Audit (menggemparkan) Hambalang
A
A
A
SETELAH sekian lama menanti, sambil berharap munculnya berita gembira dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang melakukan audit investigasi terhadap pengerjaan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Jumat 23 Agustus kemarin, berita itu pun muncul.
BPK telah menyerahkan laporan hasil audit investigasinya ke KPK, setelah sebelumnya menyerahkan hasil audit itu juga ke DPR. Menarik, bahkan menggemparkan, kesimpulan audit ini. Menggemparkan, karena besaran pasti kerugian keuangan negara, unsur esensial audit investigasi dalam kerangka penyidikan dan peradilan pidana atas satu kasus, telah ditemukan dan disimpulkan oleh BPK.
Besaran pasti kerugian negara yang ditemukan dan disimpulkan dalam audit kali ini meningkat dari Rp243.66 M pada audit tahap pertama menjadi Rp471.707 M. Sekali lagi, kepastian besaran kerugian keuangan negara itu, penting. Sebab sebagai konsekuensi dari asas legalitas, kerugian keuangan negara yang disangkakan kepada tersangka harus pasti. Inilah makna kepastian besaran kerugian keuangan negara dalam proses peradilan pidana.
Ungkap motif perubahan
Menggemparkan, mungkin itulah kata yang paling masuk akal digunakan dalam menggambarkan temuan dan kesimpulan auditor audit investigasi kali ini. Betapa tidak. Dalam kesimpulannya, BPK menyatakan adanya rangkaian masalah, penyimpangan hukum, yang terjadi hampir sejak awal hingga akhir. Rangkaian masalah yang sambung-menyambung itu, membuat kita seolah kehabisan akal untuk, misalnya, menyatakan penyimpangan-penyimpangan itu merupakan suatu kelalaian, atau tak diniatkan atau tidak dikehendaki.
Pengurusan sertifikat atas tanah yang di atasnya akan dibangun bangunan itu, bermasalah. Bermasalah pula proses penganggaran proyek ini di DPR. Perpanjangan tahun kontrak dari tahun tunggal, single year, ke tahun jamak, multiyears, juga sama, bermasalah. Pekerjaan konstruksi dan pembayaran atas pekerjaan ini, juga sama, bermasalah. Alhasil, semuanya bermasalah.
Tampaknya demi keberhasilan proyek, yang bila tak bermasalah akan menjadi proyek paling mengagumkan di bidang pembangunan olahraga, bukan saja menandingi, melainkan bisa mengalahkan kawasan Senayan Gelora Bung Karno, dalam sejarah republik tercinta ini. Mungkin itulah motif utama diubahnya Peraturan Menteri Keuangan. Sayang, dalam auditnya, BPK menemukan fakta menarik.
Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.02/2010 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.02/ 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang dan Jasa, bermasalah. Dalam Peraturan Menteri Keuangan yang baru, hasil perubahan, sebagaimana ditemukan oleh BPK, dihilangkan syarat rekomendasi dari kementerian teknis yang semula tertera pada PMK Nomor 56/PMK.02/ 2010.
Mengapa dihilangkan? Tentu jawabannya adalah memendekkan rantai birokrasi. Tetapi sejujurnya, penghilangan syarat itu mengundang curiga. Dilihat dari sudut konteks waktu terjadinya perubahan PMK itu, harus diakui, terdapat kemiripan dalam konteks waktu dengan perubahan Peraturan Bank Indonesia dalam skandal Bank Century.
Apa motifnya? Mencengangkan. Lebih mencengangkan lagi, disebabkan konteks terjadinya perubahan PMK yang bermasalah itu, juga menandai hal yang sangat urgen; derajat kehati-hatian di Kementerian Keuangan sebagai satu-satunya kementerian, yang menyandang status hukum sebagai bendahara negara, sangat rendah.
Tidak mungkin mengatakan kementerian ini menggunakan hukum suka-suka, mirip hukum rimba, tetapi sulit untuk tak mengatakan betapa perubahan PMK itu terlalu ugal-ugalan. Perubahan PMK ini merusak akal sehat, karena menandai, walau sekelumit, cara yang tidak cukup serasi dengan prinsip doelmatigheid, yang begitu diagungkan Kementerian ini, dalam pengelolaan keuangan, khususnya distribusi keuangan negara.
