Hak napi = HAM
A
A
A
Apresiasi kepada Presiden SBY patut disampaikan karena telah menegaskan tentang hak dasar napi selepas peristiwa LP Tanjung Gusta dan memerintahkan jajaran kementeriannya untuk melaksanakan dan melindungi hak dasar tersebut.
Penegasan dan perintah tersebut sejalan dengan ketentuan di dalam Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Para Pelanggar Hukum (Tahun 1955) yang telah diratifikasi dan diwujudkan dalam UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Merujuk pada Bab XA UUD 1945, penegasan dan perintah Presiden SBY konsisten dengan hak-hak konstitusional setiap warga negara, termasuk tersangka, terdakwa, dan narapidana yang seharusnya dipahami secara benar oleh para pembantunya.
Jika pun ada pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan pada ketentuan undang-undang atau putusan pengadilan dan tidak boleh didasarkan atas ketentuan di bawah undang-undang atau hanya direktif sematamata dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri (permen) atau peraturan Mahkamah Agung (perma).
Hal ini telah diatur di dalam UUD 1945 (Pasal 28 J) dan UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Perundangundangan, begitu pula menurut doktrin hukum perundangundangan. Terkait PP Nomor 99/2012 Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ada dua kekeliruan hukum, pertama, bahwa hak warga binaan sesuai namanya, adalah hak asasi yang masih tersisa pada setiap warga binaan sebagaimana telah diatur dalam UPPU Pemasyarakatan dan PP Nomor Nomor 32/1999.
PP Tahun 1999 sebagai pelaksanaan UU Pemasyarakatan 1995 telah sejalan dengan ketentuan standard minimum rules for the treatment of offenders yang merupakan hasil Kongres PBB 1955, bahkan telah sejalan dengan ketentuan BAB XA UUD 1945. Kekeliruan kedua, kebijakan pemerintah dalam PP Tahun 2012 tidak memahami makna ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 di satu sisi.
Di sisi lain tidak memahami secara utuh substansi dan posisi ketentuan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 5/2009 dan ketentuan Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi UU Nomor 7/2006.
Kedua konvensi tersebut belum ada undang-undang pelaksanaannya kecuali untuk Protokol Larangan Perdagangan Manusia sehingga ketentuan mengenai syarat justice collaborator (JC) dalam PP Nomor 99/2012 khusus bagi narapidana korupsi dan bagi teroris sertanarapidananarkobaterlalu dini dan tidak ada landasan hukum perundangannya. Selain itu, ketentuan Konvensi PBB tersebut di atas selalu merujuk pada prinsip hukum nasional dan konstitusi Negara peratifikasi sedangkan asas legalitas termasuk asas umum hukum pidana nasional sejak lama.
Kekeliruan hukum ketiga, dari sudut hirarkhi perundangundangan, PP Nomor 99/2012 bertentangan dengan UU Pemasyarakatan 1995 karena substansinya merupakan norma baru yang bertentangan dengan filosofi, tujuan dan misi UU Pemasyarakatan 1995 itu sendiri. Jika pun dikehendaki ada pembatasan, tidak dibenarkan bertentangan dengan Pasal 28 J UUD 1945 yang menegaskan bahwa pembatasan hak asasi hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan tidak boleh dengan peraturan perundangan di bawahnya.
Kekeliruan hukum keempat, bahwa ketentuan memperketat syarat remisi, asimilasi dan bebas bersyarat dengan alasan tindak pidana korupsi, terorisme, narkoba telah menimbulkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat atau korban. Kekeliruan ini menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat sesungguhnya termasuk alasan pemberatan hukuman yang merupakan wewenang (yudikatif) majelis hakim, bukan wewenang kebijakan eksekutif.
PP Nomor 99/2012 secara teleologis dan gramatikal ternyata digunakan hanya untuk “memperpanjang masa hukuman” narapidana korupsi, terorisme dan narkoba bukan untuk menimbulkan efek jera perse.Karena persyaratan ketat dalam peraturan tersebut menambah penderitaan yang tidak perlu dan melampaui batas kemanusiaan yang diakui universal dalam perlakuan terhadap para pelanggar hukum.
Ketentuan justice collaborator sebagai syarat pemberian remisi dan bebas bersyarat terhadap pelaksanaan pidana di Indonesia jelas pelanggaran HAM dan berpotensi terjadi “pemerasan terselubung”. Kekeliruan hukum kelima, bahwa ketentuan justice collaborator dalam PP Nomor 99/2012 merupakan kebijakan keliru dan tidak relevan dengan masa pembinaan warga binaan karena syarat justice collaborator seharusnya bagian dari strategi penyidikan yang bertujuan membongkar organisasi kejahatan dengan kompensasi keringanan hukuman atau pembebasan dari penuntutan.
