Tirani atas nama kebenaran
A
A
A
”Saya cinta Plato sebagai guru dan sahabat, tetapi saya lebih mencintai kebenaran,” kata filsuf Aristoteles (384 – 322 SM). Saya juga mengapresiasi posisi Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai watch dog, tetapi saya lebih cinta pada kebenaran.
Namun, hakikat kebenaran sekali-kali tidak boleh dimanipulasi oleh siapa pun yang merasa paling kredibel, sosok pribadi atau institusi sekalipun. Manipulasi atas hakikat kebenaran akan menumbuhkembangkan semangat menyalahgunakan kepercayaan atau kredibilitas dan kekuasaan. Maka itu, saya harus melakukan perlawanan ketika ICW coba membunuh karakter saya dengan cara-cara seperti itu, menyalahgunakan kredibilitasnya dan memanipulasi hakikat kebenaran.
Baru-baru ini ICW memublikasikan identitas 36 calon anggota legislatif—yang menurut ICW—patut diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Nama saya tercantum dalam daftar itu.
ICW menggunakan lima kriteria untuk menyusun daftar itu; dari politisi yang namanya pernah disebut dalam keterangan saksi atau dakwaan JPU terlibat atau menerima sejumlah uang dalam sebuah kasus korupsi; politisi bekas terpidana kasus korupsi; politisi yang pernah dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR; politisi yang mengeluarkan pernyataan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi; dan politisi yang mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi memangkas dan melemahkan kewenangan lembaga tersebut.
Nama saya dicantumkan daftar itu karena, menurut ICW, saya mendukung upaya Revisi Undang-Undang (UU) KPK yang berpotensi melemahkan wewenang institusi itu. Bagi saya, cara pandang yang demikian mencermin kedangkalan ICW memahami persoalan.
Karena kedangkalan cara pandang itu, nada penilaian ICW terhadap saya kekanak-kanakan dan asal bunyi. Saya pun melihat ICW bagaikan ”pelawak” tak lucu yang tak lelah mencari perhatian dengan ragam cara. ICW tampaknya harus berperilaku demikian karena ICW memang tidak militan menjalankan perannya. Saya menilai ICW sangat minimalis menyikapi kasus pajak, migas, sumber daya alam, ataupun cost recovery yang berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah. Pun dalam menyikapi begitu banyak kasus korupsi, ICW bahkan tebang pilih.
Karena posisi ICW yang demikian, data dan bahan yang dipublikasikan ICW seringkali tidak akurat alias asal-asalan, termasuk publikasi pandangan ICW terhadap 36 calon anggota legislatif baru-baru ini. Mengapa hanya 36 nama yang disebut, padahal jumlah calon anggota legislatif pada pemilu kali ini ribuan? Bahkan ada yang sudah dijadikan tersangka atau dipanggil sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor. Esensi muatan publikasi itu mencerminkan ICW sudah berpolitik.
Juga sangat tendensius sebab ICW menggeneralisasi dan mengambil kesimpulan berdasarkan persepsi dan pandangan sendiri, tidak berdasar fakta dan bukti. Karena berpolitik, ICW kini tidak lagi fokus pada fungsi dan perannya. Saya dinilai tidak komit terhadap pemberantasan korupsi, hanya karena saya ingin mengubah UU KPK. Menurut ICW, mengubah UU KPK berarti ingin mempreteli wewenang KPK. Inilah kedangkalan ICW. Tanpa terlebih dahulu memahami persoalan secara komprehensif, ICW mempersepsikan niat mengubah UU KPK sebagai upaya pelemahan.
Ini perilaku kekanak-kanakan. Seacara personal saya tegas dan setuju terhadap perubahan UU KPK sebab ada sejumlah titik lemah dalam UU KPK sekarang. Ini sudah begitu sering saya ungkap, baik dalam rapat dengan KPK maupun di publik. UU KPK yang sekarang ini pun sebenarnya sudah berkalikali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). ICW bahkan pernah mengusulkan uji materi ke MK.
Hasilnya, MK telah membatalkan tiga pasal; pasal tentang pengadilan tipikor yang dikeluarkan dari UU KPK untuk dibuat UU tersendiri; pasal tentang penonaktifan dan pemberhentian pimpinan KPK bila sudah berstatus tersangka; serta pasal tentang masa jabatan pimpinan KPK. Dengan demikian, jika menggunakan logika dan alur berpikir ICW, ICW pun patut dinilai tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi karena mengusulkan uji materi UU KPK ke MK. Karena membatalkan beberapa pasal dalam UU KPK, apakah MK pun patut dianggap tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi?
