Waspadai ancaman teror
A
A
A
BERSAMA komunitas global, ada alasan yang sangat kuat dan relevan bagi aparat keamanan Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan pascaperayaan lebaran tahun ini.
Menjelang akhir bulan Suci Ramadan baru-baru ini, serangkaian peristiwa berbau kejahatan terorisme sudah merongrong sistem keamanan dalam negeri. Imbauan ini tidak mengada-ada atau bertujuan menakut-nakuti. Pun bukan bermaksud memaksa aparat keamanan, khususnya Polri dan TNI, untuk ikutan-ikutan siaga seperti yang dilakukan aparat keamanan Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.
Masalahnya adalah indikator ancaman bagi sistem keamanan dalam negeri sudah lebih dari cukup. Tiga hari menjelang malam takbiran, terjadi ledakan bom di Wihara Ekayana, Minggu (5/8). Pelakunya memberi pesan yang sangat jelas. Mereka prihatin atas tragedi kemanusiaan yang dialami etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar. Indikator lain yang tidak boleh diremehkan adalah rangkaian kasus pembunuhan prajurit polisi serta serangan terhadap fasilitas Polri.
Sekitar sebulan terakhir ini, beberapa anggota polisi menjadi sasaran penembakan. Belum hilang dari ingatan adalah kasus penembakan Aiptu Dwiyatna, anggota Pembinaan Masyarakat (Bimas) Kepolisian Sektor Metro Cilandak. Dwi ditembak di depan Rumah Sakit Sari Asih, Ciputat, Rabu (7/8/2013). Dwi tewas. Di wilayah Tangerang Selatan, beberapa pekan sebelumnya, Aipda Patah Saktiyono juga menjadi korban penembakan. Saktiyono ditembak pada Sabtu (27/7) subuh di Cirendeu Raya.
Di Lampung Selatan, sekitar dua minggu sebelum Saktiyono ditembak, Briptu Ratijo yang bertugas di Pos Bunut Polsek Sragi, juga menjadi target penembakan di Simpang Tanggul, Desa Bunut, Kecamatan Seragi. Ratijo ditembak pada Kamis (4/7) setelah memburu sekelompok orang mencurigakan dari Desa Belanga, Kecamatan Sragi, menuju Desa Bunut. Selain beberapa anggota polisi yang menjadi target, masyarakat juga dikejutkan dengan kasus penembakan terhadap Agus Susatyo, petugas sipir lembaga pemasyarakatan (LP) Wirogunan di Yogyakarta pada Rabu (7/8).
Kalau prajurit Polri menjadi sasaran penembakan, fasilitas Polri justru menjadi target serangan bom. Sejak Mei hingga Juli 2013, sudah tiga kali jajaran Polri di daerah mendapat ancaman berupa serangan bom. Pada 13 Mei 2013, pos polisi di Jalan Mitra Batik, Kota Tasikmalaya dilempar bom molotov. Belakangan diketahui, tersangka pelempar bom itu adalah anggota kelompok teroris.
Tersangka kasus ini tewas ditembak setelah sebelumnya menusuk anggota satuan lalu lintas Polres Tasikmalaya Kota, Aiptu Widartono. Pada awal Juni, Polres Poso di Sulawesi Tengah diserang pelaku bom bunuh diri. Dan, pada Sabtu (20/7) dini hari, giliran Polsek Rajapolah, Tasikmalaya, diteror ledakan bom panci. Diduga ledakan bom ini masih berkait dengan peristiwa Mei lalu di Tasikmalaya.
Peristiwa lain yang juga relevan untuk diperhitungkan adalah kasus hilangnya 250 dinamit milik PT Multi Nitrotama Kimia (MNK) di Subang. Semua dinamit dari gudang bahan peledak milik MNK itu diangkut oleh armada milik PT Batu Sarana Persada di Desa Rengas Jajar, Kecamatan Cigudeg, Bogor.
