Aspirasi rakyat dan harga
A
A
A
Puluhan juta ibu rumah tangga hari-hari ini terus berkeluh kesah karena tingginya harga kebutuhan pokok. Gema keresahan akar rumput itu rupanya tak terdengar karena jarak antara mereka dan pemerintah yang elitis demikian jauhnya.
Akibat itu, pemerintahan ini seperti tidak memahami masalah riil yang sedang dihadapi rakyat. Kalau aspirasi rakyat boleh dipilah-pilah, tuntutan terkini yang akan dikumandang puluhan juta ibu rumah tangga adalah turunkan harga! Gerak naik harga aneka komoditas kebutuhan pokok rakyat sudah mencapai level di luar jangkauan daya beli puluhan juta rumah tangga di negara ini.
Di Jakarta dan sekitarnya harga semua jenis beras naik rata-rata Rp1.000 per kilogram (kg). Skala kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seharusnya tidak mendongkrak harga beras sebesar itu karena biaya transportasi masih di bawah Rp200/kg. Harga sayur-mayur bahkan sudah melonjak sebelum pemerintah mengumumkan dan memberlakukanhargabaruBBM bersubsidi.
Harga cabai merah naik dari Rp18.000/kg menjadi Rp28.000/kg, sedangkan harga tomatnaikdari Rp8.000/kg menjadi Rp10.000/kg. Paling aneh adalah lonjakan harga jengkol, dari Rp10.000/kg menjadi Rp50.000/kg. Di Pasar Kanoman, Cirebon, harga satu kilogram telur ayam naik menjadi Rp19.500 dari sebelumnya Rp15.000/kg. Sedangkan harga daging ayam sudah mencapai Rp50.000 per ekor dari sebelumnya Rp28.000 per ekor.
Karena alasan kenaikan biaya distribusi, harga tepung terigu pun naik sejak awal Juni. Di Bandung harga terigu Rp7.000 dari sebelumnya Rp6.200/kg. Harga tepung tapioka menjadi Rp5.400 dari sebelumnya Rp5.000/kg. Di pasar tradisional Senen, Jakarta Pusat, harga minyak goreng naik dari Rp9.000 menjadi Rp12.000/kg. Harga bawang putih yang sebelumnya Rp34.000 kini menjadi Rp37.000/kg. Sementara harga daging masih bertahan di sekitar Rp90.000 hingga Rp100.000/kg.
Di mana pemerintah sebagai regulator? Sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah menjamin harga kebutuhan pokok tidak akan naik. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyuarakan janji pemerintah yang akan berusaha menjaga harga tetap stabil.
Sedangkan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menegaskan bahwa harga sejumlah komoditas seperti tepung terigu, minyak goreng, makanan, dan minuman tidak akan mengalami kenaikan menyusul kenaikan harga BBM.
Lagi-lagi rakyat diberi jaminan kosong. Kalau para menteri ekonomi cerdas, situasi yang mengemuka di pasar komoditas kebutuhan pokok saat ini sebenarnya predictable. Sejak awal Juni para spekulan dan pedagang besar sudah mendapatkan dua sentimen untukmendongkrakhargajualaneka komoditas kebutuhan pokok masyarakat. Keduanya adalah sentimen berlakunya harga baru BBM bersubsidi dan sentimen menjelang bulan Ramadan.
Kalau kecenderungan ini masuk dalam prediksi para menteri, pemerintah sebagai regulator seharusnya bisa merancang strategi untuk menangkal lonjakan harga yang melampaui batas kewajaran. Pemerintah memiliki jaringan dan sistem yang memungkinkan para menteri ekonomi meredam sepak terjang spekulan.
Egois
Jika sejak Mei tahun ini pemerintah mau menahan diri untuk tidak menggoreng isu kenaikan harga BBM bersubsidi, spekulan hanya memiliki satu sentimen untuk memainkan harga kebutuhan pokok. Harga mungkin akan tetap naik menyongsong Ramadan, tetapi masih dalam skala yang wajar alias terjangkau oleh daya beli rumah tangga kebanyakan. Karena pemerintah berperilaku egois dan terus mengumandangkan urgensi menaikkan harga BBM bersubsidi, spekulasi pun tak terbendung.
Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi pada hakikatnya bisa diterima. Tetapi, pilihan waktunya benar-benar tidak bijaksana karena dilakukan saat puluhan juta keluarga sedang menghadapi puncak beban sepanjang periode Juni hingga pekan kedua Agustus 2013. Selain tradisi menghadapi bulan puasa, keluarga Indonesia juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk keperluan sekolah putra-putri mereka. Belum lagi biaya untuk keperluan selama masa libur panjang siswa/siswi.
Maka itu, lonjakan harga aneka kebutuhan pokok saat ini benar-benar membuat para ibu rumah tangga sesak nafas. Apakah puncak beban yang dihadapi puluhan juta keluarga ini juga masuk kalkulasi pemerintah, khususnya para menteri ekonomi? Patut diragukan karena harga baru BBM bersubsidi tetap saja diberlakukan menjelang akhir Juni 2013.
