Eksekusi mati Freddy, tunggu apa lagi?
A
A
A
KENDATI sudah dijatuhi vonis mati, nyali Freddy Budiman, sang bandar narkoba, tetap tak kunjung mati. Dari pengakuan bekas kekasihnya terungkap bahwa selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Freddy tetap aktif menjalankan bisnisnya.
Lebih gila lagi, ia sanggup ”membeli” otoritas lapas tersebut dengan menyewa ruangan khusus serta berpesta narkoba dan seks di dalamnya. Sex, drugs, money: tiga obsesi yang menggumpal sempurna dalam kejahatan luar biasa ini. Bisnis narkoba di lingkungan lapas sesungguhnya bukan hanya jaringan bisnis antara bandar narkoba yang menjalani hukuman di dalam lapas dan pasarnya di luar lapas. Besaran bisnis yang satu ini juga perlu memasukkan besaran uang terkait narkoba yang diperdagangkan ke dalam penjara.
Data pada 2008, di penjara-penjara Inggris diestimasi berlangsung lalu lintas uang mencapai tak kurang dari seratus juta poundsterling setiap tahun. Dana sebesar itu sebatas untuk transaksi memasukkan narkoba ke dalam penjara. Belum termasuk uang hasil ekspansi pasar narkoba di luar penjara oleh mafia yang dikurung di dalam penjara. Perilaku Freddy merupakan manifestasi efek brutalisasi (brutalization effect).
Situasi terpojok dan imajinasi kematian yang terkirim dari vonis mati tidak membuat ia bertobat. Sebaliknya, keadaan yang sejatinya mengerikan itu membuat Freddy kian gelap mata. Tindak-tanduknya semakin liar, semakin brutal. Kelakuan macam itu diperkuat oleh otoritas lapas yang busuk. Di samping terjelaskan lewat teori efek brutalisasi, reputasi Freddy selaku bandar narkoba kelas kakap membuat perilakunya tidak cukup hanya coba dipahami dari sisi individual.
Harus dibuka ruang spekulasi bahwa jaringan Freddy tengah mendesain operasi pembebasan dirinya. Aksi ”penyelamatan” yang dilakukan para kaki tangan mafia narkoba terhadap bos mereka bukan sekadar cerita fiksi. Modusnya beragam. Mulai dari operasi penyamaran yakni para penjemput mengenakan berbagai atribut penegak hukum guna mengelabui petugas lapas hingga penyerbuan bersenjata yang seketika menjadikan lapas sebagai zona perang.
Spekulasi lainnya, selain mendapat vonis mati dari hakim, Freddy juga menerima ancaman maut apabila ia berhenti bertransaksi narkoba. Hukuman dari hakim sebatas untuk Freddy, sedangkan teror lain dari pihak selain hakim bisa jadi juga tertuju kepada Freddy. Teror seperti itu tentu dikirim oleh pebisnis narkoba dengan kaliber lebih dahsyat lagi. Yang mengecewakan, dalam sebuah wawancara di televisi, seorang pejabat Kementerian Hukum dan HAM di Jawa Tengah masih juga mengemukakan kata ”pembinaan”.
Kata tersebut ia lontarkan sebagai respons atas pertanyaan pewawancara tentang jenis perlakuan yang akan Freddy terima setelah ia dipindahkan ke Nusakambangan. Pembinaan terkesan sangat humanis. Salah satu filosofi pemenjaraan, yaitu Republican, memang memandang penghuni penjara sebagai individu-individu yang harus dibantu agar bisa bertabiat lebih baik. Lapas sebagai eufemisme penjara, dengan demikian, difungsikan laksana sekolah kepribadian.
Di dalam penjara narapidana belajar tentang cara-cara beradaptasi yang lebih baik. Itu menjadi bekal baginya kelak setelah mengakhiri masa hukuman dan kembali berintegrasi dengan masyarakat di luar penjara. Namun, sungguh salah kaprah apabila perlakuan sedemikian positif masih juga akan dikenakan terhadap Freddy. Di Meksiko, sebagai perbandingan, bandar-bandar besar narkoba justru diupayakan untuk diekstradisi ke Amerika Serikat. Alasannya jelas: hukum di Negeri Paman Sam lebih sangar terhadap para bandar tersebut.
