Yang tersortir: napi dan sipir
A
A
A
Dua peristiwa tragis yang baru berakhir, yaitu pembakaran Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, serta penyerbuan LP Cebongan, Yogya, menegaskan bahwa nasib sipir dan napi tak jauh beda.
Selalu menjadi korban pertama, termasuk menjadi korban nyawa. Mereka seolah anggota masyarakat dalam kasta yang tersortir, terpinggirkan, dan ini bukan derita terakhir. Karena selama ini kita lebih memilih nyinyir, mengobrolkan tanpa kepastian mengatasi akar yang melahirkan permasalahan.
Sadongob: Terus Berulang
Pemerintah, atau Kemenkumham, terkesan meneruskan sadongob—sangat doyan ngobrol, dan merasa telah melakukan sesuatu. Peristiwa yang memakan korban jiwa di LP Tanjung Gusta, sudah pernah terjadi dua belas tahun lalu. Dengan problem klasik: adanya kelebihan penghuni, overcapacity, perlakuan tidak adil pada napi sehingga menimbulkan kecemburuan, ketidaksiapan sipir dan seterusnya.
Itu semua sudah diobrolkan, diteriakkan dengan urat leher kencang, dan begitu-begitu saja, sampai peristiwa yang lebih tragis berulang. Napi, atau narapidana, atau anak binaan, adalah sebutan mereka yang menjalani masa hukuman, baik yang ”numpang buang air”, sebutan untuk hukuman di bawah dua tahun, sampai sh, seumur hidup atau mt, hukuman mati. Dengan segala kasus mulai dari yang abal-abal alias kelas teri, sampai yang berdasi alias melibatkan duit banyak termasuk korupsi, sampai yang politik, ekstrem kanan, ekstrem kiri, dan teroris.
Sedangkan sipir sebutan untuk pegawai lapas dan rutan, rumah tahanan, apa pun pangkat dan golongannya. Kedua kelompok ini sedang ditabrakkan kalau ada kasus yang menarik perhatian masyarakat: napi kabur atau tidur di luar penjara, sel menjadi indah, masih beredarnya narkotika. Seakan perang, pemerasan, permusuhan atau kerja sama, hanya antara mereka. Dalam skala yang lebih besar, baik napi maupun sipir adalah korban di mana mereka sama-sama ”tak terpenuhi hak dasar”, yang bernama rasa aman dan kepastian menjalani tugas atau menjalani kehidupan.
Dalam kasus di LP Cebongan, napi yang mati ditembak di dalam selnya, sebenarnya juga penderitaan berat bagi sipir— bahkan untuk bersaksi dalam persidangan sekali pun. Siapa yang akan membela mereka, para sipir yang menjalankan tugas dengan baik, dengan risiko di luar kemampuan mereka? Kepada siapa lagi napi yang berada dalam penjara minta perlindungan kalau ternyata bisa dihabisi?
Ada, atau banyak persoalan lain yang mendahului dan tetap menyertai dan berpengaruh dengan keadaan yang dialami sekarang ini. Napi yang berada dalam penjara, adalah orang yang telah dimiskinkan oleh polisi, oleh jaksa, oleh hakim,–– atau juga pengacara. Ibaratnya mereka ini batu, yang tak bisa diperas lagi airnya, walau terus digilas dan ditindas.
Remisi: Nyawa Kedua
Dalam hal ini agar tidak sadongob, sudah semestinya dilakukan tindakan nyata, konkret, operasional dan berkelanjutan. Semisal masalah pembagian air—jatah tiga botol untuk sehari, jatah ramai-ramai dari pancuran untuk mandi, akan selalu menjadi masalah jika tidak diperbesar sumber air yang diperoleh. Yang mungkin sekali sejak belasan tahun lalu instalasinya masih sama dan kini makin tua.
Demikian pula keberadaan listrik yang instalasinya centang perentang, dan napi harus mengusahakan bohlam lampu sendiri—dan sulit memasangnya karena langit-langit sel buatan zaman Belanda kelewat tinggi. Atau alokasi dana untuk makan dan lauk pauk—harga ikan asin pun bisa melambung, dan atau memberi jatah telur ayam hanya setengah, yang semua itu tak bisa selaku dilakukan dengan akrobatik.