Tidak mungkin mengatakan Kementerian Keuangan tidak memiliki hak meminta kementerian lainnya memastikan akuntabilitas, baik prosedur maupun substansial, demikian juga formil maupun materiil dalam manajemen keuangan mereka. Tetapi harus diakui, perubahan PMK yang derajat akuntabilitasnya begitu rendah itu, dapat mendelegitimasi mimpi Kementerian Keuangan tentang akuntabilitas prosedur dan substansial, juga formal maupun materiil, untuk didemonstrasikan oleh Kementerian lainnya.
Rasanya, jarak waktu antara pengajuan perubahan tahun tunggal menjadi tahun jamak, dengan perubahan PMK mesti didalami. Pendalaman itu penting dalam kerangka membuat terang motifnya. Apakah perubahan itu diniatkan untuk mengabulkan perubahan tahun tunggal menjadi tahun jamak, sehingga pengajuan dari Kemenpora yang bermasalah itu dapat dikabulkan? Sekali lagi, penting didalami.
Bola di tangan KPK
Mengajari KPK mengarahkan penyidikannya, tentu konyol. KPK tidak mungkin tidak tahu ke arah mana saja penyidikan dikembangkan., Ketua KPK Abraham Samad, yang dikenal lugas ini, telah memberi isyarat itu. Akankah penyidikan ini dikembangkan ke arah terjadi perubahan PMK itu? Apalagi, sebagaimana disimpulkan oleh BPK dalam audit investigasinya itu, syarat materiil, sebut saja begitu, pengajuan perubahan kontrak dari tahun tunggal menjadi tahun jamak juga bermasalah.
Bagaimana mungkin bosbos di Kementerian Keuangan yang berwenang tidak mengetahuinya? Bila mereka telah mengetahui, apa gerangan yang mengakibatkan pengajuan itu dilegitimasi, dalam arti diproses hingga keluarnya uang sebesar itu? Tetapi ini satu soal. Soal lain yang penting, bahkan terpenting adalah harus dipastikan adanya fakta tentang tak memenuhi syaratnya pengajuan perubahan tahun tunggal menjadi tahun jamak.
Bila fakta itu ditemukan oleh penyidik, dan faktanya kuat, maka menarik menanti bagaimana KPK meletakkan hukum di kementerian keuangan, khususnya kepada bos-bos yang secara formal maupun materiil ikut serta dalam memprosesnya. Akan luar biasa hebat bila misalnya penyidik-penyidik KPK mengonstruksi fakta itu sebagai berikut: Perbuatan, dalam arti perubahan PMK itu menjadi bagian utama keluarnya uang untuk membiayai proyek Hambalang itu.
Bila demikian halnya, hukumnya atas kasus ini menjadi begini; perubahan PMK adalah bagian dari rangkaian perbuatan yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara. Diakui, tidak cukup beralasan untuk begitu saja menerapkan adagiuminjuria non ezcusatinjuriam— sesuatu yang salah tidak bisa membawa kebenaran bagi yang bersangkutan—tetapi dalam dunia hukum juga dikenal adagium lain yang berbeda. Adagium itu adalah intentio mea imponit nomen opera meo—kehendak saya memberikan ciri kepada perbuatan saya.
Tetapi tidak elok mendahului KPK. Satu hal yang tak kalah menggemparkan adalah BPK menemukan dan menyimpulkan adanya nama-nama baru dalam proses penganggaran proyek ini. Apakah KPK gembira disodori fakta berupa sejumlah nama dari kalangan DPR? Wallahu a’alam. Soal hukumnya adalah nama-nama itu telah menjadi fakta yang ditemukan oleh BPK melalui audit investigasinya. Fakta ini menarik, karena memiliki nilai hukum. Nilainya terletak pada penganggaran proyek Hambalang, tidak sepenuhnya due process.
Bagaimana predikat status mereka kelak, sepenuhnya tergantung pada penyelidikan KPK. Menariknya, laporan hasil audit investigasi itu, oleh BPK diserahkan juga kepada DPR. Tepatkah penyerahan itu? Tepat. Mengapa? Audit ini merupakan kelanjutan dari audit yang sama pada tahap pertama. Memang KPK ikut meminta BPK melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus ini, sehingga audit ini memiliki makna audit demi penuntasan penyidikan.