UU Pemasyarakatan 1995 merupakan lex specialis dari tujuan penghukuman (Pasal10KUHP) jo Pasal 103 KUHP sehingga tidaklah dapat ditetapkan pengaturan yang bersifat “lex specialis” lagi terhadap undang-undang yang bersifat lex specialis. Kebijakan pemerintah menetapkan PP Nomor 99/2012 adalah kewenangan eksekutif yang telah membatasi hak asasi warga binaan yang seharusnya merupakan kewenangan legislatif kecuali dilakukan perubahan terhadap UU Pemasyarakatan terlebih dulu.
Pertentangan nyata dalam suatu peraturan perundangan, apalagi terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah batal demi hukum dan implikasinya adalah pelanggaran terhadap hak sosial, ekonomi, hak politik warga binaan sehingga peraturan tersebut batal demi hukum.
Menurut ahli kepenjaraan, Sheldon Messinger (UC Berkeley), tidak ada satu pun penjara di semua negara yang dapat memperbaiki narapidana. Merujuk pandangan itu, perlu juga dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah apakah kondisi penjara saat ini dapat memperbaiki narapidana menjadi warga yang baik atau menjadi lebih buruk antara lain, isi melebihi kapasitas lembaga sehingga jatah makan seorang napi harus menjadi jatah untuk tiga orang napi atau lebih, belum lagi fasilitas lain di dalam LP.
Saya temukan di Rutan Salemba, para tahanan tidur sambil berdiri karena sesaknya ruangan alias isi melebihi kapasitas; sangat tidak manusiawi bahkan dapat dikatakan negara telah melanggar HAM karena tidak mampu memenuhi standar minimum perlakuan narapidana hasil Kongres PBB 1955.
Kebakaran di LP Tanjung Gusta adalah kulminasi dari keresahan narapidana karena isi melebihi kapasitas dan perlakuan hukum yang tidak manusiawi dari PP 99/2012. Winston Churchill mengatakan bahwa tingkat peradaban suatu bangsa terlihat dari cara perlakuan bangsa tersebut terhadap narapidananya.
Solusi dari masalah ini bukan terletak pada membangun sebanyakbanyak LP, akan tetapi membangun sistem peradilan pidana yang membatasi masuknya perkara ke dalam sistem itu sendiri antara lain membatasi jenis dan jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi.
Perkara pidana ringan diselesaikan melalui “out of court settlement” yang merujuk pada nilai-nilai Pancasila yang dikenal sebagai “restorative justice”. Selain itu meningkatkan pengawasan horizontal dan vertikal terhadap integritas dan profesionalitas petugas LP.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
Penegasan dan perintah tersebut sejalan dengan ketentuan di dalam Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Para Pelanggar Hukum (Tahun 1955) yang telah diratifikasi dan diwujudkan dalam UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Merujuk pada Bab XA UUD 1945, penegasan dan perintah Presiden SBY konsisten dengan hak-hak konstitusional setiap warga negara, termasuk tersangka, terdakwa, dan narapidana yang seharusnya dipahami secara benar oleh para pembantunya.
Jika pun ada pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan pada ketentuan undang-undang atau putusan pengadilan dan tidak boleh didasarkan atas ketentuan di bawah undang-undang atau hanya direktif sematamata dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri (permen) atau peraturan Mahkamah Agung (perma).
Hal ini telah diatur di dalam UUD 1945 (Pasal 28 J) dan UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Perundangundangan, begitu pula menurut doktrin hukum perundangundangan. Terkait PP Nomor 99/2012 Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ada dua kekeliruan hukum, pertama, bahwa hak warga binaan sesuai namanya, adalah hak asasi yang masih tersisa pada setiap warga binaan sebagaimana telah diatur dalam UPPU Pemasyarakatan dan PP Nomor Nomor 32/1999.
PP Tahun 1999 sebagai pelaksanaan UU Pemasyarakatan 1995 telah sejalan dengan ketentuan standard minimum rules for the treatment of offenders yang merupakan hasil Kongres PBB 1955, bahkan telah sejalan dengan ketentuan BAB XA UUD 1945. Kekeliruan kedua, kebijakan pemerintah dalam PP Tahun 2012 tidak memahami makna ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 di satu sisi.
Di sisi lain tidak memahami secara utuh substansi dan posisi ketentuan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 5/2009 dan ketentuan Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi UU Nomor 7/2006.
Kedua konvensi tersebut belum ada undang-undang pelaksanaannya kecuali untuk Protokol Larangan Perdagangan Manusia sehingga ketentuan mengenai syarat justice collaborator (JC) dalam PP Nomor 99/2012 khusus bagi narapidana korupsi dan bagi teroris sertanarapidananarkobaterlalu dini dan tidak ada landasan hukum perundangannya. Selain itu, ketentuan Konvensi PBB tersebut di atas selalu merujuk pada prinsip hukum nasional dan konstitusi Negara peratifikasi sedangkan asas legalitas termasuk asas umum hukum pidana nasional sejak lama.
