Realisasi investasi nyaris tembus target
A
A
A
Realisasi investasi nyaris menembus setengah dari target investasi yang dipatok pemerintah atau senilai Rp192,8 triliun (49,4%) sepanjang semester pertama tahun ini.
Realisasi tersebut meliputi penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp132,2 triliun atau sekitar 48,5% dari target yang direncanakan sebesar Rp272,6 triliun. Adapun penanaman modal dalam negeri (PMDN) tercatat sebesar Rp60,6 triliun dari target sebesar Rp117,7 triliun atau sekitar 51,5%. Melihat tren tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Chatib Basri menyatakan optimistis target realisasi investasi sebesar Rp390,3 triliun bisa terpenuhi pada tahun ini.
Sebelumnya, beberapa lembaga keuangan internasional meragukan realisasi investasi asing di Indonesia bakal tercapai menyusul pelemahan kondisi perekonomian global. Memang, faktanya investasi asing dalam enam bulan belakangan ini sedikit mengalami pelambatan. Hal itu diakui pihak BKPM sebagai pengaruh dari kondisi perekonomian dunia yang masih suram. ”Investasi PMA masih di bawah target, ini karena pengaruh global,” tegas Chatib Basri saat menjelaskan perkembangan investasi di Indonesia kemarin.
Yang menarik dicermati dalam perkembangan realisasi investasi tersebut adalah persebaran berdasarkan wilayah. Ternyata, porsi realisasi investasi di luar Pulau Jawa sedikit mengalami penurunan dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu dari 46,1% turun menjadi 43,2% atau sebesar Rp83,3 triliun. Namun, bila ditinjau dari sisi nilai, realisasi investasi mengalami pertumbuhan signifikan dari senilai Rp68,3 triliun menjadi sebesar Rp83,3 triliun.
Sementara itu, porsi realisasi investasi di Pulau Jawa tercatat sebesar Rp109,5 triliun pada semester pertama tahun ini. Berangkat dari perkembangan realisasi investasi tersebut, Chatib Basri yang juga menjabat sebagai menteri keuangan menyatakan tak perlu ada kekhawatiran target pertumbuhan perekonomian nasional yang dipatok sekitar 6,3% tidak tercapai meski Bank Dunia telah mengoreksi pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi 5,9% dan Bank Indonesia (BI) yang memprediksi maksimal perekonomian domestik hanya tumbuh 6,1% hingga 6,2%.
Selain itu, pertumbuhan perekonomian nasional tetap bertumpu pada konsumsi di dalam negeri yang masih tinggi. Meski demikian, pemerintah mengakui risiko inflasi pascakebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi memang bisa menjadi kerikil kecil. Hanya saja, pemerintah memprediksi risiko inflasi tersebut hanya akan dirasakan pada bulan berjalan ini (Juli), setelah itu kondisinya akan normal kembali. Walau pemerintah optimistis pertumbuhan perekonomian berjalan mulus, jangan sampai terlena.
Beberapa perkembangan terakhir ini perlu dicermati, terutama langkah BI berkaitan dengan perkembangan suku bunga acuan atau BI Rate. Dalam dua bulan terakhir ini, bank sentral di bawah kepemimpinan Agus Martowardojo tercatat sudah dua kali menaikkan BI Rateberturut-turut. Kenaikan suku bunga acuan tersebut ditujukan untuk mengerem laju nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah, mengantisipasi lonjakan angka inflasi menyusul kenaikan harga BBM bersubsidi.
Namun, fakta lapangan rupiah tak tertolong, bahkan terus bertengger di level psikologis atau di atas Rp10.000 per USD1. Sebagai konsekuensi dari kenaikan suku bunga acuan tersebut, kalangan perbankan serta-merta akan menyesuaikan suku bunga kredit. Sebaliknya, bila BI Rateturun, perbankan cenderung menahan diri untuk mengotak-atik suku bunga kredit.
Para bankir akan melakukan wait and seeyang membutuhkan waktu cukup panjang. Tindakan tersebut sudah pasti berdampak pada perekonomian nasional, terutama pada sektor riil. Hal ini perlu segera mendapat perhatian pemerintah sebelum merepotkan dunia usaha sebagai motor pertumbuhan perekonomian nasional, yang ditandai dengan kenaikan suku bunga kredit perbankan yang tidak bersahabat.