Karena rangkaian peristiwa tadi layak dikaitkan dengan ancaman terorisme di dalam negeri, peristiwa rusuh dan pembobolan LP Tanjung Gusta di Medan, Sumatera Utara harus juga dilihat sebagai faktor yang melahirkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri hari-hari ini. Seperti diketahui, akibat pembobolan di LP ini, ratusan narapidana melarikan diri, termasuk narapidana terorisme. Hingga akhir Juli lalu, polisi masih memburu empat narapidana teroris yang kabur dari LP Tanjung Gusta.
Memaknai perkembangan itu sebagai ancaman, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) mendesak Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri untuk segera menangkap mereka. Kekhawatiran BNPT itu sejalan dengan peringatan atau imbauan Organisasi Polisi Kriminal Internasional (ICPO) baru-baru ini. ICPO yang berkantor pusat Lyons, Prancis, memperingatkan bahwa pembobolan penjara di sejumlah negara merupakan ancaman besar bagi keamanan global.
Bahkan, ICPO menduga jaringan Al-Qaeda juga terlibat dalam penyerangan dan pembobolan sejumlah penjara di sembilan negara, termasuk di Irak, Libya, dan Pakistan. Dimunculkan analisa bahwa ancaman jaringan Al-Qaeda menguat karena mereka berhasil membobol beberapa penjara di sejumlah negara di Asia dan Timur Tengah. Perkiraan ini mendorong sejumlah negara barat menutup kedutaan besar mereka di Timur Tengah, termasuk di Yaman dan Bangladesh. Maka Indonesia pun layak memberi reaksi terhadap ancaman itu.
Bagaimanapun, negara ini punya pengalaman buruk akibat serangan teroris sejak ledakan Bom Bali tahun 2002 di Kuta dan Bom Bali 2005 di Jimbaran dan Kuta, hingga ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada Agustus 2003. Maka memberi perhatian terhadap sinyalemen International Criminal Police Organization (ICPO), bukanlah reaksi yang berlebihan. Mendalami dan memaknai rangkaian peristiwa di dalam negeri akhir-akhir ini pun menjadi sebuah keharusan. Dan, meningkatkan kewaspadaan pada saat ini bukanlah tindakan yang mengada-ada.
Ledakan bom berskala rendah di Wihara Ekayana, serta penembakan terhadap polisi dan serangan bom terhadap fasilitas Polri patut dilihat sebagai kecenderungan. Sebuah kecenderungan yang menjelaskan dengan gamblang bahwa ancaman terorisme di dalam negeri masih ada dan sangat nyata.
Bom di wihara dan upaya membunuh polisi layak dimaknai sebagai upaya menjajal kewaspadaan aparat keamanan dalam negeri. Atau, bahkan bisa juga sebagai serangan pengalih perhatian untuk membidik sasaran lain yang lebih besar dan strategis dengan skala serangan yang jauh lebih besar. Sehari setelah lebaran usai, tepatnya Sabtu (10/8), Densus 88 Antiteror menangkap dua terduga teroris di Yogyakarta.
Densus 88 Antiteror layak mendapatkan apresiasi, karena mereka terus bekerja dalam suasana Idul Fitri. Namun, tangkapan itu rasanya belum cukup untuk menghilangkan ancaman terorisme. Sesuai tugas mereka dari negara, Densus 88 Antiteror masih harus memburu para terduga teroris yang memiliki jaringan cukup luas di dalam negeri. Hari-hari ini, masyarakat Indonesia kembali menjalani rutinitas setelah sebulan penuh khusyuk menjalani ibadah puasa Ramadan dan merayakan Idul Fitri.
Momentum ini bisa dimanfaatkan Polri dan TNI untuk bekerja sama, bahu-membahu dengan segenap lapisan rakyat untuk meningkatkan kewaspadaan, serta menjaga dan melindungi lingkungan masing-masing.
