Operasi pasar, raskin dan subsidi
A
A
A
Menjelang Ramadan, harga sejumlah kebutuhan pokok sudah melonjak. Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan penuh berkah bagi umat Islam ini selalu beriringan dengan harga-harga yang melambung.
Di berbagai daerah harga beras, gula, telur, daging (ayam dan sapi) dan kebutuhan pokok lain terus melonjak. Untuk mengendalikan harga, mulai 3 Juli lalu Kementerian Perdagangan dan Bulog menggelar operasi pasar beras di lima titik wilayah di DKI Jakarta. Operasi pasar beras segera dilakukan di wilayah lain. Bekerja sama dengan pemerintah daerah, Bulog juga menggelar pasar murah di berbagai daerah.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yakin dengan tambahan pasokan beras lewat operasi pasar harga akan stabil. Akankah ini menjadi kenyataan? Secara teori, pasokan dan permintaan yang seimbang akan membuat harga stabil. Tetapi itu hanya ada di teori. Ada tiga faktor yang membuat teori itu tidak berlaku. Pertama, keseimbangan supply and demand mensyaratkan kelancaran distribusi. Sumbatan distribusi membuat harga mudah melentik tinggi.
Kedua, distribusi akan lancar apabila pemerintah memiliki informasi memadai tentang harga, pergerakan barang dan gudang. Ketiga, supply-demand yang seimbang tak berarti apa-apa apabila struktur pasar tak sehat dan ada posisi dominan. Selain itu, operasi pasar tak lebihtukang pemadam kebakaran. Apinya bisa saja mati, tetapi akar sumber api tak tersentuh. Sejarah perberasan mengajarkan, operasi pasar beras adalah instrumen jangka pendek.
Tujuannya memengaruhi harga, tapi efektivitas dalam memengaruhi harga beras tergantung banyak hal: stok pedagang; stok pemerintah; volume, jenis dan harga beras yang digerojog di pasar; dan psikologi publik. Kini cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog 500.000 ton, dan stok beras di Bulog 2,1 juta ton. Masalahnya, dengan satu jenis beras kualitas medium di Bulog dan stok lama, mustahil operasi pasar bisa meredam harga seluruh jenis beras di pasar.
Di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, ada 17 jenis beras, sedangkan di kotakota lain ada 3-5 jenis beras. Di zaman Presiden Soeharto, operasi pasar menuai kritik. Makanya, sejak 1998 operasi pasar beras ditanggalkan, lalu diganti pendekatan subsidi terarah (self food targeting) lewat beras untuk rakyat miskin atau raskin. Tapi sejak Presiden SBY, beleid operasi pasar kembali dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga.
SBY lupa, operasi pasar beras itu tidak adil karena bukan hanya rakyat miskin, tapi kelompok kaya dan pedagang/ pengecer juga bisa menikmatinya. Kelompok terakhir ini bisa membeli dan menyimpan beras dalam jumlah besar. Pemerintah panik dan menutup mata. Pemerintah lebih percaya argumen IMF dan Bank Dunia: beras biang spiral inflasi dan kemiskinan. Operasi pasar beras akan efektif kalau volume beras yang digerejog ke pasar tak terbatas jumlahnya dan siapa pun boleh membelinya, baik konsumen, pedagang atau pengecer.
Apa tidak terjadi moral hazard? Jika pasar diisi sampai jenuh, kecil peluang praktik penyalahgunaan. Tapi, cara ini memerlukan biaya besar karena butuh stok beras yang besar pula. Dan yang lebih penting, cara ini tidak adil karena tidak jelas pemerintah mau membantu kelompok mana: kelompok miskin, kelompok kaya, atau keduaduanya?
Saat anggaran terbatas seharusnya pemerintah merancang kebijakan yang tepat dan terfokus. Di saat indikator makroekonomi biru, per Maret 2013 jumlah warga miskin masih 28,07 juta jiwa (11,3%), pengangguran bejibun, dan kesenjangan kian melebar. Kesenjangan yang tecermin dari Indeks Gini mencapai 0,41 pada 2012.
Artinya, ketimpangan memasuki skala medium. Ini jadi salah satu penyebab indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia tidak naik signifikan. Seharusnya bukan operasi pasar beras yang diperbesar, tapi volume raskin. Setelah ada raskin, seharusnya tak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya berlaku, terjadi double standard: subsidi umum dan subsidi terarah. Opsi penghapusan operasi pasar harus dibarengi dengan penyediaan data rumah tangga sasaran penerima raskin yang akurat agar distribusi dan penyaluran tak mengundang moral hazard.
