Ibu yang kecewa

Senin, 16 September 2013 - 07:16 WIB
Ibu yang kecewa
Ibu yang kecewa
A A A
IBU, bagaimana pun aku tak bisa menyelesaikan kuliah pada semester ini. Beberapa bulan lalu pernah kusampaikan, aku mempunyai kesulitan dengan pihak fakultas dan fakultas itu pendeknya “sekolahan” Bu.

Aku bermasalah karena aku mendemo dekan. Kalau di kampung kita, dekan itu seperti kepala sekolah, tapi lebih tinggi. Demo membuat aku masuk dalam daftar hitam dekan tadi, dan barang siapa meminta maaf dan mengakui bersalah, dekan mau memaafkan. Tapi aku tidak merasa bersalah, dan tidak mau meminta maaf. Aku sudah menyatakan begitu di depan dekan.

Dan aku diancam tidak boleh ujian. Selama dia menjadi dekan, katanya tak mungkin aku ujian. Begitu Bu.” Sesudah membaca surat sang anak—anak perempuan yang diharapkan menjadi sarjana— Ibu itu merasa kehabisan tenaga. Dia bingung. “Mengapa ikut-ikutan demo? Mengapa tidak mau minta maaf? Kalau sudah menyinggung perasaan orang, bukankah lebih baik minta maaf? Bukankah Ibu sudah mengajarkan tata karma itu? Apa gunanya demo, yang membuat nasib tak menentu, dan diwarnai ketegangan, marah dan permusuhan?

Demo itu membela apa? Kuliah, dengan tertib, jelas membela nama keluarga, membela masa depannya sendiri dan membela derajat, kalau sudah mendapat gelar. “O, apa dosaku, punya anak kok ikut demo, dan tak mau minta maaf” Sang Ibu tidak tahu, anaknya membela kebenaran. Dia turut menegakkan keadilan di fakultas, yang begitu banyak mahasiswa “drop out” karena belum membayar uang kuliah, karena orang tua mereka memang sedang dalam kesulitan ekonomi.

Para mahasiswa memiliki data, dekan menyimpangkan uang fakultas. Dan itu yang menakutkan sang dekan, dan membuat anak-anak berani. Tapi, mereka yang tetap gigih di jalan kebenaran, diancam dengan kekuasaan sang dekan, yang bisa mencelakai siapa pun. Tapi beberapa orang— termasuk putri sang Ibu ini—tidak mau kompromi. Bagi mereka, kebenaran tak bisa diperjualbelikan.

Kebenaran tidak bisa diraih dengan kompromi. “Dan keadilan itu?” Mereka hanya melihat satu jalan lurus: keadilan harus ditegakkan. Memang, mereka belum siap, dan tidak siap sama sekali dengan kemungkinan ditekan tidak boleh ujian. Semula mereka hanya tergerak untuk melakukan kebaikan bagi kampus mereka sendiri. Namanya juga mahasiswa, kalkulasi untung rugi tidak ada.

Tapi mereka tak peduli. Siap tidak siap, hidup harus dijalani. Ditekan dekan tidak boleh ujian sudah merupakan sebuah ujian tersendiri. Ini harus dihadapi dulu apa pun hasilnya kelak. Mengenai hasil, bukan urusan mereka. Kaum muda ini sudah sampai pada titik kenekatan tertinggi, yang tak mungkin digoyah oleh badai besar sekalipun. Dan dekan gemetar. Di kantor kerjanya marahmarah tak tentu apa yang membuatnya marah. Dia sendiri tidak begitu yakin lagi akan sikapnya.

Apa lagi, ibaratnya semua mata, di seluruh universitas itu, kini tertuju kepadanya. Rektor kabarnya mulai menaruh perhatian serius atas masalah itu. Dia sudah mulai tidak yakin bahwa dia akan menang menghadapi anak-anak itu. Dia tidak yakin bakal menang, karena dia tidak yakin bahwa dia tidak korup. Kata “ibu” bisa saja berarti ibu biologis: ibu kandung maupun ibu tiri.