Tanpa perbaikan itu semua, kegalauan dan kesenjangan akan terus terjadi. Sampai pembenahan hal rutin yang selalu terjadi dan harus dihadapi: menentukan saat besukan, berapa lama, hari apa, dan berapa tarifnya—kalau ada. Keterbukaan dari awal dan dasar ini memungkinkan tidak terulangnya keluhan klasik yang nyatanya tak tertangani. Kalau dalam hal peristiwa tragis LP Tanjung Gusta, dipicu antara lain oleh PP 99 Tahun 2012 yang membatasi penerimaan remisi bagi napi koruptor, teroris, narkoba, sekaligus menabrakkan dengan hak asasi manusia, apa salahnya PP itu ditarik.
Kenapa harus menambah sadongob baru yang merugikan semua pihak. Bukankah ada, dan banyak sarana atau alat lain untuk tidak memberikan remisi atau grasi atau kemudahan yang telah menjadi peraturan? Yang tak boleh dilupakan, remisi adalah nyawa kedua bagi napi, satu-satunya jalan memperpendek masa hukuman dengan berbuat baik dan benar.
Penjara: Usus Buntu
Pada titik ini, rentang komando kekuasaan pernapian lebih pas terpusat pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan segala institusi di bawahnya, dibandingkan sekarang ini yang bertumpu di kementerian yang pastilah tidak memberi prioritas. Dana dan alokasi anggaran pun bisa memenuhi apa yang diperlukan, dibutuhkan, untuk kebutuhan standar, termasuk kesejahteraan para sipir.
Selama kehidupan para sipir masih jauh di bawah standar, selama itu pula persoalan keamanan, persoalan pengawasan, hanya menjadi wacana. Selama kehidupan para napi jauh di bawah kehidupan normal, selama ini pula persoalan pembangkangan, perlawanan, kerusuhan, akan terjadi. Hanya masalah kapan, menunggu pemicu yang jitu. Dan, sesungguhnya penjara bagai usus buntu.
Ia bagian yang ada dalam tubuh kita, dan hanya teperhatikan ketika menjadi masalah, misalnya ketika pecah. Bedanya untuk usus buntu diperlukan satu kali operasi. Sementara bisul usus buntu yang namanya penjara, perlu perhatian terus menerus, ibarat mengasuh bayi yang tak kunjung dewasa. Tak bisa sekali menertibkan, dan semuanya beres karenanya.
Mereka yang pernah di dalam penjara—baik napi, sipir, keluarganya, dan atau mereka yang berhati mulia membantu sebagai relawan, tahu dan atau mengalami kenyataan ini. Mereka inilah yang masih mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Dengan langkah nyata, terencana, dan berkesinambungan. Bukan dalam mengobrolkan.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
Selalu menjadi korban pertama, termasuk menjadi korban nyawa. Mereka seolah anggota masyarakat dalam kasta yang tersortir, terpinggirkan, dan ini bukan derita terakhir. Karena selama ini kita lebih memilih nyinyir, mengobrolkan tanpa kepastian mengatasi akar yang melahirkan permasalahan.
Sadongob: Terus Berulang
Pemerintah, atau Kemenkumham, terkesan meneruskan sadongob—sangat doyan ngobrol, dan merasa telah melakukan sesuatu. Peristiwa yang memakan korban jiwa di LP Tanjung Gusta, sudah pernah terjadi dua belas tahun lalu. Dengan problem klasik: adanya kelebihan penghuni, overcapacity, perlakuan tidak adil pada napi sehingga menimbulkan kecemburuan, ketidaksiapan sipir dan seterusnya.
Itu semua sudah diobrolkan, diteriakkan dengan urat leher kencang, dan begitu-begitu saja, sampai peristiwa yang lebih tragis berulang. Napi, atau narapidana, atau anak binaan, adalah sebutan mereka yang menjalani masa hukuman, baik yang ”numpang buang air”, sebutan untuk hukuman di bawah dua tahun, sampai sh, seumur hidup atau mt, hukuman mati. Dengan segala kasus mulai dari yang abal-abal alias kelas teri, sampai yang berdasi alias melibatkan duit banyak termasuk korupsi, sampai yang politik, ekstrem kanan, ekstrem kiri, dan teroris.
Sedangkan sipir sebutan untuk pegawai lapas dan rutan, rumah tahanan, apa pun pangkat dan golongannya. Kedua kelompok ini sedang ditabrakkan kalau ada kasus yang menarik perhatian masyarakat: napi kabur atau tidur di luar penjara, sel menjadi indah, masih beredarnya narkotika. Seakan perang, pemerasan, permusuhan atau kerja sama, hanya antara mereka. Dalam skala yang lebih besar, baik napi maupun sipir adalah korban di mana mereka sama-sama ”tak terpenuhi hak dasar”, yang bernama rasa aman dan kepastian menjalani tugas atau menjalani kehidupan.