Kalau persoalan puncak beban keluarga Indonesia itu sama tidak dipertimbangkan, berarti jarak yang terbentang antara pemerintahan sekarang ini dan rakyat demikian jauhnya sehingga para menteri ekonomi itu tak mampu menangkap dan memahami aspirasi rakyat. Begitu elitisnya para menteri itu sehingga mereka enggan mengontrol harga cabai, tomat, bawang, dan telur. Karena itu, sangat pantas jika Presiden selaku kepala eksekutif menghardik para menteri ekonomi.
Sangat beralasan jika Presiden gusar karena para menteri tidak mendengarkan keluh kesah atau aspirasi rakyat. Persoalan harga daging misalnya sudah berulang diagendakan dalam rapat kabinet. Strategi mengatasi persoalannya pun sudah dirumuskan. Tetapi, harga daging tak kunjung turun selama beberapa bulan terakhir ini. Lebih memprihatinkan lagi, para menteri tetap saja gagal memenuhi harapan dan instruksi Presiden sekalipun telah mendapatkan teguran keras.
Para menteri terlihat seperti kedodoran karena tidak mampu mengendalikan lonjakan harga kebutuhan pokok. Para menteri kedodoran karena tidak fokus lagi pada deskripsi kerja dan terperangkap kepentingan sempit. Para menteri hanya fokus menurunkan harga daging, tapi kecolongan di harga komoditas kebutuhan pokok lainnya. Setelah dimarahi Presiden belum lama ini, harga bukan turun, melainkan semakin bergerak liar.
Para ibu rumah tangga sangat kecewa karena pemerintah tidak maksimal melindungi kepentingan rakyat selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri tahun ini. Berlarut-larut masalah harga daging yang demikian mahal tak masuk akal. Banyak kalangan curiga bahwa harga daging sulit diturunkan karena oknum pemerintah juga mencari untung dalam mengelola permintaan dan penawaran daging di pasar dalam negeri.
Publik yakin bahwa harga daging pasti bisa diturunkan jika pemerintah bergerak cepat dan mengerahkan segenap kekuatannya membanjiri pasar dengan komoditas itu. Karena oknum pemerintah ikut mencari untung, para menteri menjadi minimalis dalam mengatasi masalah ini. Jangan berharap konsumsi masyarakat akan meningkat tajam kendati ada momentum puasa Ramadan dan perayaan Idul Fitri. Konsumsi masyarakat diperkirakan stagnan akibat perilaku pemerintah yang egois.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Akibat itu, pemerintahan ini seperti tidak memahami masalah riil yang sedang dihadapi rakyat. Kalau aspirasi rakyat boleh dipilah-pilah, tuntutan terkini yang akan dikumandang puluhan juta ibu rumah tangga adalah turunkan harga! Gerak naik harga aneka komoditas kebutuhan pokok rakyat sudah mencapai level di luar jangkauan daya beli puluhan juta rumah tangga di negara ini.
Di Jakarta dan sekitarnya harga semua jenis beras naik rata-rata Rp1.000 per kilogram (kg). Skala kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seharusnya tidak mendongkrak harga beras sebesar itu karena biaya transportasi masih di bawah Rp200/kg. Harga sayur-mayur bahkan sudah melonjak sebelum pemerintah mengumumkan dan memberlakukanhargabaruBBM bersubsidi.
Harga cabai merah naik dari Rp18.000/kg menjadi Rp28.000/kg, sedangkan harga tomatnaikdari Rp8.000/kg menjadi Rp10.000/kg. Paling aneh adalah lonjakan harga jengkol, dari Rp10.000/kg menjadi Rp50.000/kg. Di Pasar Kanoman, Cirebon, harga satu kilogram telur ayam naik menjadi Rp19.500 dari sebelumnya Rp15.000/kg. Sedangkan harga daging ayam sudah mencapai Rp50.000 per ekor dari sebelumnya Rp28.000 per ekor.
Karena alasan kenaikan biaya distribusi, harga tepung terigu pun naik sejak awal Juni. Di Bandung harga terigu Rp7.000 dari sebelumnya Rp6.200/kg. Harga tepung tapioka menjadi Rp5.400 dari sebelumnya Rp5.000/kg. Di pasar tradisional Senen, Jakarta Pusat, harga minyak goreng naik dari Rp9.000 menjadi Rp12.000/kg. Harga bawang putih yang sebelumnya Rp34.000 kini menjadi Rp37.000/kg. Sementara harga daging masih bertahan di sekitar Rp90.000 hingga Rp100.000/kg.
Di mana pemerintah sebagai regulator? Sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah menjamin harga kebutuhan pokok tidak akan naik. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyuarakan janji pemerintah yang akan berusaha menjaga harga tetap stabil.
