Hari-hari sesudah kemenangan itu
A
A
A
”SESUDAH kemenangan kecil hendaknya datang kemenangan baru yang lebih besar. Begitulah harapan kita. Tapi, kemenangan itu dicapai lewat perjuangan.
Tidak ada kemenangan yang datang sendiri ke dalam genggaman tangan kita. Kemenangan bukan hadiah” Di sebuah desa kecil, di pinggir sebuah Tanjung yang membelah daratan menjadi dua bagian yang tak berjauhan satu sama lain, ada pesantren kecil yang dibiarkan kosong karena para santri pulang untuk berlebaran di tengah keluarga masing-masing. Pesantren menjadi begitu lengang.
Sang kiai, yang sudah memutih rambutnya, yang ”nongol” dari jepitan peci putihnya, hanya ditemani beberapa orang santri, dari kerabat dekatnya sendiri. Kiai duduk di sebuah kamar yang terbuka ke arah Tanjung yang airnya beriak ditiup angin lembut dari seberang sana. Kamar itu tempat beliau menerima tamu, yang bakal duduk lama dan berdiskusi panjang lebar sambil minum kopi dan merokok.
Saya ingat, diskusi ini berlangsung tahun lalu, sehari sebelum Lebaran tiba, dan karena itu tak mengherankan beliau bicara mengenai perkara yang relevan dengan keadaan kita hari ini bahwa puasa berarti suatu perjalanan jauh, dan di akhir puasa kita kembali dengan kemenangan. Lebaran menjadi hari kemenangan umat Islam. ”Kemenangan hanya bagi mereka yang berpuasa. Hanya yang berpuasa pula yang berhak memperoleh ucapan ‘selamat kembali ke dalam fitrah’ kita.
Pendeknya, seperti disebut di atas, yang menang hanya yang berjuang. Yang tak melakukan perjuangan tak pernah menang. Tidak berlebihan bila disebutkan bahwa kemenangan itu bukan hadiah.” kata kiai lagi. Pandangannya tertuju ke arah ombak-ombak kecil di tepi Tanjung yang tenang, beberapa meter dari tempat kami duduk. ”Apakah kiai bisa mengatakan bahwa kiai orang yang menang?” Sang kiai tersenyum.
”Saya tak pernah punya keinginan mengatakan begitu dan mungkin tak akan merasa enak untuk mengatakannya. Hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang yang bisa menentukannya.” ”Tapi, kiai berpuasa, dan siang m a l a m beribadah tanpa henti selama bulan yang sebentar lagi berakhir. Bukankah otomatis kiai juga sang pemenang?” ”Itu semua kewajiban etis dan kewajiban hukum bagi saya sebagai hamba. Saya hanya wajib taat, dengan tulus. Kalau bisa, dengan setulus-tulusnya.
Saya persembahkan ibadah saya pada Allah SWT. Allah yang akan menilai puasa saya bagaimana, salat saya bagaimana, tadarus saya bagaimana. Kalau persembahan itu tidak lengkap, tidak sempurna, saya mengucapkan istigfar, mohon ampun, dan mohon perkenan beliau agar yang tak lengkap dianggap lengkap, yang tak sempurna dianggap sempurna.” ”Jika kiai dikategorikan secara jelas sebagai yang ‘kembali dengan kemenangan’ tadi, bagaimana sikap kiai?”
”Bersyukur. Berlindung pada Allah agar kemenangan tak membuat saya jatuh ke dalam kekalahan yang lebih telak dan memalukan?” ”Apa hal itu mungkin, kiai?” ”Mengapa tidak? Merasa menang, dan kemudian takabur, atau menjadi mabuk kemenangan, jelas menjerumuskan kita ke dalam kekalahan yang memalukan” ”Bagaimana kiai menjadikan kemenangan umat itu untuk membikin hidup kita lebih baik, lebih damai?” ”Mungkin sulit. Kemenangan ini bukan benda.
Lagi pula lebih merupakan kemenangan pribadi demi pribadi. Ini bukan kemenangan kolektif. Kita sulit mengapitalisasi kemenangan seperti itu. Maaf, saya tak bisa m e m b u a t penjelasan lain yang lebih baik.” Kiai ini seorang aktivis hak asasi manusia, seorang pembela kesetaraan gender, seorang penulis, dikenal luas sebagai penyair terkemuka. Di forum-forum pun kiai ini sering tak menjawab suatu pertanyaan. Prinsip beliau: tak semua pertanyaan harus dijawab.
Sering sebuah pertanyaan sudah bersifat menjelaskan. Jadi buat apa dijawab dengan suatu penjelasan? Biar saja pertanyaan itu yang menjelaskan dirinya sendiri. Begitu sikap sang kiai, yang merasa nyaman—maksudnya tak berkecil hati—ditinggal para santri untuk berlebaran di kampung mereka masing-masing. ”Sedikit sunyi seperti ini menawarkan kesempatan untuk lebih produktif,” katanya, mengakhiri diskusi kecil itu.
