Menengok kesiapan publik menghadapi pemilu
A
A
A
Sangat beruntung penulis memiliki tetangga seorang peneliti di lembaga konsultan politik. Melalui beliau, warga di lingkungan kami memiliki tempat untuk bertanya mengenai seluk-beluk pemilihan umum, baik pilkada maupun pemilihan legislatif, juga pemilu presiden yang akan berlangsung tahun depan.
Tak hanya soal teknis, sambil nongkrong di pos ronda, warga kami juga bisa berdiskusi dengannya mengenai tingkah polah serta sisi-sisi negatif para politikus. Tentu saja kini kami juga jadi tahu persis cara-cara tak elok yang acapkali dilakukan seseorang dan parpol yang ngebet berkuasa.
Dari edukasi secara nonformal tersebut, warga mendapatkan banyak informasi yang akan sangat berguna sebagai pemandu kala tahun depan harus menentukan pilihan politiknya pada Pemilu 2014.
Kami tinggal di sebuah perumahan kelas menengah di daerah Depok, pinggiran Jakarta. Rata-rata warga adalah lulusan sarjana dan memiliki pekerjaan dan pendapatan tetap. Bisa dipastikan pula, mereka memiliki kemampuan akses informasi yang sangat memadai.
Untuk berkomunikasi di antara warga, kami bahkan telah lama menggunakan mailing list dan kini juga memanfaatkan aplikasi seperti BlackBerry Messenger serta WhatsApp.
Meski kami sudah sering ngobrol dan diskusi untuk memahami mekanisme pemilu dan dinamika politik yang terjadi, tetap saja masih banyak yang belum kami mengerti. Tingkah polah dan akrobat politisi yang tersaji di media massa selalu membawa kejutan baru. Misalnya saja bagaimana bisa seorang ketua parpol berhaluan agama justru menjadi tersangka mengatur tindak korupsi.
Atau, seorang politisi yang datang entah dari mana justru dicalonkan parpol untuk jadi gubernur suatu provinsi, sekaligus menyingkirkan kandidat yang sudah dikenal bereputasi baik oleh publik setempat. Ada juga pengusaha yang bereputasi kurang baik justru dicalonkan sebagai presiden.
Intinya, dunia politik tetap merupakan dunia yang gelap bagi kami. Nah, pertanyaannya, jika kami yang sudah beruntung punya tetangga istimewa itu pun tetap kebingungan, bagaimana dengan masyarakat di pelosok-pelosok daerah yang tak seberuntung kami yang tinggal di pinggiran Ibu Kota ini? Alangkah apesnya warga negara yang masih tertinggal dalam tingkat pendidikan dan akses ke sumber dan media informasi.
Padahal, ketika saat ini publik belum juga memahami sepenuhnya makna pemilu bagi mereka, pada saat yang sama politisi dan partainya masing-masing sudah jauhjauh hari bersiap diri.
Para politisi sudah bersolek dan merancang strategi, termasuk bagaimana cari dana untuk kampanye. Soal ini pun kita sudah bisa menyimak saban hari melalui media massa. Mereka pakai berbagai cara, tidak terkecuali dengan cara kriminal. Jika untuk mengumpulkan dana modal kampanye saja main patgulipat, apakah mungkin mereka tidak akan mencoba mengelabui publik pemilik suara setiap kali ada kesempatan?
Hingga saat ini, selain edukasi dengan tetangga istimewa kami itu, tak ada sama sekali proses edukasi politik yang dilakukan ke kami. Ironis, aktor utama dalam pemilu seharusnya publik yang suara atau hak pilihnya menjadikan makna pemilihan umum terpenuhi. Politisi atau parpol hanya datang setiap kali mau pilkada atau pemilu, hanya untuk meminta kami memilih mereka.
Sementara tak ada penjelasan mendalam mengapa harus pilih mereka, alih-alih menjelaskan mengapa harus ada pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kepanjangan tangan di daerah tak pernah memberikan edukasi. Lembaga swadaya masyarakat pun tak ada yang datang. Institusi lain yang mungkin punya kompetensi untuk memberikan edukasi politik ke masyarakat seperti unsur-unsur di perguruan tinggi ternyata setali tiga uang.