Dalam kasus di LP Cebongan, napi yang mati ditembak di dalam selnya, sebenarnya juga penderitaan berat bagi sipir— bahkan untuk bersaksi dalam persidangan sekali pun. Siapa yang akan membela mereka, para sipir yang menjalankan tugas dengan baik, dengan risiko di luar kemampuan mereka? Kepada siapa lagi napi yang berada dalam penjara minta perlindungan kalau ternyata bisa dihabisi?
Ada, atau banyak persoalan lain yang mendahului dan tetap menyertai dan berpengaruh dengan keadaan yang dialami sekarang ini. Napi yang berada dalam penjara, adalah orang yang telah dimiskinkan oleh polisi, oleh jaksa, oleh hakim,–– atau juga pengacara. Ibaratnya mereka ini batu, yang tak bisa diperas lagi airnya, walau terus digilas dan ditindas.
Remisi: Nyawa Kedua
Dalam hal ini agar tidak sadongob, sudah semestinya dilakukan tindakan nyata, konkret, operasional dan berkelanjutan. Semisal masalah pembagian air—jatah tiga botol untuk sehari, jatah ramai-ramai dari pancuran untuk mandi, akan selalu menjadi masalah jika tidak diperbesar sumber air yang diperoleh. Yang mungkin sekali sejak belasan tahun lalu instalasinya masih sama dan kini makin tua.
Demikian pula keberadaan listrik yang instalasinya centang perentang, dan napi harus mengusahakan bohlam lampu sendiri—dan sulit memasangnya karena langit-langit sel buatan zaman Belanda kelewat tinggi. Atau alokasi dana untuk makan dan lauk pauk—harga ikan asin pun bisa melambung, dan atau memberi jatah telur ayam hanya setengah, yang semua itu tak bisa selaku dilakukan dengan akrobatik.
Tanpa perbaikan itu semua, kegalauan dan kesenjangan akan terus terjadi. Sampai pembenahan hal rutin yang selalu terjadi dan harus dihadapi: menentukan saat besukan, berapa lama, hari apa, dan berapa tarifnya—kalau ada. Keterbukaan dari awal dan dasar ini memungkinkan tidak terulangnya keluhan klasik yang nyatanya tak tertangani. Kalau dalam hal peristiwa tragis LP Tanjung Gusta, dipicu antara lain oleh PP 99 Tahun 2012 yang membatasi penerimaan remisi bagi napi koruptor, teroris, narkoba, sekaligus menabrakkan dengan hak asasi manusia, apa salahnya PP itu ditarik.
Kenapa harus menambah sadongob baru yang merugikan semua pihak. Bukankah ada, dan banyak sarana atau alat lain untuk tidak memberikan remisi atau grasi atau kemudahan yang telah menjadi peraturan? Yang tak boleh dilupakan, remisi adalah nyawa kedua bagi napi, satu-satunya jalan memperpendek masa hukuman dengan berbuat baik dan benar.
Penjara: Usus Buntu
Pada titik ini, rentang komando kekuasaan pernapian lebih pas terpusat pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan segala institusi di bawahnya, dibandingkan sekarang ini yang bertumpu di kementerian yang pastilah tidak memberi prioritas. Dana dan alokasi anggaran pun bisa memenuhi apa yang diperlukan, dibutuhkan, untuk kebutuhan standar, termasuk kesejahteraan para sipir.
Selama kehidupan para sipir masih jauh di bawah standar, selama itu pula persoalan keamanan, persoalan pengawasan, hanya menjadi wacana. Selama kehidupan para napi jauh di bawah kehidupan normal, selama ini pula persoalan pembangkangan, perlawanan, kerusuhan, akan terjadi. Hanya masalah kapan, menunggu pemicu yang jitu. Dan, sesungguhnya penjara bagai usus buntu.
Ia bagian yang ada dalam tubuh kita, dan hanya teperhatikan ketika menjadi masalah, misalnya ketika pecah. Bedanya untuk usus buntu diperlukan satu kali operasi. Sementara bisul usus buntu yang namanya penjara, perlu perhatian terus menerus, ibarat mengasuh bayi yang tak kunjung dewasa. Tak bisa sekali menertibkan, dan semuanya beres karenanya.
Mereka yang pernah di dalam penjara—baik napi, sipir, keluarganya, dan atau mereka yang berhati mulia membantu sebagai relawan, tahu dan atau mengalami kenyataan ini. Mereka inilah yang masih mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Dengan langkah nyata, terencana, dan berkesinambungan. Bukan dalam mengobrolkan.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
(nfl)