Realisasi tersebut meliputi penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp132,2 triliun atau sekitar 48,5% dari target yang direncanakan sebesar Rp272,6 triliun. Adapun penanaman modal dalam negeri (PMDN) tercatat sebesar Rp60,6 triliun dari target sebesar Rp117,7 triliun atau sekitar 51,5%. Melihat tren tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Chatib Basri menyatakan optimistis target realisasi investasi sebesar Rp390,3 triliun bisa terpenuhi pada tahun ini.
Sebelumnya, beberapa lembaga keuangan internasional meragukan realisasi investasi asing di Indonesia bakal tercapai menyusul pelemahan kondisi perekonomian global. Memang, faktanya investasi asing dalam enam bulan belakangan ini sedikit mengalami pelambatan. Hal itu diakui pihak BKPM sebagai pengaruh dari kondisi perekonomian dunia yang masih suram. ”Investasi PMA masih di bawah target, ini karena pengaruh global,” tegas Chatib Basri saat menjelaskan perkembangan investasi di Indonesia kemarin.
Yang menarik dicermati dalam perkembangan realisasi investasi tersebut adalah persebaran berdasarkan wilayah. Ternyata, porsi realisasi investasi di luar Pulau Jawa sedikit mengalami penurunan dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu dari 46,1% turun menjadi 43,2% atau sebesar Rp83,3 triliun. Namun, bila ditinjau dari sisi nilai, realisasi investasi mengalami pertumbuhan signifikan dari senilai Rp68,3 triliun menjadi sebesar Rp83,3 triliun.
Sementara itu, porsi realisasi investasi di Pulau Jawa tercatat sebesar Rp109,5 triliun pada semester pertama tahun ini. Berangkat dari perkembangan realisasi investasi tersebut, Chatib Basri yang juga menjabat sebagai menteri keuangan menyatakan tak perlu ada kekhawatiran target pertumbuhan perekonomian nasional yang dipatok sekitar 6,3% tidak tercapai meski Bank Dunia telah mengoreksi pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi 5,9% dan Bank Indonesia (BI) yang memprediksi maksimal perekonomian domestik hanya tumbuh 6,1% hingga 6,2%.
Selain itu, pertumbuhan perekonomian nasional tetap bertumpu pada konsumsi di dalam negeri yang masih tinggi. Meski demikian, pemerintah mengakui risiko inflasi pascakebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi memang bisa menjadi kerikil kecil. Hanya saja, pemerintah memprediksi risiko inflasi tersebut hanya akan dirasakan pada bulan berjalan ini (Juli), setelah itu kondisinya akan normal kembali. Walau pemerintah optimistis pertumbuhan perekonomian berjalan mulus, jangan sampai terlena.
Beberapa perkembangan terakhir ini perlu dicermati, terutama langkah BI berkaitan dengan perkembangan suku bunga acuan atau BI Rate. Dalam dua bulan terakhir ini, bank sentral di bawah kepemimpinan Agus Martowardojo tercatat sudah dua kali menaikkan BI Rateberturut-turut. Kenaikan suku bunga acuan tersebut ditujukan untuk mengerem laju nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah, mengantisipasi lonjakan angka inflasi menyusul kenaikan harga BBM bersubsidi.
Namun, fakta lapangan rupiah tak tertolong, bahkan terus bertengger di level psikologis atau di atas Rp10.000 per USD1. Sebagai konsekuensi dari kenaikan suku bunga acuan tersebut, kalangan perbankan serta-merta akan menyesuaikan suku bunga kredit. Sebaliknya, bila BI Rateturun, perbankan cenderung menahan diri untuk mengotak-atik suku bunga kredit.
Para bankir akan melakukan wait and seeyang membutuhkan waktu cukup panjang. Tindakan tersebut sudah pasti berdampak pada perekonomian nasional, terutama pada sektor riil. Hal ini perlu segera mendapat perhatian pemerintah sebelum merepotkan dunia usaha sebagai motor pertumbuhan perekonomian nasional, yang ditandai dengan kenaikan suku bunga kredit perbankan yang tidak bersahabat.
(nfl)