Para pakar lebih banyak bicara di televisi sebagai komentator peristiwa politik untuk menambah “bumbu” berita. Publik benar-benar dibiarkan sendiri dengan kegamangan dan kebutaannya dalam menghadapi pemilu. Mereka harus menerima nasib harus berhadapan dengan politikus busuk, calo politik, koruptor haus kekuasaan, dan segala rupa tipu muslihat berkedok demokrasi.
Karena itu, sungguh suatu upaya yang sangat baik manakala ada lembaga semacam Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan daftar politikus yang tak pantas dipilih. Sementara itu, media massa sebagai pilar keempat demokrasi, dengan segala kemampuannya dalam memublikasi materi edukasi, ternyata kurang tanggap dengan kebutuhan publik ini.
Media lebih cenderung menyukai memberitakan ingar-bingar dunia politik menjelang pemilu, tanpa menyertainya dengan materi edukasi. Bagi publik terpelajar mungkin bisa belajar dari berita yang tersaji, namun bagi kaum awam sepertinya akan tetap sulit menangkap pesan di balik berita.
Meski partai politik juga pihak yang paling berkepentingan untuk mengedukasi publik, jelas tak mungkin kita bisa berharap kepada mereka. Jangankan kepada publik luas, kepada konstituen sendiri saja tak memberikan. Parpol jelas terlihat sibuk sendiri mempersiapkan langkah ke pemilu. Maka itu, rata-rata orang tak tahu partai ini itu sebenarnya siapa dan tujuannya apa?
Tahutahu muncul, politisinya “mengoceh” mengklaim mewadahi aspirasi publik, dan merasa berhak mencalonkan seseorang sebagai presiden dan hendak ikut mengatur negara. Dengan kenyataan demografi publik Indonesia yang belum merata tingkat pendidikan dan pemahaman politiknya, Pemilu 2014 sepertinya tetap akan menjadi pemilu yang tak berkualitas. Publik tetap hanya akan menjadi bulan-bulanan politikus dan makelar politik.
Sebagai pemilik suara, mereka hanya akan dimanipulasi, dijebak, ditipu, dan dikibuli. Pemilu lagi-lagi hanya akan menjadi hajatan formalitas demokrasi yang rutin, belum akan tercapai esensi sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
Karena itu, mari kita bersiap memiliki presiden dan para wakil rakyat baru yang sesungguhnya bukan dipilih berdasarkan kecerdasan politik rakyat. Kita pun pada akhirnya akan menanggung berbagai konsekuensinya kemudian.
Husni Arifin
Praktisi public relation
Tak hanya soal teknis, sambil nongkrong di pos ronda, warga kami juga bisa berdiskusi dengannya mengenai tingkah polah serta sisi-sisi negatif para politikus. Tentu saja kini kami juga jadi tahu persis cara-cara tak elok yang acapkali dilakukan seseorang dan parpol yang ngebet berkuasa.
Dari edukasi secara nonformal tersebut, warga mendapatkan banyak informasi yang akan sangat berguna sebagai pemandu kala tahun depan harus menentukan pilihan politiknya pada Pemilu 2014.
Kami tinggal di sebuah perumahan kelas menengah di daerah Depok, pinggiran Jakarta. Rata-rata warga adalah lulusan sarjana dan memiliki pekerjaan dan pendapatan tetap. Bisa dipastikan pula, mereka memiliki kemampuan akses informasi yang sangat memadai.
Untuk berkomunikasi di antara warga, kami bahkan telah lama menggunakan mailing list dan kini juga memanfaatkan aplikasi seperti BlackBerry Messenger serta WhatsApp.
Meski kami sudah sering ngobrol dan diskusi untuk memahami mekanisme pemilu dan dinamika politik yang terjadi, tetap saja masih banyak yang belum kami mengerti. Tingkah polah dan akrobat politisi yang tersaji di media massa selalu membawa kejutan baru. Misalnya saja bagaimana bisa seorang ketua parpol berhaluan agama justru menjadi tersangka mengatur tindak korupsi.
Atau, seorang politisi yang datang entah dari mana justru dicalonkan parpol untuk jadi gubernur suatu provinsi, sekaligus menyingkirkan kandidat yang sudah dikenal bereputasi baik oleh publik setempat. Ada juga pengusaha yang bereputasi kurang baik justru dicalonkan sebagai presiden.