Hari besar yang membuat kita kembali ke dalam fitrah, seperti ketika kita baru lahir, kita masih bayi, ditempuh melalui jalan terjal. Perjuangan itu ditetapkan dengan sistem gugur. Sekali batal, batallah ibadah kita. Batal satu hari harus diulang di hari yang lain sesudah bulan Ramadan lewat. Batal itu begitu banyak jenisnya. Ada yang kasatmata, yang lahiriah. Ada yang tak kasatmata, yang rohaniah sifatnya.
Segala sesuatu yang rohaniah itu begitu lembut, begitu ”subtle”, dan sangat samar-samar, hingga boleh jadi kita tidak tahu adakah suatu tindakan membikin kita punya puasa batal, atau tidak batal. Ada yang tak kita ketahui secara pasti. Hukum-hukum yang mengaturnya begitu jelas dan transparan. Tapi, hukum itu kerangka yang membingkai di bagian luar. Tentang ikhlas dan sikap tulus yang kita tak tahu seperti apa seharusnya, jelas bukan urusan bingkai hukum.
Dengan begitu, jelas ada yang tak kita ketahui dengan pasti mengenai diterima tidaknya ibadah kita. Dalam kondisi rohaniah macam itu, bagaimana kita bisa bicara tentang kemenangan? Saya ingat ucapan kiai tahun lalu. Dia tak bisa mengklaim kemenangan. Kita hanya tahu satu hal; menang tak boleh membuat kita mabuk dan lupa diri. Menang yang hanya sebulan itu, dikepung sebelas bulan berikutnya, yang begitu penuh tantangan.
Kita merasa gentar untuk menikmati kemenangan dengan tenang. Bagi kita, kemenangan ini mungkin meresahkan. Kita sama sekali tak punya jaminan bahwa sesudah itu kita akan tetap menang. Pada hari-hari sesudah kemenangan itu, kita menunduk, dengan rendah hati, untuk menjalani hidup di luar bulan puasa, di luar Lebaran, dengan sikap berbagi agar kemenangan kita mewarnai kehidupan semua umat manusia.
Kita menebarkan salam untuk mewujudkan dalam hidup makna bahwa Islam rahmat bagi semesta alam. Kita membagi kemenangan, dengan mereka yang belum menang.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Tidak ada kemenangan yang datang sendiri ke dalam genggaman tangan kita. Kemenangan bukan hadiah” Di sebuah desa kecil, di pinggir sebuah Tanjung yang membelah daratan menjadi dua bagian yang tak berjauhan satu sama lain, ada pesantren kecil yang dibiarkan kosong karena para santri pulang untuk berlebaran di tengah keluarga masing-masing. Pesantren menjadi begitu lengang.
Sang kiai, yang sudah memutih rambutnya, yang ”nongol” dari jepitan peci putihnya, hanya ditemani beberapa orang santri, dari kerabat dekatnya sendiri. Kiai duduk di sebuah kamar yang terbuka ke arah Tanjung yang airnya beriak ditiup angin lembut dari seberang sana. Kamar itu tempat beliau menerima tamu, yang bakal duduk lama dan berdiskusi panjang lebar sambil minum kopi dan merokok.
Saya ingat, diskusi ini berlangsung tahun lalu, sehari sebelum Lebaran tiba, dan karena itu tak mengherankan beliau bicara mengenai perkara yang relevan dengan keadaan kita hari ini bahwa puasa berarti suatu perjalanan jauh, dan di akhir puasa kita kembali dengan kemenangan. Lebaran menjadi hari kemenangan umat Islam. ”Kemenangan hanya bagi mereka yang berpuasa. Hanya yang berpuasa pula yang berhak memperoleh ucapan ‘selamat kembali ke dalam fitrah’ kita.
Pendeknya, seperti disebut di atas, yang menang hanya yang berjuang. Yang tak melakukan perjuangan tak pernah menang. Tidak berlebihan bila disebutkan bahwa kemenangan itu bukan hadiah.” kata kiai lagi. Pandangannya tertuju ke arah ombak-ombak kecil di tepi Tanjung yang tenang, beberapa meter dari tempat kami duduk. ”Apakah kiai bisa mengatakan bahwa kiai orang yang menang?” Sang kiai tersenyum.
”Saya tak pernah punya keinginan mengatakan begitu dan mungkin tak akan merasa enak untuk mengatakannya. Hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang yang bisa menentukannya.” ”Tapi, kiai berpuasa, dan siang m a l a m beribadah tanpa henti selama bulan yang sebentar lagi berakhir. Bukankah otomatis kiai juga sang pemenang?” ”Itu semua kewajiban etis dan kewajiban hukum bagi saya sebagai hamba. Saya hanya wajib taat, dengan tulus. Kalau bisa, dengan setulus-tulusnya.