Fitnah
Hampir semua aspek dalam kehidupan harus berubah atau diubah sejalan dengan tuntutan zaman. Begitu pula dengan UU di negara ini. Itu sebabnya, UUD 1945 melalui Pasal 20 ayat 1 sampai ayat 5 menugaskan DPR untuk membuat UU. Revisi UU KPK pun bukan inisiatif pribadi saya. Niat merevisi UU KPK muncul dari mekanisme yang berlaku. Revisi berdasarkan keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang kemudian diserahkan pimpinan DPR ke Komisi III DPR beserta draf perubahan untuk dibahas.
Sadar bahwa revisi UU KPK untuk kemaslahatan bangsa, Komisi III DPR kemudian bersepakat. Sebelum melakukan pembahasan apa pun, draf perubahan itu diserahkan ke Badan Legislatif (Baleg) DPR untuk disinkronkan dan diharmonisasikan terlebih dahulu. Pada waktu di Baleg inilah muncul pro-kontra dari masyarakat. ICW pun bersikap menolak. Karena pembahasan di Baleg diwarnai perdebatan yang alot, pembahasan revisi UU KPK akhirnya ditunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Akhirnya Baleg pun menyerah karena kuatnya penolakan persepsi melalui media massa serta fraksi-fraksi di DPR masih mengutamakan citra dan pencitraan. Artinya, revisi UU KPK hingga kini sama sekali belum pernah dibahas di Komisi III DPR. Dengan logika kebenaran seperti apa sehingga ICW merasa sah menuding saya, Syarifudin Sudding, Nasir Jamil, Nudirman Munir, dan kawan-kawan lainnya tidak memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
ICW telah memfitnah saya dan kawan-kawan dalam tugas konstitusional kami sebagai anggota DPR yang bertugas membentuk UU serta melakukan pengawasan terhadap lembaga negara. Tidak boleh ada lembaga negara yang tidak diawasi, termasuk KPK. Semua institusi negara, termasuk DPR, tidak boleh bertindak semena- mena sehingga harus diawasi. Menjadi konyol jika DPR melakukan pengawasan lalu dinilai tidak mempunyai komitmen. ICW boleh mengawasi DPR.
Mengapa DPR tidak boleh mengawasi lembaga negara lain. Bagi saya, sikap dan cara pandang ICW terhadap DPR sangat tidak demokratis. Pemilik tirani kebenaran apakah ICW? Apakah ICW paling sahih dan suci dibanding dengan yang lain? Sebagai anggota DPR, kritik saya konstruktif. Kalau anggota DPR bersikap kritis terhadap lembaga dan institusi negara lainnya, idealnya diapresiasi atau didukung. Jangan lakukan pembunuhan karakter pada anggota DPR yang berusaha melakukan pengawasan terhadap lembaga dan institusi negara.
Demokratisasi membolehkan siapa saja berbicara apa pun. Siapa pun boleh merasa diri atau institusinya kredibel. Namun, kredibilitas itu tidak boleh disalahgunakan misalnya dengan semena-mena melabelisasi anggota DPR tidak propemberantasan korupsi. Dalam pemberantasan korupsi, ICW tidak berhak melabelisasi siapa pun pro atau kontrapemberantasan korupsi. Komitmen ICW dalam pemberantasan korupsi pun masih diragukan.
Benarkah ICW bekerja berdasarkan pesanan? Komitmen saya dalam pemberantasan korupsi sudah saya buktikan melalui Pansus Century, Timwas Century, inisiasi angket pajak, mendorong KPK membongkar kasus-kasus korupsi besar lain seperti kasus Hambalang, kasus PON, kasus SEA Games, kasus migas, kasus penyalahgunaan sumber daya alam, serta melakukan pendalaman atas sejumlah ”nyanyian” Nazaruddin. Saya menduga dan curiga pada kemungkinan ada gerakan corruptor fight back dengan menggunakan berbagai cara sebagai pembunuh karakter saya.
Apakah ini langkah ICW melakukan serangan balik karena saya pernah mengungkap ICW menerima dana asing dari luar negeri? Sebagai warga negara yang taat hukum, saya sudah menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan upaya pembunuhan karakter ini. Ironisnya, ICW justru melakukan fitnah kedua dengan mengatakan saya terlalu emosional dan reaksional. Saya tegaskan, upaya pelaporan itu dilakukan bukan karena saya tidak propemberantasan korupsi ataupun upaya mengkriminalisasikan ICW. Langkah tersebut diambil karena saya lebih mencintai kebenaran. Biarlah hukum yang menyelesaikan.
