Membongkar kartel pangan

Senin, 12 Agustus 2013 - 07:40 WIB
Membongkar kartel pangan
Membongkar kartel pangan
A A A
KARTEL pangan kembali menjadi diskusi publik. Masalah ini muncul seiring karut-marut dan terus berulangnya masalah pangan di negeri ini.

Bagi Indonesia, kartel pangan bukanlah hal baru. Politik otoritarian dan kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan elite penguasa dan para sekodanya telah menciptakan kapling-kapling ekonomi hanya oleh segelintir pelaku. Praktik buruk di era Orde Baru itu terus bermetamorfosa di era Reformasi dan dilakukan turun-temurun dari generasi ke generasi. Tidak mengherankan bila sebagian besar kartel pangan berubah jadi amat struktural, bagai tembok kedap air.

Struktur semakin solid karena sebagian besar kartel pangan ini terafiliasi dengan raksasa bisnis global. Afiliasi ini secara terus-menerus mengeksploitasi pasar Indonesia yang empuk dan menggiurkan. Potensi keuntungan yang luar biasa besar membuat siapa pun ngiler menjadi bagian jaringan praktik kartel pangan. Dari sisi pelaku, sebagian besar pelaku lama. Hanya sebagian kecil pendatang baru.

Berkat kecakapan, jaringan lobi dan ketangguhan, serta melalui proses jatuh bangun yang tidak sederhana, mereka mampu menerobos barriers to entry yang sengaja dipasang para kartel ekonomi pangan. Kartel pangan tumbuh subuh di negeri ini bukan hanya karena kue ekonomi dan peluang keuntungannya amat besar, melainkan juga didorong oleh kecenderungan perilaku pelaku ekonomi untuk menjadi pemburu rente (rent seekers), lemahnya penegakan aturan main dan pengawasan, serta buruknya aransemen kelembagaan dan kualitas kebijakan (ekonomi).

Akibatnya, hampir pada setiap jengkal aktivitas ekonomi pangan, baik yang pasarnya diatur maupun yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, selalu muncul peluang terjadi kartel pangan. Ini terutama terjadi pada komoditas-komoditas pangan penting yang kue ekonominya amat besar: beras, jagung, kedelai, terigu, gula, daging, dan gula. Kartel kian menggila apabila produksi domestik tidak mencukupi.

Sampai saat ini produksi aneka pangan domestik, terutama pangan pokok, masih tertatih-tatih. Pemerintah menetapkan target swasembada jagung, kedelai, gula, dan daging, serta surplus beras 10 juta ton pada 2014. Tapi, tanda-tanda pencapaian masih jauh. Menurut angka ramalan I BPS, produksi padi, jagung, dan kedelai tahun ini masing-masing 69,27 juta ton (naik 0,31% dari 2012), 18,84 juta ton pipilan kering (- 2,83%), dan 847,16 ribu ton biji kering (0,47%).

Produksi gula kristal putih diperkirakan 2,5 juta ton dan produksi daging 399.320 ton. Dari kelimanya, surplus beras mungkin relatif aman. Meskipun relatif aman, perberasan negeri ini selalu mengidap anomali, setidaknya tiga tahun terakhir. Menurut data BPS, produksi beras seharusnya berlebih. Namun, tiga tahun terakhir kita selalu impor beras: 1 juta ton (2012), dan bahkan 2,7 juta ton (2011).

Pertanyaannya, jika (benar) surplus mengapa harus impor beras? Tidakkah impor pada saat surplus kian membenarkan sinyalemen publik ada perburuan rente (besar) di baliknya? Besarnya impor beras inilah antara lain yang menyumbang besarnya kue impor pangan. Pada 2012 nilai impor mencapai sebesar USD9,704 miliar atau Rp92,2 triliun, terdiri impor pangan (Rp63,9 triliun), hortikultura (Rp12,9 triliun), dan peternakan (Rp15,4 triliun). Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor pangan.

Pada 2008 defisit subsektor pangan baru USD3,178 miliar, tapi pada 2011 defisit meledak lebih dua kali lipat jadi USD6,439 miliar. Nilai impor terbesar disumbang gandum, beras, kedelai, jagung, gula, susu, daging dan sapi bakalan, aneka buah-buahan, dan bawang putih. Melihat besarnya kue impor pangan, sepertinya keuntungan yang dinikmati pelaku kartel pangan bisa 2-3 kali lipat dari perkiraan Kadin yang hanya sebesar Rp11,3 triliun.

Kartel-yang dimaknai sebagai kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar-secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran.

Mudah didefinisikan, namun kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas seringkali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku kartel. Yang pasti, praktik kartel setidaknya akan menciptakan dua kerugian sekaligus. Pertama, kartel akan meminikan, bahkan meniadakan, persaingan. Akibatnya, konsumen tidak memiliki alternatif pilihan.

Mau tidak mau, konsumen harus membeli barang (sejenis) yang telah diatur harganya, termasuk harga yang amat tinggi. Kedua, secara makro kartel akan mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan oleh timbulnya bobot yang hilang (deadweight loss) akibat pembatasan produksi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka melindungi pabrik yang tak efisien sehingga menaikkan biaya rata-rata produksi barang/jasa dalam suatu industri.

Kegagalan pasar yang ditunjukkan praktik kartel tentu tak bisa dibiarkan. Praktik kartel terbukti memakan biaya sosialekonomi dan politik yang tidak kecil. Sebagai penjaga kepentingan publik, negara harus hadir melakukan koreksi. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Kinerja produksi pangan yang baik akan menekan dampak buruk dari inefisiensi perdagangan. Infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan, dan yang lain) yang baik akan memperlancar rantai pasokan.

Perbaikan sistem informasi harga, informasi pasar, dan teknologi baru akan mengurangi inefisiensi sistem perdagangan yang akut. Kedua, membenahi administrasi perdagangan dalam dan luar negeri. Paling penting adalah administrasi pergudangan. Ketika informasi gudang dikuasai, gerak arus barang dari satu titik ke titik lain akan mudah diestimasi, termasuk fluktuasi harga yang terjadi.

Lebih dari itu, administrasi yang baik dengan mudah mendeteksi ada aksi aji mumpung dalam bentuk penimbunan. Ketiga, meningkatkan penegakan hukum. Dalam kaitan ini, pemerintah dan DPR perlu lebih memberdayakan lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Bila dipandang perlu, sudah saatnya dilakukan amendemen pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk meningkatkan kewibawaan dan power KPPU.

KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7426 seconds (0.1#10.140)