Konsekuensinya hasil audit itu mutlak diserahkan kepada penyidik. Tetapi secara hukum, penyerahan kepada DPR sama sekali tidak menghilangkan keabsahan temuan mereka, apalagi keabsahan audit ini. Sungguh, KPK berada dalam ujian. Perkaranya, hal fundamental yang dinantikan selama ini, yakni jumlah pasti kerugian keuangan negara, telah ditemukan oleh organ yang secara konstitusional berwenang menghitungnya.
Sekali lagi, tak mungkin mengajari KPK, tetapi tidak cukup keliru bila ada yang bermimpi KPK melakukan percepatan penuntasan penyidikan terhadap sejumlah tersangka yang telah ada. Bukankah kendala fundamental dalam perspektif penyidikan tindak pidana korupsi telah terkesampingkan bersamaan dan seketika dengan diserahkannya laporan hasil audit itu ke KPK? Akan menggemparkan, bila dalam pengembangannya kelak, KPK menyodorkan kepada publik tersangka baru dalam kasus ini.
BPK memang bukan penyidik, melainkan karakter audit investigasi, khususnya dalam menemukan unsur melawan hukum dan kerugian keuangan negara, bahkan figur yang bertanggung jawab, tidaklah berbeda, apalagi fundamental dengan penyidikan. Biasanya dalam kesimpulan hasil audit, BPK menyebut siapa saja calon tersangka, atau mereka yang memikul tanggung jawab hukum dalam kasus yang diaudit itu.
Akankah KPK menggunakan kesimpulan BPK sebagai kompas dalam pengembangan penyidikan? Layak ditunggu bagaimana hukum yang akan diletakkan oleh KPK terhadap nama-nama yang telah disebut oleh BPK dalam kesimpulan auditnya itu. Akankah KPK tertantang dengan fakta perubahan PMK, benar-benar layak ditunggu. Hukum memang bukan keadilan, melainkan hukum. Dalam esensinya, selalu beriringan dengan keadilan. Mari menanti keadilan KPK. Semoga menggemparkan!
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara,
Dosen FH Universitas Khairun Ternate
BPK telah menyerahkan laporan hasil audit investigasinya ke KPK, setelah sebelumnya menyerahkan hasil audit itu juga ke DPR. Menarik, bahkan menggemparkan, kesimpulan audit ini. Menggemparkan, karena besaran pasti kerugian keuangan negara, unsur esensial audit investigasi dalam kerangka penyidikan dan peradilan pidana atas satu kasus, telah ditemukan dan disimpulkan oleh BPK.
Besaran pasti kerugian negara yang ditemukan dan disimpulkan dalam audit kali ini meningkat dari Rp243.66 M pada audit tahap pertama menjadi Rp471.707 M. Sekali lagi, kepastian besaran kerugian keuangan negara itu, penting. Sebab sebagai konsekuensi dari asas legalitas, kerugian keuangan negara yang disangkakan kepada tersangka harus pasti. Inilah makna kepastian besaran kerugian keuangan negara dalam proses peradilan pidana.
Ungkap motif perubahan
Menggemparkan, mungkin itulah kata yang paling masuk akal digunakan dalam menggambarkan temuan dan kesimpulan auditor audit investigasi kali ini. Betapa tidak. Dalam kesimpulannya, BPK menyatakan adanya rangkaian masalah, penyimpangan hukum, yang terjadi hampir sejak awal hingga akhir. Rangkaian masalah yang sambung-menyambung itu, membuat kita seolah kehabisan akal untuk, misalnya, menyatakan penyimpangan-penyimpangan itu merupakan suatu kelalaian, atau tak diniatkan atau tidak dikehendaki.
Pengurusan sertifikat atas tanah yang di atasnya akan dibangun bangunan itu, bermasalah. Bermasalah pula proses penganggaran proyek ini di DPR. Perpanjangan tahun kontrak dari tahun tunggal, single year, ke tahun jamak, multiyears, juga sama, bermasalah. Pekerjaan konstruksi dan pembayaran atas pekerjaan ini, juga sama, bermasalah. Alhasil, semuanya bermasalah.