AHMAD YANI
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
Namun, hakikat kebenaran sekali-kali tidak boleh dimanipulasi oleh siapa pun yang merasa paling kredibel, sosok pribadi atau institusi sekalipun. Manipulasi atas hakikat kebenaran akan menumbuhkembangkan semangat menyalahgunakan kepercayaan atau kredibilitas dan kekuasaan. Maka itu, saya harus melakukan perlawanan ketika ICW coba membunuh karakter saya dengan cara-cara seperti itu, menyalahgunakan kredibilitasnya dan memanipulasi hakikat kebenaran.
Baru-baru ini ICW memublikasikan identitas 36 calon anggota legislatif—yang menurut ICW—patut diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Nama saya tercantum dalam daftar itu.
ICW menggunakan lima kriteria untuk menyusun daftar itu; dari politisi yang namanya pernah disebut dalam keterangan saksi atau dakwaan JPU terlibat atau menerima sejumlah uang dalam sebuah kasus korupsi; politisi bekas terpidana kasus korupsi; politisi yang pernah dijatuhi sanksi atau terbukti melanggar etika dalam pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR; politisi yang mengeluarkan pernyataan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi; dan politisi yang mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi memangkas dan melemahkan kewenangan lembaga tersebut.
Nama saya dicantumkan daftar itu karena, menurut ICW, saya mendukung upaya Revisi Undang-Undang (UU) KPK yang berpotensi melemahkan wewenang institusi itu. Bagi saya, cara pandang yang demikian mencermin kedangkalan ICW memahami persoalan.
Karena kedangkalan cara pandang itu, nada penilaian ICW terhadap saya kekanak-kanakan dan asal bunyi. Saya pun melihat ICW bagaikan ”pelawak” tak lucu yang tak lelah mencari perhatian dengan ragam cara. ICW tampaknya harus berperilaku demikian karena ICW memang tidak militan menjalankan perannya. Saya menilai ICW sangat minimalis menyikapi kasus pajak, migas, sumber daya alam, ataupun cost recovery yang berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah. Pun dalam menyikapi begitu banyak kasus korupsi, ICW bahkan tebang pilih.
Karena posisi ICW yang demikian, data dan bahan yang dipublikasikan ICW seringkali tidak akurat alias asal-asalan, termasuk publikasi pandangan ICW terhadap 36 calon anggota legislatif baru-baru ini. Mengapa hanya 36 nama yang disebut, padahal jumlah calon anggota legislatif pada pemilu kali ini ribuan? Bahkan ada yang sudah dijadikan tersangka atau dipanggil sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor. Esensi muatan publikasi itu mencerminkan ICW sudah berpolitik.
Juga sangat tendensius sebab ICW menggeneralisasi dan mengambil kesimpulan berdasarkan persepsi dan pandangan sendiri, tidak berdasar fakta dan bukti. Karena berpolitik, ICW kini tidak lagi fokus pada fungsi dan perannya. Saya dinilai tidak komit terhadap pemberantasan korupsi, hanya karena saya ingin mengubah UU KPK. Menurut ICW, mengubah UU KPK berarti ingin mempreteli wewenang KPK. Inilah kedangkalan ICW. Tanpa terlebih dahulu memahami persoalan secara komprehensif, ICW mempersepsikan niat mengubah UU KPK sebagai upaya pelemahan.
Ini perilaku kekanak-kanakan. Seacara personal saya tegas dan setuju terhadap perubahan UU KPK sebab ada sejumlah titik lemah dalam UU KPK sekarang. Ini sudah begitu sering saya ungkap, baik dalam rapat dengan KPK maupun di publik. UU KPK yang sekarang ini pun sebenarnya sudah berkalikali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). ICW bahkan pernah mengusulkan uji materi ke MK.
Hasilnya, MK telah membatalkan tiga pasal; pasal tentang pengadilan tipikor yang dikeluarkan dari UU KPK untuk dibuat UU tersendiri; pasal tentang penonaktifan dan pemberhentian pimpinan KPK bila sudah berstatus tersangka; serta pasal tentang masa jabatan pimpinan KPK. Dengan demikian, jika menggunakan logika dan alur berpikir ICW, ICW pun patut dinilai tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi karena mengusulkan uji materi UU KPK ke MK. Karena membatalkan beberapa pasal dalam UU KPK, apakah MK pun patut dianggap tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi?
