju-mundurkan mobil, terus naik pangkat jadi kenek, dan tiba-tiba sudah jadi sopir tembak tanpa SIM. Akibatnya banyak korban nyawa.

Di lingkungan lalu lintas, sekarang ini sudah terjadi anomi, yaitu masyarakat tanpa norma. Secara tertulis, undang-undang dan peraturan sudah lengkap dan terperinci, tetapi penegak undang-undang dan aturannya tidak berfungsi optimal. Polisi sudah tidak bisa melarang arus sepeda motor yang melawan arus, sehingga menyumbat arus sebaliknya, guru-guru tidak kuasa lagi melarang murid-muridnya tidak menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah (di sebuah SMAN Jakarta, murid-murid anak orang kaya, menyerahkan kunci mobil ke tukang parkir yang bertugas sebagai vallet partikelir, dan si siswa langsung melenggang masuk sekolah dengan membawa ranselnya), orangtua pun tidak berdaya ketika anaknya nyolong-nyolong bawa mobil orangtua.

Bahkan sopir-sopir Metromini yang dirazia petugas Dinas Perhubungan Darat, karena kondisi kendaraan mereka yang sudah amburadul, malah demo ke gubernur. Loh, dia yang salah, kok malah demo? Jadi ada benarnya juga ucapan Ahmad Dhani, ayah Dul, kejadian yang menimpa Dul bukan hanya menjadi tanggung jawabnya sendiri sebagai orangtua, melainkan tanggung jawab semuanya, termasuk pemerintah.

Selama norma dan etika lalu lintas tidak bisa ditegakkan, maka jalan raya akan menjadi pembunuh manusia nomor satu, lebih dahsyat daripada tewasnya korban karena kecelakaan pesawat terbang.

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7309 seconds (0.1#10.140)