Mengapa B-777 gagal mendarat di San Fransisco?

Senin, 15 Juli 2013 - 10:58 WIB
Mengapa B-777 gagal...
Mengapa B-777 gagal mendarat di San Fransisco?
A A A
Tanggal 6 Juli 2013, pukul 11.36 PDT (Pacific Day Light Time), sebuah Pesawat B-777 milik Asiana Airlines nomor penerbangan 214 dari Seoul, Korea Selatan, gagal mendarat dengan mulus (crashed landing) di San Fransisco International Airport.

Ekor pesawat terpisah dari badan pesawat setelah menabrak dinding dari ujung landasan. Dua penumpang dilaporkan meninggal dunia dari 16 awak pesawat dan 291 penumpang, yang sebagian besar cedera. Diperkirakan dua penumpang yang meninggal dunia adalah penumpang yang duduk di bagian ekor pesawat. Kecelakaan ini sekaligus menggugurkan banyak “teori” tentang bagian yang paling aman di pesawat terbang adalah di bagian belakang.

Belakangan korban meninggal bertambah satu setelah dirawat di rumah sakit. Pertanyaan yang segera muncul pada setiap kecelakaan pesawat terbang adalah, mengapa atau apa yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Di sisi lain, pesawat terbang masa kini adalah sebuah produk yang sarat teknologi tinggi dengan peralatan keamanan terbang (safety devices) yang sangat canggih. Lalu mengapa, kecelakaan tetap saja terjadi?

B-777 adalah sebuah wide body, long range twin engine jet liner yang dibuat oleh pabrik pesawat terbang Boeing Commercial Airplanes. Ia merupakan pesawat jet terbesar dengan dua mesin yang sanggup membawa penumpang sampai dengan 451 orang dan menempuh jarak sampai 17.500 km dengan harga jual kurang lebih USD300 juta. Terbang pertama kali tahun 1994, dan hingga saat ini telah dibuat lebih dari 1.000 pesawat B-777.

Penting diketahui bahwa B-777 adalah pesawat komersial pertama yang menggunakan sistem “fly by wire”, sebuah teknologi canggih yang merupakan simbol dari sebuah pesawat supermodern. Kembali pada pertanyaan yang muncul, yaitu kenapa bisa terjadi sebuah pesawat super modern sekelas B-777 mengalami crashed landing di San Fransisco saat siang hari dengan cuaca yang cerah?

Untuk membahas ini, mari kita ikuti beberapa seri penjelasan juru bicara NTSB, Deborah Hersman, dan juga dari pihak Asiana Airlines pada konferensi pers yang diberikan secara bertahap kepada publik. Penjelasan yang disampaikan adalah berupa “temuan awal” dari proses penyelidikan (antara lain berupa wawancara dengan pilot Asiana Airlines tersebut serta hasil sementara dari black box), yang katanya akan berlangsung atau membutuhkan waktu panjang sampai lebih kurang satu tahun untuk sampai pada kesimpulan dari kemungkinan penyebab kecelakaan terjadi.

Penjelasan yang berupa temuan awal menyebutkan bahwa tidak atau belum ditemukan adanya kesalahan mekanik atau kegagalan teknis dari sistem di pesawat dan di mesinnya. Dijelaskan pula tentang Asiana Airlines Flight 214 yang terbang terlalu rendah saat mendekat ke runway untuk mendarat, dan juga dengan kecepatan yang lebih kecil dari yang diharuskan. Ini yang belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya.

Persyaratan untuk mendarat dengan mulus adalah pesawat harus berada pada lintasan pendekatan yang tepat dengan kecepatan yang “pas” untuk landing. Lintasan yang lebih rendah dan kecepatan yang kurang, menjadi sangat berbahaya. Keterangan lainnya menyebutkan pilot baru menyadari bahwa pesawat terlalu rendah dan kecepatan terlalu kecil saat beberapa detik saja sebelum mendarat.