Fitnah
Hampir semua aspek dalam kehidupan harus berubah atau diubah sejalan dengan tuntutan zaman. Begitu pula dengan UU di negara ini. Itu sebabnya, UUD 1945 melalui Pasal 20 ayat 1 sampai ayat 5 menugaskan DPR untuk membuat UU. Revisi UU KPK pun bukan inisiatif pribadi saya. Niat merevisi UU KPK muncul dari mekanisme yang berlaku. Revisi berdasarkan keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang kemudian diserahkan pimpinan DPR ke Komisi III DPR beserta draf perubahan untuk dibahas.
Sadar bahwa revisi UU KPK untuk kemaslahatan bangsa, Komisi III DPR kemudian bersepakat. Sebelum melakukan pembahasan apa pun, draf perubahan itu diserahkan ke Badan Legislatif (Baleg) DPR untuk disinkronkan dan diharmonisasikan terlebih dahulu. Pada waktu di Baleg inilah muncul pro-kontra dari masyarakat. ICW pun bersikap menolak. Karena pembahasan di Baleg diwarnai perdebatan yang alot, pembahasan revisi UU KPK akhirnya ditunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Akhirnya Baleg pun menyerah karena kuatnya penolakan persepsi melalui media massa serta fraksi-fraksi di DPR masih mengutamakan citra dan pencitraan. Artinya, revisi UU KPK hingga kini sama sekali belum pernah dibahas di Komisi III DPR. Dengan logika kebenaran seperti apa sehingga ICW merasa sah menuding saya, Syarifudin Sudding, Nasir Jamil, Nudirman Munir, dan kawan-kawan lainnya tidak memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
ICW telah memfitnah saya dan kawan-kawan dalam tugas konstitusional kami sebagai anggota DPR yang bertugas membentuk UU serta melakukan pengawasan terhadap lembaga negara. Tidak boleh ada lembaga negara yang tidak diawasi, termasuk KPK. Semua institusi negara, termasuk DPR, tidak boleh bertindak semena- mena sehingga harus diawasi. Menjadi konyol jika DPR melakukan pengawasan lalu dinilai tidak mempunyai komitmen. ICW boleh mengawasi DPR.
Mengapa DPR tidak boleh mengawasi lembaga negara lain. Bagi saya, sikap dan cara pandang ICW terhadap DPR sangat tidak demokratis. Pemilik tirani kebenaran apakah ICW? Apakah ICW paling sahih dan suci dibanding dengan yang lain? Sebagai anggota DPR, kritik saya konstruktif. Kalau anggota DPR bersikap kritis terhadap lembaga dan institusi negara lainnya, idealnya diapresiasi atau didukung. Jangan lakukan pembunuhan karakter pada anggota DPR yang berusaha melakukan pengawasan terhadap lembaga dan institusi negara.
Demokratisasi membolehkan siapa saja berbicara apa pun. Siapa pun boleh merasa diri atau institusinya kredibel. Namun, kredibilitas itu tidak boleh disalahgunakan misalnya dengan semena-mena melabelisasi anggota DPR tidak propemberantasan korupsi. Dalam pemberantasan korupsi, ICW tidak berhak melabelisasi siapa pun pro atau kontrapemberantasan korupsi. Komitmen ICW dalam pemberantasan korupsi pun masih diragukan.
Benarkah ICW bekerja berdasarkan pesanan? Komitmen saya dalam pemberantasan korupsi sudah saya buktikan melalui Pansus Century, Timwas Century, inisiasi angket pajak, mendorong KPK membongkar kasus-kasus korupsi besar lain seperti kasus Hambalang, kasus PON, kasus SEA Games, kasus migas, kasus penyalahgunaan sumber daya alam, serta melakukan pendalaman atas sejumlah ”nyanyian” Nazaruddin. Saya menduga dan curiga pada kemungkinan ada gerakan corruptor fight back dengan menggunakan berbagai cara sebagai pembunuh karakter saya.
Apakah ini langkah ICW melakukan serangan balik karena saya pernah mengungkap ICW menerima dana asing dari luar negeri? Sebagai warga negara yang taat hukum, saya sudah menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan upaya pembunuhan karakter ini. Ironisnya, ICW justru melakukan fitnah kedua dengan mengatakan saya terlalu emosional dan reaksional. Saya tegaskan, upaya pelaporan itu dilakukan bukan karena saya tidak propemberantasan korupsi ataupun upaya mengkriminalisasikan ICW. Langkah tersebut diambil karena saya lebih mencintai kebenaran. Biarlah hukum yang menyelesaikan.
AHMAD YANI
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
(nfl)