Tampaknya demi keberhasilan proyek, yang bila tak bermasalah akan menjadi proyek paling mengagumkan di bidang pembangunan olahraga, bukan saja menandingi, melainkan bisa mengalahkan kawasan Senayan Gelora Bung Karno, dalam sejarah republik tercinta ini. Mungkin itulah motif utama diubahnya Peraturan Menteri Keuangan. Sayang, dalam auditnya, BPK menemukan fakta menarik.
Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.02/2010 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.02/ 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang dan Jasa, bermasalah. Dalam Peraturan Menteri Keuangan yang baru, hasil perubahan, sebagaimana ditemukan oleh BPK, dihilangkan syarat rekomendasi dari kementerian teknis yang semula tertera pada PMK Nomor 56/PMK.02/ 2010.
Mengapa dihilangkan? Tentu jawabannya adalah memendekkan rantai birokrasi. Tetapi sejujurnya, penghilangan syarat itu mengundang curiga. Dilihat dari sudut konteks waktu terjadinya perubahan PMK itu, harus diakui, terdapat kemiripan dalam konteks waktu dengan perubahan Peraturan Bank Indonesia dalam skandal Bank Century.
Apa motifnya? Mencengangkan. Lebih mencengangkan lagi, disebabkan konteks terjadinya perubahan PMK yang bermasalah itu, juga menandai hal yang sangat urgen; derajat kehati-hatian di Kementerian Keuangan sebagai satu-satunya kementerian, yang menyandang status hukum sebagai bendahara negara, sangat rendah.
Tidak mungkin mengatakan kementerian ini menggunakan hukum suka-suka, mirip hukum rimba, tetapi sulit untuk tak mengatakan betapa perubahan PMK itu terlalu ugal-ugalan. Perubahan PMK ini merusak akal sehat, karena menandai, walau sekelumit, cara yang tidak cukup serasi dengan prinsip doelmatigheid, yang begitu diagungkan Kementerian ini, dalam pengelolaan keuangan, khususnya distribusi keuangan negara.
Tidak mungkin mengatakan Kementerian Keuangan tidak memiliki hak meminta kementerian lainnya memastikan akuntabilitas, baik prosedur maupun substansial, demikian juga formil maupun materiil dalam manajemen keuangan mereka. Tetapi harus diakui, perubahan PMK yang derajat akuntabilitasnya begitu rendah itu, dapat mendelegitimasi mimpi Kementerian Keuangan tentang akuntabilitas prosedur dan substansial, juga formal maupun materiil, untuk didemonstrasikan oleh Kementerian lainnya.
Rasanya, jarak waktu antara pengajuan perubahan tahun tunggal menjadi tahun jamak, dengan perubahan PMK mesti didalami. Pendalaman itu penting dalam kerangka membuat terang motifnya. Apakah perubahan itu diniatkan untuk mengabulkan perubahan tahun tunggal menjadi tahun jamak, sehingga pengajuan dari Kemenpora yang bermasalah itu dapat dikabulkan? Sekali lagi, penting didalami.
Bola di tangan KPK
Mengajari KPK mengarahkan penyidikannya, tentu konyol. KPK tidak mungkin tidak tahu ke arah mana saja penyidikan dikembangkan., Ketua KPK Abraham Samad, yang dikenal lugas ini, telah memberi isyarat itu. Akankah penyidikan ini dikembangkan ke arah terjadi perubahan PMK itu? Apalagi, sebagaimana disimpulkan oleh BPK dalam audit investigasinya itu, syarat materiil, sebut saja begitu, pengajuan perubahan kontrak dari tahun tunggal menjadi tahun jamak juga bermasalah.
Bagaimana mungkin bosbos di Kementerian Keuangan yang berwenang tidak mengetahuinya? Bila mereka telah mengetahui, apa gerangan yang mengakibatkan pengajuan itu dilegitimasi, dalam arti diproses hingga keluarnya uang sebesar itu? Tetapi ini satu soal. Soal lain yang penting, bahkan terpenting adalah harus dipastikan adanya fakta tentang tak memenuhi syaratnya pengajuan perubahan tahun tunggal menjadi tahun jamak.