Kekeliruan hukum ketiga, dari sudut hirarkhi perundangundangan, PP Nomor 99/2012 bertentangan dengan UU Pemasyarakatan 1995 karena substansinya merupakan norma baru yang bertentangan dengan filosofi, tujuan dan misi UU Pemasyarakatan 1995 itu sendiri. Jika pun dikehendaki ada pembatasan, tidak dibenarkan bertentangan dengan Pasal 28 J UUD 1945 yang menegaskan bahwa pembatasan hak asasi hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan tidak boleh dengan peraturan perundangan di bawahnya.
Kekeliruan hukum keempat, bahwa ketentuan memperketat syarat remisi, asimilasi dan bebas bersyarat dengan alasan tindak pidana korupsi, terorisme, narkoba telah menimbulkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat atau korban. Kekeliruan ini menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat sesungguhnya termasuk alasan pemberatan hukuman yang merupakan wewenang (yudikatif) majelis hakim, bukan wewenang kebijakan eksekutif.
PP Nomor 99/2012 secara teleologis dan gramatikal ternyata digunakan hanya untuk “memperpanjang masa hukuman” narapidana korupsi, terorisme dan narkoba bukan untuk menimbulkan efek jera perse.Karena persyaratan ketat dalam peraturan tersebut menambah penderitaan yang tidak perlu dan melampaui batas kemanusiaan yang diakui universal dalam perlakuan terhadap para pelanggar hukum.
Ketentuan justice collaborator sebagai syarat pemberian remisi dan bebas bersyarat terhadap pelaksanaan pidana di Indonesia jelas pelanggaran HAM dan berpotensi terjadi “pemerasan terselubung”. Kekeliruan hukum kelima, bahwa ketentuan justice collaborator dalam PP Nomor 99/2012 merupakan kebijakan keliru dan tidak relevan dengan masa pembinaan warga binaan karena syarat justice collaborator seharusnya bagian dari strategi penyidikan yang bertujuan membongkar organisasi kejahatan dengan kompensasi keringanan hukuman atau pembebasan dari penuntutan.
UU Pemasyarakatan 1995 merupakan lex specialis dari tujuan penghukuman (Pasal10KUHP) jo Pasal 103 KUHP sehingga tidaklah dapat ditetapkan pengaturan yang bersifat “lex specialis” lagi terhadap undang-undang yang bersifat lex specialis. Kebijakan pemerintah menetapkan PP Nomor 99/2012 adalah kewenangan eksekutif yang telah membatasi hak asasi warga binaan yang seharusnya merupakan kewenangan legislatif kecuali dilakukan perubahan terhadap UU Pemasyarakatan terlebih dulu.
Pertentangan nyata dalam suatu peraturan perundangan, apalagi terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah batal demi hukum dan implikasinya adalah pelanggaran terhadap hak sosial, ekonomi, hak politik warga binaan sehingga peraturan tersebut batal demi hukum.
Menurut ahli kepenjaraan, Sheldon Messinger (UC Berkeley), tidak ada satu pun penjara di semua negara yang dapat memperbaiki narapidana. Merujuk pandangan itu, perlu juga dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah apakah kondisi penjara saat ini dapat memperbaiki narapidana menjadi warga yang baik atau menjadi lebih buruk antara lain, isi melebihi kapasitas lembaga sehingga jatah makan seorang napi harus menjadi jatah untuk tiga orang napi atau lebih, belum lagi fasilitas lain di dalam LP.
Saya temukan di Rutan Salemba, para tahanan tidur sambil berdiri karena sesaknya ruangan alias isi melebihi kapasitas; sangat tidak manusiawi bahkan dapat dikatakan negara telah melanggar HAM karena tidak mampu memenuhi standar minimum perlakuan narapidana hasil Kongres PBB 1955.
Kebakaran di LP Tanjung Gusta adalah kulminasi dari keresahan narapidana karena isi melebihi kapasitas dan perlakuan hukum yang tidak manusiawi dari PP 99/2012. Winston Churchill mengatakan bahwa tingkat peradaban suatu bangsa terlihat dari cara perlakuan bangsa tersebut terhadap narapidananya.
Solusi dari masalah ini bukan terletak pada membangun sebanyakbanyak LP, akan tetapi membangun sistem peradilan pidana yang membatasi masuknya perkara ke dalam sistem itu sendiri antara lain membatasi jenis dan jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi.
Perkara pidana ringan diselesaikan melalui “out of court settlement” yang merujuk pada nilai-nilai Pancasila yang dikenal sebagai “restorative justice”. Selain itu meningkatkan pengawasan horizontal dan vertikal terhadap integritas dan profesionalitas petugas LP.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
(nfl)