Sedangkan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menegaskan bahwa harga sejumlah komoditas seperti tepung terigu, minyak goreng, makanan, dan minuman tidak akan mengalami kenaikan menyusul kenaikan harga BBM.
Lagi-lagi rakyat diberi jaminan kosong. Kalau para menteri ekonomi cerdas, situasi yang mengemuka di pasar komoditas kebutuhan pokok saat ini sebenarnya predictable. Sejak awal Juni para spekulan dan pedagang besar sudah mendapatkan dua sentimen untukmendongkrakhargajualaneka komoditas kebutuhan pokok masyarakat. Keduanya adalah sentimen berlakunya harga baru BBM bersubsidi dan sentimen menjelang bulan Ramadan.
Kalau kecenderungan ini masuk dalam prediksi para menteri, pemerintah sebagai regulator seharusnya bisa merancang strategi untuk menangkal lonjakan harga yang melampaui batas kewajaran. Pemerintah memiliki jaringan dan sistem yang memungkinkan para menteri ekonomi meredam sepak terjang spekulan.
Egois
Jika sejak Mei tahun ini pemerintah mau menahan diri untuk tidak menggoreng isu kenaikan harga BBM bersubsidi, spekulan hanya memiliki satu sentimen untuk memainkan harga kebutuhan pokok. Harga mungkin akan tetap naik menyongsong Ramadan, tetapi masih dalam skala yang wajar alias terjangkau oleh daya beli rumah tangga kebanyakan. Karena pemerintah berperilaku egois dan terus mengumandangkan urgensi menaikkan harga BBM bersubsidi, spekulasi pun tak terbendung.
Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi pada hakikatnya bisa diterima. Tetapi, pilihan waktunya benar-benar tidak bijaksana karena dilakukan saat puluhan juta keluarga sedang menghadapi puncak beban sepanjang periode Juni hingga pekan kedua Agustus 2013. Selain tradisi menghadapi bulan puasa, keluarga Indonesia juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk keperluan sekolah putra-putri mereka. Belum lagi biaya untuk keperluan selama masa libur panjang siswa/siswi.
Maka itu, lonjakan harga aneka kebutuhan pokok saat ini benar-benar membuat para ibu rumah tangga sesak nafas. Apakah puncak beban yang dihadapi puluhan juta keluarga ini juga masuk kalkulasi pemerintah, khususnya para menteri ekonomi? Patut diragukan karena harga baru BBM bersubsidi tetap saja diberlakukan menjelang akhir Juni 2013.
Kalau persoalan puncak beban keluarga Indonesia itu sama tidak dipertimbangkan, berarti jarak yang terbentang antara pemerintahan sekarang ini dan rakyat demikian jauhnya sehingga para menteri ekonomi itu tak mampu menangkap dan memahami aspirasi rakyat. Begitu elitisnya para menteri itu sehingga mereka enggan mengontrol harga cabai, tomat, bawang, dan telur. Karena itu, sangat pantas jika Presiden selaku kepala eksekutif menghardik para menteri ekonomi.
Sangat beralasan jika Presiden gusar karena para menteri tidak mendengarkan keluh kesah atau aspirasi rakyat. Persoalan harga daging misalnya sudah berulang diagendakan dalam rapat kabinet. Strategi mengatasi persoalannya pun sudah dirumuskan. Tetapi, harga daging tak kunjung turun selama beberapa bulan terakhir ini. Lebih memprihatinkan lagi, para menteri tetap saja gagal memenuhi harapan dan instruksi Presiden sekalipun telah mendapatkan teguran keras.
Para menteri terlihat seperti kedodoran karena tidak mampu mengendalikan lonjakan harga kebutuhan pokok. Para menteri kedodoran karena tidak fokus lagi pada deskripsi kerja dan terperangkap kepentingan sempit. Para menteri hanya fokus menurunkan harga daging, tapi kecolongan di harga komoditas kebutuhan pokok lainnya. Setelah dimarahi Presiden belum lama ini, harga bukan turun, melainkan semakin bergerak liar.
Para ibu rumah tangga sangat kecewa karena pemerintah tidak maksimal melindungi kepentingan rakyat selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri tahun ini. Berlarut-larut masalah harga daging yang demikian mahal tak masuk akal. Banyak kalangan curiga bahwa harga daging sulit diturunkan karena oknum pemerintah juga mencari untung dalam mengelola permintaan dan penawaran daging di pasar dalam negeri.
Publik yakin bahwa harga daging pasti bisa diturunkan jika pemerintah bergerak cepat dan mengerahkan segenap kekuatannya membanjiri pasar dengan komoditas itu. Karena oknum pemerintah ikut mencari untung, para menteri menjadi minimalis dalam mengatasi masalah ini. Jangan berharap konsumsi masyarakat akan meningkat tajam kendati ada momentum puasa Ramadan dan perayaan Idul Fitri. Konsumsi masyarakat diperkirakan stagnan akibat perilaku pemerintah yang egois.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
(nfl)