Para petugas keamanan di pusat-pusat kegiatan publik di berbagai kota besar, maupun mereka yang bertugas menjaga banguna-nbangunan strategis milik pemerintah atau swasta, perlu meningkatkan kewaspadaan. Sekali lagi, indikator ancaman terorisme di dalam negeri sudah sangat gamblang, bahkan sudah lebih dari cukup. Jangan sampai Indonesia kecolongan lagi.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
Menjelang akhir bulan Suci Ramadan baru-baru ini, serangkaian peristiwa berbau kejahatan terorisme sudah merongrong sistem keamanan dalam negeri. Imbauan ini tidak mengada-ada atau bertujuan menakut-nakuti. Pun bukan bermaksud memaksa aparat keamanan, khususnya Polri dan TNI, untuk ikutan-ikutan siaga seperti yang dilakukan aparat keamanan Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.
Masalahnya adalah indikator ancaman bagi sistem keamanan dalam negeri sudah lebih dari cukup. Tiga hari menjelang malam takbiran, terjadi ledakan bom di Wihara Ekayana, Minggu (5/8). Pelakunya memberi pesan yang sangat jelas. Mereka prihatin atas tragedi kemanusiaan yang dialami etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar. Indikator lain yang tidak boleh diremehkan adalah rangkaian kasus pembunuhan prajurit polisi serta serangan terhadap fasilitas Polri.
Sekitar sebulan terakhir ini, beberapa anggota polisi menjadi sasaran penembakan. Belum hilang dari ingatan adalah kasus penembakan Aiptu Dwiyatna, anggota Pembinaan Masyarakat (Bimas) Kepolisian Sektor Metro Cilandak. Dwi ditembak di depan Rumah Sakit Sari Asih, Ciputat, Rabu (7/8/2013). Dwi tewas. Di wilayah Tangerang Selatan, beberapa pekan sebelumnya, Aipda Patah Saktiyono juga menjadi korban penembakan. Saktiyono ditembak pada Sabtu (27/7) subuh di Cirendeu Raya.
Di Lampung Selatan, sekitar dua minggu sebelum Saktiyono ditembak, Briptu Ratijo yang bertugas di Pos Bunut Polsek Sragi, juga menjadi target penembakan di Simpang Tanggul, Desa Bunut, Kecamatan Seragi. Ratijo ditembak pada Kamis (4/7) setelah memburu sekelompok orang mencurigakan dari Desa Belanga, Kecamatan Sragi, menuju Desa Bunut. Selain beberapa anggota polisi yang menjadi target, masyarakat juga dikejutkan dengan kasus penembakan terhadap Agus Susatyo, petugas sipir lembaga pemasyarakatan (LP) Wirogunan di Yogyakarta pada Rabu (7/8).
Kalau prajurit Polri menjadi sasaran penembakan, fasilitas Polri justru menjadi target serangan bom. Sejak Mei hingga Juli 2013, sudah tiga kali jajaran Polri di daerah mendapat ancaman berupa serangan bom. Pada 13 Mei 2013, pos polisi di Jalan Mitra Batik, Kota Tasikmalaya dilempar bom molotov. Belakangan diketahui, tersangka pelempar bom itu adalah anggota kelompok teroris.
Tersangka kasus ini tewas ditembak setelah sebelumnya menusuk anggota satuan lalu lintas Polres Tasikmalaya Kota, Aiptu Widartono. Pada awal Juni, Polres Poso di Sulawesi Tengah diserang pelaku bom bunuh diri. Dan, pada Sabtu (20/7) dini hari, giliran Polsek Rajapolah, Tasikmalaya, diteror ledakan bom panci. Diduga ledakan bom ini masih berkait dengan peristiwa Mei lalu di Tasikmalaya.
Peristiwa lain yang juga relevan untuk diperhitungkan adalah kasus hilangnya 250 dinamit milik PT Multi Nitrotama Kimia (MNK) di Subang. Semua dinamit dari gudang bahan peledak milik MNK itu diangkut oleh armada milik PT Batu Sarana Persada di Desa Rengas Jajar, Kecamatan Cigudeg, Bogor.