Ekstremnya, penderitaan sebagai penghuni rumah prodeo Amerika dirasakan jauh lebih berat oleh mafia narkoba ketimbang jika mereka dipenjara di Meksiko. Jadi, retorika pembinaan (rehabilitasi) bagi narapidana pebisnis narkoba bisa dikatakan sebagai nonsense belaka! Itu pula yang seharusnya ditimpakan kepada Freddy. Tingkah polah Freddy sudah nyata-nyata sangat berbahaya. Sanksi terkeji, yakni vonis mati, pun tetap tidak membuatnya jera. Ia terus-menerus melakukan aksi yang sangat potensial menjadikan Indonesia sebagai surga narkoba.
Diperburuk lagi dengan relasi seks di luar pernikahan (prostitusi?) dan kongkalikong dengan otoritas lapas. Saat dipindahkan ke Nusakambangan, Freddy bahkan masih memasukkan sabu-sabu dan SIM card ke dalam perbekalannya. Tidak hanya untuk memuaskan kecanduannya akan narkoba, Freddy juga nampak siap untuk melanjutkan imperium bisnisnya. Ia tentu bernalar, kalau sebelumnya ia sukses melakukan itu semua, bukan tidak mungkin Nusakambangan akan menyusul menjadi markas besar barunya.
Jika terhadap monster sebuas itu program pembinaan tetap akan diberlakukan, berapa rupiah yang harus digelontorkan? Pasti memakan biaya tinggi. Pun tidak ada jaminan bahwa kondisi di Nusakambangan jauh lebih rehabilitatif. Alhasil, seorang Freddy ”mampu” menguras anggaran pembinaan narapidana, sementara ia terus saja mengembangkan jaringan narkoba baru di kalangan penghuni lapas serta membuat integritas dan citra otoritas lapas di Tanah Air kian terperosok.
Karena itulah, ada alasan kuat untuk menyegerakan pelaksanaan eksekusi mati terhadap Freddy. Perlu ditegaskan bahwa pemindahan Freddy dari Lapas Cipinang ke Nusakambangan bukan bagian dari program pembinaan. Bukan pula sebatas pendisiplinan ekstra agar Freddy menghentikan bisnisnya. Tapi, pemindahan itu persiapan dieksekusi mati penjahat bernama Freddy Budiman! Wallahualam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota Asosiasi Psikologi Islami
Lebih gila lagi, ia sanggup ”membeli” otoritas lapas tersebut dengan menyewa ruangan khusus serta berpesta narkoba dan seks di dalamnya. Sex, drugs, money: tiga obsesi yang menggumpal sempurna dalam kejahatan luar biasa ini. Bisnis narkoba di lingkungan lapas sesungguhnya bukan hanya jaringan bisnis antara bandar narkoba yang menjalani hukuman di dalam lapas dan pasarnya di luar lapas. Besaran bisnis yang satu ini juga perlu memasukkan besaran uang terkait narkoba yang diperdagangkan ke dalam penjara.
Data pada 2008, di penjara-penjara Inggris diestimasi berlangsung lalu lintas uang mencapai tak kurang dari seratus juta poundsterling setiap tahun. Dana sebesar itu sebatas untuk transaksi memasukkan narkoba ke dalam penjara. Belum termasuk uang hasil ekspansi pasar narkoba di luar penjara oleh mafia yang dikurung di dalam penjara. Perilaku Freddy merupakan manifestasi efek brutalisasi (brutalization effect).
Situasi terpojok dan imajinasi kematian yang terkirim dari vonis mati tidak membuat ia bertobat. Sebaliknya, keadaan yang sejatinya mengerikan itu membuat Freddy kian gelap mata. Tindak-tanduknya semakin liar, semakin brutal. Kelakuan macam itu diperkuat oleh otoritas lapas yang busuk. Di samping terjelaskan lewat teori efek brutalisasi, reputasi Freddy selaku bandar narkoba kelas kakap membuat perilakunya tidak cukup hanya coba dipahami dari sisi individual.
Harus dibuka ruang spekulasi bahwa jaringan Freddy tengah mendesain operasi pembebasan dirinya. Aksi ”penyelamatan” yang dilakukan para kaki tangan mafia narkoba terhadap bos mereka bukan sekadar cerita fiksi. Modusnya beragam. Mulai dari operasi penyamaran yakni para penjemput mengenakan berbagai atribut penegak hukum guna mengelabui petugas lapas hingga penyerbuan bersenjata yang seketika menjadikan lapas sebagai zona perang.