Sama seperti ibu kandung si mahasiswa yang baru saja berkirim surat tadi. Itu ibu yang sederhana, yang tahunya anaknya kuliah, dan bakal memperoleh gelar sarjana. Dia tidak salah karena memiliki harapan seperti itu. Dia tidak tahu urusan di fakultas, dan tidak tahu bahwa putrinya sudah mendekati titik kematangan jiwa, dan sudah mengerti tanggung jawab seorang intelektual yang baik. Ibu, yang baik hati, yang hidup sederhana ini, tidak salah karena tidak tahu kehidupan fakultas yang dijalani anaknya.

Ini gambaran mengenai ibu, dalam arti sebenarnya. Tapi, ibu juga bisa dimaksudkan sebagai sebuah kiasan. Dan kata kiasan yang menggunakan ibu bisa banyak sekali. Ada ibu kota, ada ibu negara, dan ada juga ibu asrama. Mungkin ibu asuh termasuk di dalamnya.

Di dalam esai ini yang dimaksud ibu lain lagi. Ini Ibu Pertiwi. Kita tahu Ibu Pertiwi, punya padanan “bumi”, “tanah tumpah darah kita”. Orang Jawa punya ungkapan: Ibu Pertiwi, bapa “ngakasa”, atau angkasa. Orang Minang punya filosofi dasar, yang mematok tegas dan menjadi harga mati: Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ibu kita ini kecewa.

Dia berkata, masih lumayan baik nasib Gendari, yang kawin dengan Destarastra, sama orang buta, dan masih bisa bangga melahirkan seratus anak yang tidak buta matanya, tapi hampir semua buta hatinya. “Kau lebih baik Gendari” kata Ibu kita yang kecewa. “Anakku ratusan juta banyaknya, tapi hampir semua buta? Hampir semua?

Aku tak ingin berlebihan sama sekali. Kata hampir semua ini perlu diberi fokus yang lebih jelas, yaitu terutama mereka yang ada di dalam birokrasi pemerintahan, di parlemen, di partai-partai, para pelobi, para calo politik, para penegak hukum, para “lawyer”, para makelar kasus, dan orang-orang berduit yang berkasus, yaitu para koruptor, para penyelundup, dan para pedagang jahat, yang merampok hak-hak rakyat melalui undangundang, siapa bilang mereka bukan orang-orang buta?

Mereka yang kusebut dalam profesi-profesi itu, semua, tanpa kecuali, sudah buta. Mereka hidup tanpa super-ego. Mereka mengabaikan etika, meremehkan aturan, dan menganggap sepi orang tua—Ibu mereka— yang selalu berpesan mengenai keluhuran, moralitas dan darma hidup. Gendari, anakmu hanya seratus. Dan kau menjadi Ibu dari seratus anak serakah. Tapi aku? Anakku, berjuta-juta jiwa banyaknya. Mereka dibutakan oleh gemerlap kekuasaan, wibawa dan harta benda di dalamnya.

Mereka yang dulu sudah berkuasa, dengan segenap keangkuhan, kenekatan dan kekejaman, sekarang lupa diri. Mereka ingin berkuasa lagi, dan menipu bangsanya sendiri, seolah tak ada yang tahu kelakuan mereka di masa lalu. Mereka yang dulu kejam, menculik, membunuh dan membungkam kaum muda, kini tampil bagai rohaniwan yang bicara moral, keadilan, kebenaran, kemanusiaan, dan berubah drastis menjadi pelindung rakyat.

Mereka berteriak: jangan tipu rakyat, seolah menyeru dirinya sendiri, yang masih berkubang dengan dosa politik dan kesalahan moral, persis yang diteriakkannya. Anak-anakku, kalian saling tipu menipu. Tiap pihak mengaku paling benar. Kalian kira tak ada catatan sejarah yang tak memihak? Apakah kalian percaya bahwa iklan bakal mampu menampilkan diri kalian seperti makhluk yang baru lahir, tanpa sejarah, tanpa masa lalu, tanpa kenangan?

Aku mencatat setiap sepak terjang kalian. Hentikan semua ini. Jadilah dirimu sendiri tanpa nafsu berlebihan untuk memimpin. Kamu semua harus tahu, memimpin diri sendiri pun sebenarnya kamu semua belum bisa.Aku, ibu yang kecewa. Dan lebih kecewa dari Gendari, yang seratus anaknya, buta hati dan jiwanya. Tapi anakku, berjuta-juta jumlahnya. Hampir semua bikin aku kecewa.

MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0811 seconds (0.1#10.140)