Membenahi institusi Polri

Selasa, 02 Juli 2013 - 11:27 WIB
Membenahi institusi Polri
Membenahi institusi Polri
A A A
Berdasarkan catatan Metro TV (1/5/2013), selama satu tahun ini sekitar 89 kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dirusak dan dibakar massa.

Malah, ada kapolsek yang dianiaya sampai meninggal dunia saat melaksanakan tugas. Pemicunya kadang hanya persoalan sepele, seperti salah paham soal penangkapan atau penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, kemudian massa meminta agar dilepaskan. Bisa juga karena massa kecewa atas sikap polisi terhadap sengketa antara warga sipil dan pengusaha perkebunan di berbagai daerah. Ada juga yang kecewa atas perlakuan polisi dalam penegakan hukum.

Jika pelaku berasal dari keluarga mapan, perlakuan polisi begitu istimewa. Berbeda dengan pelaku dari rakyat kebanyakan, polisi akan secepatnya memproses dan melimpahkan berkasnya kepada penuntut umum. Malah, polisi selalu bentrok dengan mahasiswa pengunjuk rasa saat menolak kenaikan harga bahan bakar minyak. Polisi masih bertindak amatiran, belum profesional menangani demonstrasi mahasiswa. Garang menghadapi mahasiswa dan demonstran, tetapi selalu lunglai ketika menyikapi aksi ormas tertentu. Semuanya bisa jadi pemicu kemarahan rakyat sehingga kantor polisi menjadi sasaran amuk massa.

Boleh jadi fenomena ini sebagai kesalahan hegemonik tentang betapa luasnya kewenangan polisi yang belum sepenuhnya rampung dikoreksi. Perlawanan rakyat terhadap polisi tidak terlepas dari belum berhasilnya Polri membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan masyarakat agar mendukung tugas dan fungsi kepolisian. Polisi dianggap tidak sensitif, tidak mampu menjadi pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat. Padahal, sensitivitas dan etos kerja yang terukur menjadi modal untuk membangkitkan motivasi masyarakat bermitra dengan polisi.

Kesejahteraan Polisi

Kepolisian harus dijaga dari ancaman masyarakatnya sendiri. Konsekuensinya, polisi harus bijak dan berwibawa dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat; sebab akan susah menertibkan masyarakat, jika personil polisi tidak menampilkan perilaku yang bisa diteladani. Salah satu keluhan Polri selama ini adalah soal kesejahteraan yang masih rendah. Belum memadai untuk menghidupi keluarga sehari-hari dalam sebulan.

Lantaran gaji kecil, menimbulkan dampak negatif dalam mengapresiasi tugas dan tanggung jawabnya. Tidak sedikit anggota polisi yang cari kerja sampingan. Meski begitu, tidak boleh dijadikan pembenaran untuk berperilaku menyimpang dari tatanan hukum yang berlaku. Kerja sampingan yang terkait dengan kasus yang ditangani sudah pasti akan memengaruhi kewibawaan. Misalnya suap atau pungli di jalan, membekingi tempat-tempat prostitusi dan perjudian ilegal, atau memeras saat menangani kasus.

Membenahi kesejahteraan polisi adalah keniscayaan, tetapi harus ada jaminan agar betul-betul meninggalkan perilaku buruk. Jika kesejahteraan sudah baik, tetapi masih saja melanggar, maka sidang profesi kepolisian dan sidang pengadilan menanti tanpa pandang bulu. Termasuk pada perwira tinggi yang diduga memiliki rekening gendut yang diduga berasal dari kerja sampingan.

Yang juga patut diatensi adalah masih minimnya jumlah personel, sehingga belum seimbang dengan jumlah penduduk. Jumlah personel polisi sekitar 395.000 orang lebih, tetapi melayani 230 juta penduduk dengan rasio perbandingan 1:580 orang. Padahal rasio ideal 1:300 orang warga, sehingga negeri ini butuh minimal 760 ribu polisi.

Mulai dari Atas

Jika pembenahan dari perilaku menyimpang tidak serius dilakukan, diyakini citra Polri akan terus tergerus. Tetapi harus dimulai dari atas, sebab penyelewengan wewenang di tubuh Polri hampir tidak pernah disebabkan dari bawah. Penyimpangan anggota polisi tidak selalu disebabkan oleh watak individu bawahan, tetapi mencontoh pada perilaku pimpinan, atau terpaksa mengikuti keinginan atasan.

Bagi bawahan yang setiap hari bersentuhan dengan masyarakat, secara psikologis akan terbebani dengan kondisi internal di kantor yang kurang memberi ruang untuk berperilaku bersih. Dugaan adanya pimpinan yang melakukan penyimpangan harus segera dihentikan. Misalnya meminta setoran bawahan agar lulus pendidikan atau meraih jabatan tertentu, atau memberi peluang bawahan memainkan kasus yang sedang ditangani.

Begitu pula metode kerja “perpolisian masyarakat” yang belum terlihat hasilnya, kalau tidak dikatakan gagal, harus secepatnya dibenahi. Sebab warga yang dipilih sebagai mitra justru bertindak lebih polisi daripada polisi asli. Akibatnya, masyarakat apatis dan menganggap perpolisianmasyarakat taklebihdari “upaya kosmetis” jangka pendek. Juga perlu membangkitkan lagi prinsip “senyum, sapa, dan salam” dalam memberikan pelayanan, perlindungan masyarakat, dan penegakan hukum.

Polisi harus memberi contoh dengan secara adil dan transparan memproses pelanggaran hukum yang terjadi tanpa mengenal golongan atau kelompok. Kegagalan polisi menegakkan hukum akan menimbulkan risiko, malah merembet pada sendi-sendi kemasyarakatan sehingga dengan mudah terjadi tindak kekerasan antara berbagai elemen dalam masyarakat. Boleh jadi penilaian ini keliru akibat ekspektasi saya terhadap Polri begitu besar.

Kritik membangun untuk membenahi Polri semoga tidak menimbulkan amarah apalagi dendam, karena sungguh mewakili isi hati rakyat. Apalagi, reformasi birokrasi Polri belum mencapai sasaran, belum membumi di akar rumput. Jangan sampai rakyat merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi, sehingga saksi sekalipun tidak bersedia. Dirgahayu Polisi Indonesia!

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45, Makassar
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3529 seconds (0.1#10.140)