Dengan demikian, tindakan koreksi yang dilakukan, berupa prosedur goaround (terbang lagi ke atas untuk mengulang proses pendekatan landing) menjadi sangat terlambat. Hal ini menyebabkan ekor pesawat membentur dinding runwaydan pesawat kolaps keluar landasan. Keterangan selanjutnya adalah bahwa sang pilot yang menerbangkan pesawat saat itu, walau seorang pilot sarat pengalaman dengan lebih dari 10.000 jam terbang, tetapi baru memiliki 43 jam terbang di pesawat B-777 dan berstatus trainee serta baru pertama kali akan landing di San Fransisco.

Hal ini tidak begitu masalah, karena pasti dia sudah berlatih setidaknya di simulator untuk mendarat di San Fransisco, dan selain itu yang harus bertanggung jawab dalam hal ini adalah pilot pendampingnya yang berstatus captain pilot dan atau pilot instruktur. Saat diwawancara, sang pilot mengatakan bahwa pada penerbangan yang tengah berlangsung saat itu ia menggunakan “auto-pilot”.

Di sinilah muncul dugaan bahwa kemungkinan besar (masih perlu dibuktikan dengan data-data lainnya) kedua pilot lengah, karena cuaca terang benderang dan pesawat tengah diterbangkan secara otomatis oleh auto-pilot. Lengah dalam hal ini untuk memonitor instrumen, bahwa pesawat berada dalam lintasan yang benar dan kecepatan pesawat yang “pas”. Ini menyebabkan pilot sangat terlambat mengetahui bahwa ada kelainan pada ketinggian dan kecepatan pesawat.

Pesawat ternyata berada di bawah lintasan pendaratan yang diinginkan dan dengan kecepatan lebih rendah dari kecepatan yang seharusnya. Sayangnya, kesadaran tersebut terjadi sudah jauh terlambat untuk melakukan koreksi.

Pada titik inilah sebenarnya, beberapa masalah aktual yang tengah dihadapi para pilot masa kini terjadi. Hal ini berkaitan dengan tetap terjadinya kecelakaan pesawat terbang, walaupun kecanggihan teknologi telah menyajikan banyak kemudahan dalam terbang (peralatan otomatis) serta banyak faktor alat pengaman dalam terbang yang telah dibangun.

Dari rekomendasi yang diberikan oleh beberapa otoritas penerbangan banyak negara sebagai hasil penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan akhir-akhir ini, sering dikemukakan tentang pilot habit (kebiasaan pilot) yang dikatakan sebagai “automation addiction”, kecanduan dalam penggunaan alat otomatis. Untuk diketahui peralatan auto-pilot di pesawat memiliki kemampuan terbang dengan tingkat presisi yang sangat tinggi, namun ada sedikit saja “error” (walau sangat jarang terjadi) maka dia akan kacau.

Dalam hal ini disinyalir, walau masih dalam perdebatan sengit, bahwa telah terjadi pilot inability (ketidakmampuan pilot) dan atau less of flying skills (menurunnya keterampilan pilot) sebagai akibat kebiasaan yang selalu menggunakan peralatan yang serba otomatis. Sehingga pada saat dibutuhkanterbangmanual, mereka tidak siap melakukannya dengan baik.

Hal ini kemudian berkait erat dengan masalah poor cockpit discipline (rendahnya disiplin awak kokpit) serta problem cockpit resource management/ CRM (kerja sama erat yang dibutuhkan dalam bekerja di kokpit). Pesawat terbang modern yang sarat peralatan teknologi mutakhir, untuk sementara ini sangat memerlukan disiplin tinggi dan kerja sama solid dari para pilotnya.

Jadi betapapun canggihnya produk sebuah pesawat terbang, sampai dengan saat ini peran “man behind the gun”, dalam hal ini pilot masih sangat dominan dalam konteks keselamatan terbang.

CHAPPY HAKIM
Pemegang Airlines Transport Pilot (ATPL) License No 2391
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0796 seconds (0.1#10.140)