Uji kesaktian suku bunga dasar kredit

Kamis, 05 September 2013 - 08:07 WIB
Uji kesaktian suku bunga dasar kredit
Uji kesaktian suku bunga dasar kredit
A A A
EKONOMI nasional loyo. Inflasi setelah melejit dari 5,90% per akhir Juni 2013 menjadi 8,61% per Juli 2013 kini mendaki 8,79% per Agustus 2013 bahkan diperkirakan akan mencapai level 9,2% pada akhir tahun.

Aduh! Bank Indonesia (BI) Rate terbang tinggi dari 6,5% menjadi 7% pada 29 Agustus 2013. Suku bunga acuan setinggi itu tentu memicu bank nasional untuk menaikkan suku bunga kredit. Lantas, di mana kesaktian suku bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rates? Sesungguhnya indikator pelemahan ekonomi bukan hanya itu. Nilai tukar rupiah sempat bergerak liar hingga level Rp11.000 terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Indeks harga saham gabungan (IHSG) tertunduk lesu dari 4.590 ke level 4.195. Kondisi demikian membuat pasar bagai tak sabar untuk menanti stimulus pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada 23 Agustus 2013 pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengumumkan paket kebijakan. Empat paket kebijakan ekonomi pemerintah yaitu memperbaiki neraca transaksi berjalan (current account) dan menjaga nilai tukar, menjaga pertumbuhan ekonomi, menjaga daya beli masyarakat dan tingkat inflasi, serta mempercepat investasi.

Di sisi lain, BI meningkatkan pasokan valuta asing (valas) dengan empat langkah yakni memperluas tenor term deposit valas menjadi mulai satu hari hingga 12 bulan dan memberi kemudahan bagi eksportir membeli valas dengan underlying dokumen penjualan valas. Selain itu, BI juga memperbolehkan transaksi forex swap dengan BI sebagai pass-on transaksi bank dengan pihak terkait dan mengecualikan rekening vostro non-residen dalam aturan utang luar negeri jangka pendek perbankan serta memperkuat manajemen likuiditas rupiah dengan menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI).

Sementara OJK siap menjaga harga saham. Repotnya, stimulus ekonomi itu dinilai kurang menggugah gairah pasar keuangan. Namun, ketika BI Rate naik 50 basis points (bps) (0,50%) menjadi 7%, bunga lending facility naik 25 bps (0,25%) menjadi 7% dan bunga deposit facility naik 50 bps (0,50%) menjadi 5,25%, pasar menanggapi positif ditengarai dengan menguatnya nilai tukar rupiah 3% ke level Rp10.935 per dolar AS dan IHSG 1,9% level 4.103,59 pada 29 Agustus 2013.

Langkah strategis

Jangan lupa bahwa BI sudah meluncurkan Surat Edaran Nomor 13/5/ DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Bunga Dasar Kredit (SBDK). Kebijakan itu memiliki dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya, dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah. Kedua, meningkatkan good corporate governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik.

SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank. SBDK merupakan hasil perhitungan dari tiga komponen yakni harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overheadyang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit, dan margin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan.

Harap selalu ingat bahwa SBDK itu belum termasuk premi risiko (risk premium) individual nasabah bank. Kini kesaktian SBDK sedang diuji untuk menekan kenaikan suku bunga kredit. Lalu langkah strategis apa saja yang perlu diambil? Pertama, mengawasi perhitungan komponen SBDK. Memang bank nasional tanpa izin BI dapat menaikkan suku bunga kredit. Kenaikan itu hampir pasti segera terjadi.

Mengapa? Karena biaya dana (cost of fund) perbankan akan makin tinggi ketika suku bunga simpanan (terutama deposito) mulai meningkat pelan, namun pasti. Itu bisa terjadi tanpa menunggu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengerek suku bunga penjaminan. Awal September 2013 suku bunga deposito berkisar 4,5% dan 5,5% untuk tenor satu bulan. Perang suku bunga deposito akan kembali membara dalam memburu dana pihak ketiga (DPK). Apa yang dapat dilakukan BI untuk menekan suku bunga kredit?

BI wajib melakukan pemeriksaan perhitungan tiga komponen SBDK dengan lebih saksama. Ini dapat dilaksanakan karena bank nasional wajib melaporkan perhitungan SBDK kepada BI bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan. Dengan demikian, bank nasional tidak bisa menyetel margin keuntungan yang terlalu tinggi. Kedua, menetapkan batas atas premi risiko SBDK.

Mudah diterka, suku bunga kredit konsumsi antara lain kredit pemilikan rumah (KPR), kredit tanpa agunan (KTA), dan kredit kendaraan bermotor (KKB: mobil dan motor) akan segera naik. Ini kemudian disusulsukubungakreditkomersial. Potensi risiko apa saja yang bakal muncul di permukaan? Nasabah KPR, KTA, dan KKB sebagai debitur kredit individual akan makin menderita.

Calon nasabah baru menjadi ragu-ragu mengambil kredit tersebut karena harus menghitung kembali kemampuan untuk membayar angsuran setiap bulan yang bakal lebih tinggi. Kalau suku bunga kredit komersial mulai membubung tinggi, giliran nasabah perusahaan bakal tertekan oleh ancaman penurunan arus kas (cash flow). Ini disebabkan oleh kenaikansukubungakredityang harusditanggung. Nasabahjenis ini bahkan akan menanggung biaya modal (cost of capital) lebih tinggi untuk menikmati kredit baru. Karena itu, banyak perusahaan bakal menunda ekspansi bisnis.

Ini masih mending. Bagaimana kalau angsuran kredit menjadi tidak lancar? Rasio kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) akan naik-naik ke puncak gunung. Untuk menekan supaya suku bunga kredit tidak naik terlalu tinggi, BI dapat menetapkan batas atas premi risiko untuk semua jenis kredit. Pembatasan ini akan sangat bermanfaat untuk mengurangi potensi risiko tersebut.

Ketiga, menekan NPL. Saat ini memang NPL rata-rata bank nasional masih di bawah 2% atau jauh di bawah ambang batas 5%. Tetapi baik bank nasional maupun BI harus senantiasa mewaspadai ancaman kenaikan NPL sebagai akibat kenaikan suku bunga kredit. Jangansampaibanknasional menganggap remeh kondisi ekonomi nasional sekarang ini sebagaimana diingatkan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) terlebih dalam membaca tren kenaikan NPL.

Dengan bahasa lebih bening, bank nasional harus makin hati-hati sekaligus menerapkan manajemen risiko kredit, pasar, dan operasional dengan lebih dingin. Keempat, mengencangkan ikat pinggang. Salah satu kiat memelihara laba tinggi adalah menaikkantingkatefisiensiyang tampak pada rasio beban (biaya) operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Statistik Perbankan Indonesia Juni 2013 yang terbit 10 Agustus 2013 menunjukkan BOPO bank nasional menipis dari 74,68% per Juni 2012 menjadi 74,66% per Juni 2013.

Namun, angka ini menebal sedikit dibandingkan posisi Mei 2013 sebesar 74,54%. Ini menyiratkan bahwa bank nasional harus terus menerus mengencangkan ikat pinggang ketika pelambatan ekonomi mulai merangkak. Dengan aneka langkah strategis demikian, SBDK makin menunjukkan kesaktiannya sehingga suku bunga kredit tidak akan naik terlalu tinggi. Nasabah sebagai pemasok darah bank nasional pun akan tetap mampu memenuhi kewajiban mereka. Alhasil, NPL terjaga rendah.

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI, dan Pengurus Yayasan Bina Swadaya
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6502 seconds (0.1#10.140)