Spekulasi lainnya, selain mendapat vonis mati dari hakim, Freddy juga menerima ancaman maut apabila ia berhenti bertransaksi narkoba. Hukuman dari hakim sebatas untuk Freddy, sedangkan teror lain dari pihak selain hakim bisa jadi juga tertuju kepada Freddy. Teror seperti itu tentu dikirim oleh pebisnis narkoba dengan kaliber lebih dahsyat lagi. Yang mengecewakan, dalam sebuah wawancara di televisi, seorang pejabat Kementerian Hukum dan HAM di Jawa Tengah masih juga mengemukakan kata ”pembinaan”.
Kata tersebut ia lontarkan sebagai respons atas pertanyaan pewawancara tentang jenis perlakuan yang akan Freddy terima setelah ia dipindahkan ke Nusakambangan. Pembinaan terkesan sangat humanis. Salah satu filosofi pemenjaraan, yaitu Republican, memang memandang penghuni penjara sebagai individu-individu yang harus dibantu agar bisa bertabiat lebih baik. Lapas sebagai eufemisme penjara, dengan demikian, difungsikan laksana sekolah kepribadian.
Di dalam penjara narapidana belajar tentang cara-cara beradaptasi yang lebih baik. Itu menjadi bekal baginya kelak setelah mengakhiri masa hukuman dan kembali berintegrasi dengan masyarakat di luar penjara. Namun, sungguh salah kaprah apabila perlakuan sedemikian positif masih juga akan dikenakan terhadap Freddy. Di Meksiko, sebagai perbandingan, bandar-bandar besar narkoba justru diupayakan untuk diekstradisi ke Amerika Serikat. Alasannya jelas: hukum di Negeri Paman Sam lebih sangar terhadap para bandar tersebut.
Ekstremnya, penderitaan sebagai penghuni rumah prodeo Amerika dirasakan jauh lebih berat oleh mafia narkoba ketimbang jika mereka dipenjara di Meksiko. Jadi, retorika pembinaan (rehabilitasi) bagi narapidana pebisnis narkoba bisa dikatakan sebagai nonsense belaka! Itu pula yang seharusnya ditimpakan kepada Freddy. Tingkah polah Freddy sudah nyata-nyata sangat berbahaya. Sanksi terkeji, yakni vonis mati, pun tetap tidak membuatnya jera. Ia terus-menerus melakukan aksi yang sangat potensial menjadikan Indonesia sebagai surga narkoba.
Diperburuk lagi dengan relasi seks di luar pernikahan (prostitusi?) dan kongkalikong dengan otoritas lapas. Saat dipindahkan ke Nusakambangan, Freddy bahkan masih memasukkan sabu-sabu dan SIM card ke dalam perbekalannya. Tidak hanya untuk memuaskan kecanduannya akan narkoba, Freddy juga nampak siap untuk melanjutkan imperium bisnisnya. Ia tentu bernalar, kalau sebelumnya ia sukses melakukan itu semua, bukan tidak mungkin Nusakambangan akan menyusul menjadi markas besar barunya.
Jika terhadap monster sebuas itu program pembinaan tetap akan diberlakukan, berapa rupiah yang harus digelontorkan? Pasti memakan biaya tinggi. Pun tidak ada jaminan bahwa kondisi di Nusakambangan jauh lebih rehabilitatif. Alhasil, seorang Freddy ”mampu” menguras anggaran pembinaan narapidana, sementara ia terus saja mengembangkan jaringan narkoba baru di kalangan penghuni lapas serta membuat integritas dan citra otoritas lapas di Tanah Air kian terperosok.
Karena itulah, ada alasan kuat untuk menyegerakan pelaksanaan eksekusi mati terhadap Freddy. Perlu ditegaskan bahwa pemindahan Freddy dari Lapas Cipinang ke Nusakambangan bukan bagian dari program pembinaan. Bukan pula sebatas pendisiplinan ekstra agar Freddy menghentikan bisnisnya. Tapi, pemindahan itu persiapan dieksekusi mati penjahat bernama Freddy Budiman! Wallahualam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota Asosiasi Psikologi Islami
(nfl)