Negara tidak boleh takluk

Senin, 22 Juli 2013 - 11:40 WIB
Negara tidak boleh takluk
Negara tidak boleh takluk
A A A
Semakin hari korupsi semakin tidak bisa dikendalikan lantaran dilakukan dengan terencana, sistematis, berjamaah, dan masif. Korupsi telah menjadi epidemi yang amat membahayakan; tidak hanya eksis di pusat pemerintahan, tetapi sudah mewabah ke daerah tanpa bisa dibendung.

Perlu tindakan ekstra untuk membuat koruptor jera dan menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara. Peristiwa yang lagi-lagi menimbulkan silang pendapat soal keberadaan koruptor mencuat setelah kerusuhan narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan.

Ada napi yang menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99/ 2012 (PP 99/2012) tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP 99/ 2012 mengatur pemberian remisi bagi napi korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,

harus memenuhi persyaratan tertentu. Protes dan keberatan yang bermunculan dari LP tidak boleh dilihat secara sempit dengan mengaitkannya sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kita juga perlu mengapresiasi bahwa para penjahat yang diberi syarat khusus untuk mendapatkan remisi, juga pelanggar HAM yang cukup serius.

Bukan Diskriminasi

Syarat yang harus dipenuhi agar bisa diberi remisi, antara lain mau bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Syarat ini seharusnya dipandang sebagai bagian integral bahwa kejahatan korupsi, teroris, atau narkoba yang dilakukannya sebagai pelanggaran HAM yang perlu diseriusi.

Siapa pun rasanya setuju, koruptor, teroris, dan pedagang narkoba adalah musuh rakyat dan negara yang perlu mendapat hukuman setimpal. Jikapun konsep LP sebagai pembinaan agar bisa diterima masyarakat setelah menjalani hukuman, tidak berarti mengabaikan akibat dari kejahatan berat yang dilakukannya. Betapa lucu jika menyebut PP 99/2012 mendistorsi putusan hakim, padahal vonis penjara yang dijatuhkan hakim tidak diubah sama sekali.

PP 99/2012 hanya memberi syarat tertentu bagi napi kejahatan tertentu untuk memperoleh remisi. Persyaratan khusus dalam PP 99/ 2012 untuk mendapatkan remisi bagi pelaku kejahatan tertentu, tidak membuat atau menambah hukuman yang dijatuhkan hakim. Perdebatan ini akan terus mengemuka jika tidak menyamakan persepsi, bahwa korupsi, terorisme, dan kejahatan narkoba harus diperangi secara serius karena bisa meruntuhkan perekonomian negara, menghancurkan nilainilai kemanusiaan, dan merusak mental anak bangsa.

Begitu pula soal diskriminasi dalam pemberian remisi, juga tidak bisa diterima. Pasalnya, indikator terpenting atas terjadinya perlakuan diskriminasi dalam pemberian remisi tidak diukur pada jenis kejahatannya, tetapi pada perlakuan berbeda karena SARA. PP 99/2012 merupakan dukungan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, sedangkan syarat khusus mendapatkan remisi tidak mengandung unsur SARA.

Perang terhadap koruptor tidak akan pernah kita menangkan jika masih ada pemikiran untuk membuat koruptor merasa enak menikmati hasil korupsinya. Tidak pantas mendukung koruptor agar mudah mendapat pengurusan hukuman. Aspirasi koruptor yang meminta mencabut PP 99/2012 tetap dihargai, tetapi tidak berarti secara sertamerta memberikan toleransi tanpa mempertimbangkan rasa keadilan rakyat yang dicederai oleh koruptor.

Enaknya Koruptor

Perlawanan hukum para terpidana dengan ancaman terselubung akan pecah kerusuhan di berbagai LP, tidak boleh membuat pemerintah ragu apalagi kalah. Pemerintah harus tetap menjaga dan menegakkan PP 99/2012 sebelum ada putusan hukum yang menyatakan tidak boleh dilaksanakan. Saat ini sejumlah advokat mengajukan uji materi PP 99/2012 terhadap UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan, ke Mahkamah Agung.

Penerbitan PP 99/2012 tidaklah serta-merta, tetapi sebagai apresiasi kegeraman publik atas rendahnya hukuman terpidana korupsi. Kenapa harus diberi kemudahan padahal hukumannya sudah rendah. Sebelum berlaku PP 99/2012, terpidana korupsi hanya menjalani hukuman tidak lebih dari setengah dari vonis penjara yang dijatuhkan hakim. Bahkan, putusan membayar uang pengganti sejumlah yang dikorupsi, atau membayar denda, tidak dipenuhi terpidana.

Mereka lebih memilih dipenjara ketimbang membayar denda dan mengembalikan uang yang dikorup, sebab nantinya akan diberi kemudahan pengurangan hukuman (remisi). Setelah keluar penjara yang begitu singkat, para koruptor akan menikmati kekayaan hasil korupsinya. Bagi koruptor, penjara cuma tempat persinggahan, sekadar tempat melepas lelah setelah leluasa mencoleng uang rakyat.

Penjara hanya dijadikan tempat menikmati atau sedikit berbagi hasil korupsi dengan oknum aparat penjara, agar bisa mendapat remisi. Kondisi tersebut tentu saja mengoyak rasa keadilan rakyat, sehingga korupsi tidak bisa lepas dari pelanggaran HAM, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Uang negara yang dikorup seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur jalan, gedung sekolah, atau membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat miskin.

Inilah latar belakang pengetatan remisi bagi terpidana korupsi, sekaligus jawaban atas kegeraman publik. Jikapun ada perlawanan politik atau hukum terhadap PP, itu sah saja dalam sebuah negara demokrasi. Tetapi tidak berarti negara akan takluk dengan mengabaikan rasa keadilan rakyat. Maka itu, kita patut mendukung upaya pemiskinan koruptor dengan menerapkan UU Pencucian Uang dengan menyita harta yang diduga hasil korupsi.

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45 Makassar
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0789 seconds (0.1#10.140)