Saya persembahkan ibadah saya pada Allah SWT. Allah yang akan menilai puasa saya bagaimana, salat saya bagaimana, tadarus saya bagaimana. Kalau persembahan itu tidak lengkap, tidak sempurna, saya mengucapkan istigfar, mohon ampun, dan mohon perkenan beliau agar yang tak lengkap dianggap lengkap, yang tak sempurna dianggap sempurna.” ”Jika kiai dikategorikan secara jelas sebagai yang ‘kembali dengan kemenangan’ tadi, bagaimana sikap kiai?”
”Bersyukur. Berlindung pada Allah agar kemenangan tak membuat saya jatuh ke dalam kekalahan yang lebih telak dan memalukan?” ”Apa hal itu mungkin, kiai?” ”Mengapa tidak? Merasa menang, dan kemudian takabur, atau menjadi mabuk kemenangan, jelas menjerumuskan kita ke dalam kekalahan yang memalukan” ”Bagaimana kiai menjadikan kemenangan umat itu untuk membikin hidup kita lebih baik, lebih damai?” ”Mungkin sulit. Kemenangan ini bukan benda.
Lagi pula lebih merupakan kemenangan pribadi demi pribadi. Ini bukan kemenangan kolektif. Kita sulit mengapitalisasi kemenangan seperti itu. Maaf, saya tak bisa m e m b u a t penjelasan lain yang lebih baik.” Kiai ini seorang aktivis hak asasi manusia, seorang pembela kesetaraan gender, seorang penulis, dikenal luas sebagai penyair terkemuka. Di forum-forum pun kiai ini sering tak menjawab suatu pertanyaan. Prinsip beliau: tak semua pertanyaan harus dijawab.
Sering sebuah pertanyaan sudah bersifat menjelaskan. Jadi buat apa dijawab dengan suatu penjelasan? Biar saja pertanyaan itu yang menjelaskan dirinya sendiri. Begitu sikap sang kiai, yang merasa nyaman—maksudnya tak berkecil hati—ditinggal para santri untuk berlebaran di kampung mereka masing-masing. ”Sedikit sunyi seperti ini menawarkan kesempatan untuk lebih produktif,” katanya, mengakhiri diskusi kecil itu.
Hari besar yang membuat kita kembali ke dalam fitrah, seperti ketika kita baru lahir, kita masih bayi, ditempuh melalui jalan terjal. Perjuangan itu ditetapkan dengan sistem gugur. Sekali batal, batallah ibadah kita. Batal satu hari harus diulang di hari yang lain sesudah bulan Ramadan lewat. Batal itu begitu banyak jenisnya. Ada yang kasatmata, yang lahiriah. Ada yang tak kasatmata, yang rohaniah sifatnya.
Segala sesuatu yang rohaniah itu begitu lembut, begitu ”subtle”, dan sangat samar-samar, hingga boleh jadi kita tidak tahu adakah suatu tindakan membikin kita punya puasa batal, atau tidak batal. Ada yang tak kita ketahui secara pasti. Hukum-hukum yang mengaturnya begitu jelas dan transparan. Tapi, hukum itu kerangka yang membingkai di bagian luar. Tentang ikhlas dan sikap tulus yang kita tak tahu seperti apa seharusnya, jelas bukan urusan bingkai hukum.
Dengan begitu, jelas ada yang tak kita ketahui dengan pasti mengenai diterima tidaknya ibadah kita. Dalam kondisi rohaniah macam itu, bagaimana kita bisa bicara tentang kemenangan? Saya ingat ucapan kiai tahun lalu. Dia tak bisa mengklaim kemenangan. Kita hanya tahu satu hal; menang tak boleh membuat kita mabuk dan lupa diri. Menang yang hanya sebulan itu, dikepung sebelas bulan berikutnya, yang begitu penuh tantangan.
Kita merasa gentar untuk menikmati kemenangan dengan tenang. Bagi kita, kemenangan ini mungkin meresahkan. Kita sama sekali tak punya jaminan bahwa sesudah itu kita akan tetap menang. Pada hari-hari sesudah kemenangan itu, kita menunduk, dengan rendah hati, untuk menjalani hidup di luar bulan puasa, di luar Lebaran, dengan sikap berbagi agar kemenangan kita mewarnai kehidupan semua umat manusia.
Kita menebarkan salam untuk mewujudkan dalam hidup makna bahwa Islam rahmat bagi semesta alam. Kita membagi kemenangan, dengan mereka yang belum menang.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
(nfl)