Karena rangkaian peristiwa tadi layak dikaitkan dengan ancaman terorisme di dalam negeri, peristiwa rusuh dan pembobolan LP Tanjung Gusta di Medan, Sumatera Utara harus juga dilihat sebagai faktor yang melahirkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri hari-hari ini. Seperti diketahui, akibat pembobolan di LP ini, ratusan narapidana melarikan diri, termasuk narapidana terorisme. Hingga akhir Juli lalu, polisi masih memburu empat narapidana teroris yang kabur dari LP Tanjung Gusta.
Memaknai perkembangan itu sebagai ancaman, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) mendesak Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri untuk segera menangkap mereka. Kekhawatiran BNPT itu sejalan dengan peringatan atau imbauan Organisasi Polisi Kriminal Internasional (ICPO) baru-baru ini. ICPO yang berkantor pusat Lyons, Prancis, memperingatkan bahwa pembobolan penjara di sejumlah negara merupakan ancaman besar bagi keamanan global.
Bahkan, ICPO menduga jaringan Al-Qaeda juga terlibat dalam penyerangan dan pembobolan sejumlah penjara di sembilan negara, termasuk di Irak, Libya, dan Pakistan. Dimunculkan analisa bahwa ancaman jaringan Al-Qaeda menguat karena mereka berhasil membobol beberapa penjara di sejumlah negara di Asia dan Timur Tengah. Perkiraan ini mendorong sejumlah negara barat menutup kedutaan besar mereka di Timur Tengah, termasuk di Yaman dan Bangladesh. Maka Indonesia pun layak memberi reaksi terhadap ancaman itu.
Bagaimanapun, negara ini punya pengalaman buruk akibat serangan teroris sejak ledakan Bom Bali tahun 2002 di Kuta dan Bom Bali 2005 di Jimbaran dan Kuta, hingga ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada Agustus 2003. Maka memberi perhatian terhadap sinyalemen International Criminal Police Organization (ICPO), bukanlah reaksi yang berlebihan. Mendalami dan memaknai rangkaian peristiwa di dalam negeri akhir-akhir ini pun menjadi sebuah keharusan. Dan, meningkatkan kewaspadaan pada saat ini bukanlah tindakan yang mengada-ada.
Ledakan bom berskala rendah di Wihara Ekayana, serta penembakan terhadap polisi dan serangan bom terhadap fasilitas Polri patut dilihat sebagai kecenderungan. Sebuah kecenderungan yang menjelaskan dengan gamblang bahwa ancaman terorisme di dalam negeri masih ada dan sangat nyata.
Bom di wihara dan upaya membunuh polisi layak dimaknai sebagai upaya menjajal kewaspadaan aparat keamanan dalam negeri. Atau, bahkan bisa juga sebagai serangan pengalih perhatian untuk membidik sasaran lain yang lebih besar dan strategis dengan skala serangan yang jauh lebih besar. Sehari setelah lebaran usai, tepatnya Sabtu (10/8), Densus 88 Antiteror menangkap dua terduga teroris di Yogyakarta.
Densus 88 Antiteror layak mendapatkan apresiasi, karena mereka terus bekerja dalam suasana Idul Fitri. Namun, tangkapan itu rasanya belum cukup untuk menghilangkan ancaman terorisme. Sesuai tugas mereka dari negara, Densus 88 Antiteror masih harus memburu para terduga teroris yang memiliki jaringan cukup luas di dalam negeri. Hari-hari ini, masyarakat Indonesia kembali menjalani rutinitas setelah sebulan penuh khusyuk menjalani ibadah puasa Ramadan dan merayakan Idul Fitri.
Momentum ini bisa dimanfaatkan Polri dan TNI untuk bekerja sama, bahu-membahu dengan segenap lapisan rakyat untuk meningkatkan kewaspadaan, serta menjaga dan melindungi lingkungan masing-masing.
Para petugas keamanan di pusat-pusat kegiatan publik di berbagai kota besar, maupun mereka yang bertugas menjaga banguna-nbangunan strategis milik pemerintah atau swasta, perlu meningkatkan kewaspadaan. Sekali lagi, indikator ancaman terorisme di dalam negeri sudah sangat gamblang, bahkan sudah lebih dari cukup. Jangan sampai Indonesia kecolongan lagi.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
(hyk)