Bila fakta itu ditemukan oleh penyidik, dan faktanya kuat, maka menarik menanti bagaimana KPK meletakkan hukum di kementerian keuangan, khususnya kepada bos-bos yang secara formal maupun materiil ikut serta dalam memprosesnya. Akan luar biasa hebat bila misalnya penyidik-penyidik KPK mengonstruksi fakta itu sebagai berikut: Perbuatan, dalam arti perubahan PMK itu menjadi bagian utama keluarnya uang untuk membiayai proyek Hambalang itu.
Bila demikian halnya, hukumnya atas kasus ini menjadi begini; perubahan PMK adalah bagian dari rangkaian perbuatan yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara. Diakui, tidak cukup beralasan untuk begitu saja menerapkan adagiuminjuria non ezcusatinjuriam— sesuatu yang salah tidak bisa membawa kebenaran bagi yang bersangkutan—tetapi dalam dunia hukum juga dikenal adagium lain yang berbeda. Adagium itu adalah intentio mea imponit nomen opera meo—kehendak saya memberikan ciri kepada perbuatan saya.
Tetapi tidak elok mendahului KPK. Satu hal yang tak kalah menggemparkan adalah BPK menemukan dan menyimpulkan adanya nama-nama baru dalam proses penganggaran proyek ini. Apakah KPK gembira disodori fakta berupa sejumlah nama dari kalangan DPR? Wallahu a’alam. Soal hukumnya adalah nama-nama itu telah menjadi fakta yang ditemukan oleh BPK melalui audit investigasinya. Fakta ini menarik, karena memiliki nilai hukum. Nilainya terletak pada penganggaran proyek Hambalang, tidak sepenuhnya due process.
Bagaimana predikat status mereka kelak, sepenuhnya tergantung pada penyelidikan KPK. Menariknya, laporan hasil audit investigasi itu, oleh BPK diserahkan juga kepada DPR. Tepatkah penyerahan itu? Tepat. Mengapa? Audit ini merupakan kelanjutan dari audit yang sama pada tahap pertama. Memang KPK ikut meminta BPK melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus ini, sehingga audit ini memiliki makna audit demi penuntasan penyidikan.
Konsekuensinya hasil audit itu mutlak diserahkan kepada penyidik. Tetapi secara hukum, penyerahan kepada DPR sama sekali tidak menghilangkan keabsahan temuan mereka, apalagi keabsahan audit ini. Sungguh, KPK berada dalam ujian. Perkaranya, hal fundamental yang dinantikan selama ini, yakni jumlah pasti kerugian keuangan negara, telah ditemukan oleh organ yang secara konstitusional berwenang menghitungnya.
Sekali lagi, tak mungkin mengajari KPK, tetapi tidak cukup keliru bila ada yang bermimpi KPK melakukan percepatan penuntasan penyidikan terhadap sejumlah tersangka yang telah ada. Bukankah kendala fundamental dalam perspektif penyidikan tindak pidana korupsi telah terkesampingkan bersamaan dan seketika dengan diserahkannya laporan hasil audit itu ke KPK? Akan menggemparkan, bila dalam pengembangannya kelak, KPK menyodorkan kepada publik tersangka baru dalam kasus ini.
BPK memang bukan penyidik, melainkan karakter audit investigasi, khususnya dalam menemukan unsur melawan hukum dan kerugian keuangan negara, bahkan figur yang bertanggung jawab, tidaklah berbeda, apalagi fundamental dengan penyidikan. Biasanya dalam kesimpulan hasil audit, BPK menyebut siapa saja calon tersangka, atau mereka yang memikul tanggung jawab hukum dalam kasus yang diaudit itu.
Akankah KPK menggunakan kesimpulan BPK sebagai kompas dalam pengembangan penyidikan? Layak ditunggu bagaimana hukum yang akan diletakkan oleh KPK terhadap nama-nama yang telah disebut oleh BPK dalam kesimpulan auditnya itu. Akankah KPK tertantang dengan fakta perubahan PMK, benar-benar layak ditunggu. Hukum memang bukan keadilan, melainkan hukum. Dalam esensinya, selalu beriringan dengan keadilan. Mari menanti keadilan KPK. Semoga menggemparkan!
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara,
Dosen FH Universitas Khairun Ternate
(nfl)