Kebijakan luar negeri sebagai kerja sosial

Selasa, 20 Agustus 2013 - 13:01 WIB
Kebijakan luar negeri...
Kebijakan luar negeri sebagai kerja sosial
A A A
KEBIJAKAN luar negeri menjadi bagian dari kerja sosial belakangan ini. Puluhan pemerintahan di banyak negara disibukkan urusan di luar the usual subject of foreign policy.

Demikian suatu kali Prof Michael Mandelbaum menggambarkan kebijakan luar negeri terbelit urusan yang tidak selesai (unfinished business) kerja sosial ala Bunda Teresa dari Calcuta. Tumpahan ekspresi cinta kasih (altruistik) helping the helpless, mengurusi dampak kemanusiaan pada kelompok menderita dan tidak berdaya.

Altruisme bukan kebijakan

Konflik bersenjata, pergolakan politik, bencana alam, kemiskinan, kelaparan dan wabah penyakit, serta produk kekerasan terus saja mengancam kelangsungan hidup banyak orang. Pergolakan politik di Suriah dan Mesir merupakan contoh aktual puluhan warga sipil tewas sia-sia sekaligus menyisakan persoalan kemanusiaan baru. Pemerintah dihadapkan pada aspek perlindungan warga sipil, wanita, dan anak dari ancaman kehilangan harapan hidup dan kematian.

Di Tanah Air imigran gelap dari Timur Tengah terbalik perahunya dan terdampar di Cianjur baru-baru ini. Sebagian besar 189 diselamatkan dan sembilan tewas. Data UNHCR Indonesia mencatat jumlah imigran gelap yang berada di Indonesia pada akhir 2012 telah mencapai 5.732 orang. Sebanyak 4.552 berstatus pengungsi serta pencari suaka ke negara ketiga yang bersedia menerima.

Pencari suaka terbesar ditempati warga Afghanistan yang berjumlah 59%, disusul Iran 9%, serta Pakistan 6%. Sisanya Irak, Myanmar, Sri Lanka, dan Somalia. Di tengah kondisi buruk di banyak belahan dunia, eksploitasi manusia secara nyata masih berlangsung. Perdagangan manusia, dalam ragam variannya, berlangsung terus dengan berbagai alasan berikut puluhan ekses yang ditimbulkannya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar di Bali barubaru ini menyebutkan bahwa pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal ke luar negeri berpotensi mengindikasi produk perdagangan manusia. Sekitar 70% korban perdagangan manusia berawal dari pengiriman TKI ilegal ke luar negeri.

Dari 3.840 korban perdagangan manusia yang diidentifikasi IOM, sebanyak 90,3% perempuan dan lebih dari setengahnya (56%) yang bekerja di sektor rumah tangga itu, terindikasi menjadi korban perdagangan dan penyelundupan manusia. Belum lagi, sekitar 23,6% kategori anak di bawah umur, kelompok yang amat rentan terhadap kekerasan.

Sementara itu, Jumhur Hidayat, kepala BNP2TKI, turut menegaskan bahwa saat ini memang terdapat jutaan TKI tanpa dokumen resmi tersebar di beberapa negara. Di Yordania terdapat 40.000 orang, di Siria terdapat 70.000 orang, bahkan di Malaysia terdapat sekitar 1,2 juta TKI tanpa dokumen. “TKI yang tanpa dilengkapi dokumen resmi membuka peluang terjadi perdagangan manusia,” demikian tegas ketua BNP2TKI baru-baru ini.

Karut-marut produk kebijakan dalam negeri, simalakama, yang menyebabkan ekses kemanusiaan itu pun perlahan dikoreksi dan dibenahi. Adalah Menlu RI Marty Natalegawa yang secara terus menerus melontarkan gagasan kebijakan agar diperkuat elemen domestik berupa langkah pencegahan, deteksi dini, dan perlindungan.

Kebijakan moratorium dan tiga langkah domestik (pencegahan, deteksi dini, dan perlindungan) WNI dari penyalahgunaan proses pengiriman tenaga kerja yang berlangsung ternyata membuahkan hasil. Proses pengiriman makin selektif dan ekses penyalahgunaan bisa dideteksi lebih dini atau diketahui secara lebih awal sehingga mampu dicegah kemungkinan terburuknya.

Dengan begitu, perlindungan yang harus diberikan kepada warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di mancanegara itu pun semakin bisa terukur dan diantisipasi. Walaupun, ganti rugi uang diyat pemaafannya— bila terjadi ancaman hukuman gantung bagi WNI—bisa melambung bermiliar-miliar rupiah.

Perspektif mandelbaum

Habisnya energi, biaya, dan waktu negara harus bertindak sebagai “pekerja sosial”. Mengelola jejalan urusan kemanusiaan, dalam semangat altruistis semacam itu dianggap Mandelbaum telah mengaburkan esensi produk hubungan antarnegara dengan urusan dalam negeri. Sikap altruistis kebijakan domestik.

Bentuk perlindungan warga sebagai tanggung jawab negara itu, menurut logika Michael Mandelbaum, sesungguhnya bukan lagi target foreign policy. Limbah persoalan dari menolong imigran gelap yang tenggelam, menyiapkan tenaga medis untuk merawat yang sakit, menguburkan yang tewas, atau mengembalikan mayat ke tempat asal, menyiapkan kendaraan pengangkut, hingga memberi akomodasi yang layak.

Kemudian memberi konsumsi makan tiga kali setiap hari. Menyiapkanrumahdetensi, bahkan menyediakan hotel bagi para pendatang gelap ini bentuk dari kerja sosial yang sesungguhnya. Bukan foreign policy process atau fokus dari hubungan bilateral. Mandelbaum mungkin semakin terperangah. Ketika Indonesia bisa mengombinasikan capaian target foreign policy di bidang ekonomi misalnya, di tengah urusan perlindungan kekonsuleran warga (di luar negeri) yang begitu menyita tenaga dan perhatian.

Mulai dari langkah menampung ratusan WNI yang kabur dari majikan. Dari mengurus ribuan pekerja tanpa dokumen, gaji yang tidak dibayar, menangani kasus WNI yang disiksa secara biadab dan hamil di luar nikah, ataupun visa yang habis masa berlakunya. Pendampingan dan bantuan hukum hingga menuliskan puluhan ribu isian dokumen amnesti bagi warga yang buta huruf.

Demikian juga, kerja menyiapkan SPLP dan paspor baru lebih dari 20 jam sehari, mencarikan majikan baru yang bersedia menampung kerja, membantu mendapatkan exit permit-nya, ataupun memulangkannya ke Tanah Air.

Sekali lagi, mungkin Mandelbaum menggelengkan kepala dan berdecak. Inilah collateral damageramifikasi dari bergesernya esensi subjek foreign policy menjadi pekerja sosial yang sesungguhnya.

PLE PRIATNA
Alumnus FISIP UI dan Monash University-Melbourne, Australia, Praktisi Hubungan Internasional
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0508 seconds (0.1#10.140)