Intinya, dunia politik tetap merupakan dunia yang gelap bagi kami. Nah, pertanyaannya, jika kami yang sudah beruntung punya tetangga istimewa itu pun tetap kebingungan, bagaimana dengan masyarakat di pelosok-pelosok daerah yang tak seberuntung kami yang tinggal di pinggiran Ibu Kota ini? Alangkah apesnya warga negara yang masih tertinggal dalam tingkat pendidikan dan akses ke sumber dan media informasi.
Padahal, ketika saat ini publik belum juga memahami sepenuhnya makna pemilu bagi mereka, pada saat yang sama politisi dan partainya masing-masing sudah jauhjauh hari bersiap diri.
Para politisi sudah bersolek dan merancang strategi, termasuk bagaimana cari dana untuk kampanye. Soal ini pun kita sudah bisa menyimak saban hari melalui media massa. Mereka pakai berbagai cara, tidak terkecuali dengan cara kriminal. Jika untuk mengumpulkan dana modal kampanye saja main patgulipat, apakah mungkin mereka tidak akan mencoba mengelabui publik pemilik suara setiap kali ada kesempatan?
Hingga saat ini, selain edukasi dengan tetangga istimewa kami itu, tak ada sama sekali proses edukasi politik yang dilakukan ke kami. Ironis, aktor utama dalam pemilu seharusnya publik yang suara atau hak pilihnya menjadikan makna pemilihan umum terpenuhi. Politisi atau parpol hanya datang setiap kali mau pilkada atau pemilu, hanya untuk meminta kami memilih mereka.
Sementara tak ada penjelasan mendalam mengapa harus pilih mereka, alih-alih menjelaskan mengapa harus ada pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kepanjangan tangan di daerah tak pernah memberikan edukasi. Lembaga swadaya masyarakat pun tak ada yang datang. Institusi lain yang mungkin punya kompetensi untuk memberikan edukasi politik ke masyarakat seperti unsur-unsur di perguruan tinggi ternyata setali tiga uang.
Para pakar lebih banyak bicara di televisi sebagai komentator peristiwa politik untuk menambah “bumbu” berita. Publik benar-benar dibiarkan sendiri dengan kegamangan dan kebutaannya dalam menghadapi pemilu. Mereka harus menerima nasib harus berhadapan dengan politikus busuk, calo politik, koruptor haus kekuasaan, dan segala rupa tipu muslihat berkedok demokrasi.
Karena itu, sungguh suatu upaya yang sangat baik manakala ada lembaga semacam Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan daftar politikus yang tak pantas dipilih. Sementara itu, media massa sebagai pilar keempat demokrasi, dengan segala kemampuannya dalam memublikasi materi edukasi, ternyata kurang tanggap dengan kebutuhan publik ini.
Media lebih cenderung menyukai memberitakan ingar-bingar dunia politik menjelang pemilu, tanpa menyertainya dengan materi edukasi. Bagi publik terpelajar mungkin bisa belajar dari berita yang tersaji, namun bagi kaum awam sepertinya akan tetap sulit menangkap pesan di balik berita.
Meski partai politik juga pihak yang paling berkepentingan untuk mengedukasi publik, jelas tak mungkin kita bisa berharap kepada mereka. Jangankan kepada publik luas, kepada konstituen sendiri saja tak memberikan. Parpol jelas terlihat sibuk sendiri mempersiapkan langkah ke pemilu. Maka itu, rata-rata orang tak tahu partai ini itu sebenarnya siapa dan tujuannya apa?
Tahutahu muncul, politisinya “mengoceh” mengklaim mewadahi aspirasi publik, dan merasa berhak mencalonkan seseorang sebagai presiden dan hendak ikut mengatur negara. Dengan kenyataan demografi publik Indonesia yang belum merata tingkat pendidikan dan pemahaman politiknya, Pemilu 2014 sepertinya tetap akan menjadi pemilu yang tak berkualitas. Publik tetap hanya akan menjadi bulan-bulanan politikus dan makelar politik.
Sebagai pemilik suara, mereka hanya akan dimanipulasi, dijebak, ditipu, dan dikibuli. Pemilu lagi-lagi hanya akan menjadi hajatan formalitas demokrasi yang rutin, belum akan tercapai esensi sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
Karena itu, mari kita bersiap memiliki presiden dan para wakil rakyat baru yang sesungguhnya bukan dipilih berdasarkan kecerdasan politik rakyat. Kita pun pada akhirnya akan menanggung berbagai konsekuensinya kemudian.
Husni Arifin
Praktisi public relation
(maf)