Selama ini penyaluran raskin banyak melenceng. Survei penyaluran Raskin oleh BPS, Januari-Maret 2013, menemukan bahwa raskin dinikmati 31,23 juta rumah tangga. Padahal, sasaran rumah tangga penerima raskin hanya 15,5 juta. Artinya, separuh penerima itu tak berhak. Dari lima lapisan masyarakat versi BPS, lapisan 1 atau termiskin yang berjumlah 12,5 juta rumah tangga seharusnya semua menerima Raskin.
Kenyataannya, hanya 9,41 juta rumah tangga (75%) yang menerima dengan jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92% dari seharusnya (15 kg). Sebanyak 3 juta rumah tangga penerima raskin sisanya seharusnya di lapisan 2. Kenyataannya, di lapisan ini penerima raskin berjumlah 8,4 juta rumah tangga atau 66,27% dari jumlah rumah tangga di lapisan 2 dengan jatah 13,31 kg.
Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru kebagian raskin: 6,85 juta rumah tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6% dari lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari lapisan 5). Melencengnya penyaluran raskin dan pelbagai program antikemiskinan lain inilah yang membuat penurunan angka kemiskinan berjalan lambat.
Dari tiga strategi perlindungan sosial, raskin termasuk pendekatan yang dianjurkan karena berupaya mencegah munculnya risiko (ex-ante) yang dihadapi warga miskin. Kenaikan harga kebutuhan pokok akan memicu inflasi. Ini akan menggerogoti pendapatan riil warga. Kelompok miskin yang porsi pengeluaran pangannya cukup besar, antara 60-75%, pasti menderita. Di masa lalu keluarga penerima raskin mendapat 20 kg per bulan. Ini bisa memenuhi 40–60% dari total kebutuhan beras bulanan.
Subsidi ini memungkinkan mereka mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein. Mereka tidak banyak menyunat biaya pendidikan dan kesehatan untuk dialokasikan buat pangan. Raskin memiliki kaitan kuat dengan program pengembangan SDM (horizontal integration) dan program ketahanan pangan (vertical integration).
Sebagai program yang bersifat transfer energi, keberhasilan raskin akan membantu keberhasilan program lain, seperti peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas SDM. Jadi, Raskin bisa dipandang sebagai investasi SDM yang lebih tahan berbagai risiko. Raskin juga bisa dipandang sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli dari produksi petani kecil yang rentan fluktuasi harga saat panen.
Pembelian hasil produksi petani lewat harga yang ditetapkan pemerintah (HPP) merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mendapat insentif. Jadi, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dengan pemberian subsidi beras murah lewat raskin pada kelompok miskin dan rawan pangan. Saatnya mengevaluasi ulang operasi pasar beras.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi Negeri Beras
Di berbagai daerah harga beras, gula, telur, daging (ayam dan sapi) dan kebutuhan pokok lain terus melonjak. Untuk mengendalikan harga, mulai 3 Juli lalu Kementerian Perdagangan dan Bulog menggelar operasi pasar beras di lima titik wilayah di DKI Jakarta. Operasi pasar beras segera dilakukan di wilayah lain. Bekerja sama dengan pemerintah daerah, Bulog juga menggelar pasar murah di berbagai daerah.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yakin dengan tambahan pasokan beras lewat operasi pasar harga akan stabil. Akankah ini menjadi kenyataan? Secara teori, pasokan dan permintaan yang seimbang akan membuat harga stabil. Tetapi itu hanya ada di teori. Ada tiga faktor yang membuat teori itu tidak berlaku. Pertama, keseimbangan supply and demand mensyaratkan kelancaran distribusi. Sumbatan distribusi membuat harga mudah melentik tinggi.
Kedua, distribusi akan lancar apabila pemerintah memiliki informasi memadai tentang harga, pergerakan barang dan gudang. Ketiga, supply-demand yang seimbang tak berarti apa-apa apabila struktur pasar tak sehat dan ada posisi dominan. Selain itu, operasi pasar tak lebihtukang pemadam kebakaran. Apinya bisa saja mati, tetapi akar sumber api tak tersentuh. Sejarah perberasan mengajarkan, operasi pasar beras adalah instrumen jangka pendek.
Tujuannya memengaruhi harga, tapi efektivitas dalam memengaruhi harga beras tergantung banyak hal: stok pedagang; stok pemerintah; volume, jenis dan harga beras yang digerojog di pasar; dan psikologi publik. Kini cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog 500.000 ton, dan stok beras di Bulog 2,1 juta ton. Masalahnya, dengan satu jenis beras kualitas medium di Bulog dan stok lama, mustahil operasi pasar bisa meredam harga seluruh jenis beras di pasar.
Di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, ada 17 jenis beras, sedangkan di kotakota lain ada 3-5 jenis beras. Di zaman Presiden Soeharto, operasi pasar menuai kritik. Makanya, sejak 1998 operasi pasar beras ditanggalkan, lalu diganti pendekatan subsidi terarah (self food targeting) lewat beras untuk rakyat miskin atau raskin. Tapi sejak Presiden SBY, beleid operasi pasar kembali dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga.
SBY lupa, operasi pasar beras itu tidak adil karena bukan hanya rakyat miskin, tapi kelompok kaya dan pedagang/ pengecer juga bisa menikmatinya. Kelompok terakhir ini bisa membeli dan menyimpan beras dalam jumlah besar. Pemerintah panik dan menutup mata. Pemerintah lebih percaya argumen IMF dan Bank Dunia: beras biang spiral inflasi dan kemiskinan. Operasi pasar beras akan efektif kalau volume beras yang digerejog ke pasar tak terbatas jumlahnya dan siapa pun boleh membelinya, baik konsumen, pedagang atau pengecer.
Apa tidak terjadi moral hazard? Jika pasar diisi sampai jenuh, kecil peluang praktik penyalahgunaan. Tapi, cara ini memerlukan biaya besar karena butuh stok beras yang besar pula. Dan yang lebih penting, cara ini tidak adil karena tidak jelas pemerintah mau membantu kelompok mana: kelompok miskin, kelompok kaya, atau keduaduanya?
Saat anggaran terbatas seharusnya pemerintah merancang kebijakan yang tepat dan terfokus. Di saat indikator makroekonomi biru, per Maret 2013 jumlah warga miskin masih 28,07 juta jiwa (11,3%), pengangguran bejibun, dan kesenjangan kian melebar. Kesenjangan yang tecermin dari Indeks Gini mencapai 0,41 pada 2012.
Artinya, ketimpangan memasuki skala medium. Ini jadi salah satu penyebab indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia tidak naik signifikan. Seharusnya bukan operasi pasar beras yang diperbesar, tapi volume raskin. Setelah ada raskin, seharusnya tak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya berlaku, terjadi double standard: subsidi umum dan subsidi terarah. Opsi penghapusan operasi pasar harus dibarengi dengan penyediaan data rumah tangga sasaran penerima raskin yang akurat agar distribusi dan penyaluran tak mengundang moral hazard.
Selama ini penyaluran raskin banyak melenceng. Survei penyaluran Raskin oleh BPS, Januari-Maret 2013, menemukan bahwa raskin dinikmati 31,23 juta rumah tangga. Padahal, sasaran rumah tangga penerima raskin hanya 15,5 juta. Artinya, separuh penerima itu tak berhak. Dari lima lapisan masyarakat versi BPS, lapisan 1 atau termiskin yang berjumlah 12,5 juta rumah tangga seharusnya semua menerima Raskin.
Kenyataannya, hanya 9,41 juta rumah tangga (75%) yang menerima dengan jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92% dari seharusnya (15 kg). Sebanyak 3 juta rumah tangga penerima raskin sisanya seharusnya di lapisan 2. Kenyataannya, di lapisan ini penerima raskin berjumlah 8,4 juta rumah tangga atau 66,27% dari jumlah rumah tangga di lapisan 2 dengan jatah 13,31 kg.
Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru kebagian raskin: 6,85 juta rumah tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6% dari lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari lapisan 5). Melencengnya penyaluran raskin dan pelbagai program antikemiskinan lain inilah yang membuat penurunan angka kemiskinan berjalan lambat.
Dari tiga strategi perlindungan sosial, raskin termasuk pendekatan yang dianjurkan karena berupaya mencegah munculnya risiko (ex-ante) yang dihadapi warga miskin. Kenaikan harga kebutuhan pokok akan memicu inflasi. Ini akan menggerogoti pendapatan riil warga. Kelompok miskin yang porsi pengeluaran pangannya cukup besar, antara 60-75%, pasti menderita. Di masa lalu keluarga penerima raskin mendapat 20 kg per bulan. Ini bisa memenuhi 40–60% dari total kebutuhan beras bulanan.
Subsidi ini memungkinkan mereka mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein. Mereka tidak banyak menyunat biaya pendidikan dan kesehatan untuk dialokasikan buat pangan. Raskin memiliki kaitan kuat dengan program pengembangan SDM (horizontal integration) dan program ketahanan pangan (vertical integration).
Sebagai program yang bersifat transfer energi, keberhasilan raskin akan membantu keberhasilan program lain, seperti peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas SDM. Jadi, Raskin bisa dipandang sebagai investasi SDM yang lebih tahan berbagai risiko. Raskin juga bisa dipandang sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli dari produksi petani kecil yang rentan fluktuasi harga saat panen.
Pembelian hasil produksi petani lewat harga yang ditetapkan pemerintah (HPP) merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mendapat insentif. Jadi, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dengan pemberian subsidi beras murah lewat raskin pada kelompok miskin dan rawan pangan. Saatnya mengevaluasi ulang operasi pasar beras.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi Negeri Beras
(nfl)