Kontroversi BLSM dan alternatifnya
A
A
A
Sebagaimana diketahui, akhirnya pemerintah disetujui DPR untuk mengalokasikan berbagai dana yang dalam khasanah keuangan negara disebut dana kesejahteraan (welfare state program).
Dana tersebut diperoleh dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang menyebabkan pemerintah memiliki kelebihan kas di tangan. Dari dana itu kemudian pemerintah mengalokasikan dana program welfare, antara lain untuk beras rakyat miskin, perbaikan perumahan, bantuan sekolah, kesehatan, dan yang paling kontroversial adalah BLSM alias Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. Pemerintah beberapa kali melakukan pemberian seperti ini setiap kali menaikkan harga BBM yang dulu disebut BLT.
Dua gubernur yang sangat penting, yaitu Gubernur DKI dan Jawa Tengah, terang-terangan menyampaikan sikap tidak mendukung program BLSM. Seperti namanya bantuan sementara, tentulah ini program dadakan yang tidak berbasis konsep dan implementasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Program dan anggaran ini semacam uang sogok pemerintah supaya rakyat terhibur sementara. Mengulangi program BLT, dimungkinkan bahwa mereka yang berada pada usia produktif (prime age) juga memperoleh dana ini. Hal demikian bersifat disinsentif karena mendidik rakyat usia produktif untuk memperoleh pembayaran tanpa imbal jasa.
Disinsentif semacam ini diperingatkan para ahli keuangan negara. Hal semacam ini juga merusak budaya bangsa yang menjunjung sikap perwira, harga diri rakyat sebagai insan bermartabat. Sistem politik selama reformasi yang menempatkan orang kaya (saja) yang mencalonkan diri mesti memberikan uang mahar ke partai, kepada petugas pengawas, dan bagi-bagi kepada rakyat miskin ditambah program semacam BLSM ini sungguh merusak martabat rakyat. Pendidikan bernegara yang sangat buruk.
Siapakah Target yang Tepat?
Dalam khasanah keuangan negara, semua program welfare dialokasikan dengan permanen selama target masih memiliki suatu sifat atau keadaan tertentu. Semua target dibatasi dan diatur dalam undang-undang atau peraturan yang rigid. Tentulah hal ini hanya dapat diimplementasikan dengan sistem administrasi yang baik dan matang.
Program welfare meliputi beberapa program, yaitu pensiun bagi manula, bantuan anak tergantung, bantuan pangan, bantuan kesehatan, bantuan keluarga sangat miskin, bantuan selama PHK dan belum menemukan pekerjaan baru, bantuan kecelakaan kerja, dan bantuan bencana alam. BLSM yang paling kontroversial mestinya digunakan untuk mengintroduksi pensiun. Bantuan ini sebaiknya diberikan bagi seluruh rakyat yang memasuki usia nonproduktif dan pantas mendapat kehormatan karena selama ini telah memberi sesuatu kepada negara secara langsung (membayar pajak) atau secara tidak langsung dengan jalan menjadi pekerja murah supaya ekonomi menjadi menarik bagi investor dan pertumbuhan menjadi tinggi.
Manula pantas menjadi sasaran BLSM dan seharusnya menjadi permanen selama mereka hidup. Manula sangat terukur karena usia tercantum dalam kartui dentitas yang kapan mulai mereka mendapat santunan tergantung dari harapan hidup dan berapa anggaran pemerintahtersedia. Jikaanggaran pemerintah tidak mencukupi, usia mulai mendapat santunan diundur mendekati harapan hidup rata-rata. Untuk Indonesia dengan harapan hidup 63 tahun, pensiun mungkin bisa diberikan pada 3 tahun terakhir.
Berapa besarannya, sekali lagi, tergantung dari alokasi uang pemerintah dan data kependudukan usia manula. Modernisasi, monetisasi, orientasi migrasi sudah memecah keluarga sedemikian rupa dan mungkin meninggalkan para manula tak terurus dengan baik. Dana bantuan manula (pensiun) yang tentu saja besarnya tak seberapa kurang lebih setara BLSM harus diberikan secara permanen sesuai dengan permasalahan manula yang tidak mungkin makin surut.
Program ini sebagai pengganti nilai tradisional keluarga besar (extended family) yang mulai luntur. Dan program ini menandai masuknya Indonesia menjadi negara modern. Pensiun bagi seluruh manula seterusnya, setelah dirintis dengan dana BBM ini, tentu saja akan menjadi bagian BPJS yang akan dimulai tahun depan. Barubaru ini DPR juga mengusulkan agar subsidi BBM yang masih diterima orang kaya diminta kembali dalam wujud pengembalian subsidi yang disatukan dengan pajak kendaraan bermotor.
Sebagaimana serangkaian tulisan kami di harian ini sebelumnya, pajak kendaraan untuk memungut kembali subsidi yang dinikmati suatu target group sangat feasible. Kendaraan bermotor merupakan sasaran yang terukur dan jelas serta sudah teradministrasi dengan baik. Memungut subsidi kembali dengan meningkatkan pajak kendaraan bermotor akan berakibat sebagai berikut. Pertama, tidak ada efek kenaikan harga umum yang mendorong meningkatnya angka kemiskinan.
Kedua, akan mengurangi laju konsumsi kendaraan dan sekaligus laju konsumsi BBM, meningkatkan kas di tangan masyarakat dan dapat mengalokasikannya di bidang investasi produktif, dan selanjutnya menurunkan pengangguran. Ketiga, dukungan politik luas karena mengenai si kaya saja. Keempat, kapasitas keuangan negara meningkat lagi dan dana program welfare akan dapat diperluas dan diperdalam.
Pelaksana Program Welfare
Di negara maju program welfare dilaksanakan oleh pemerintah lokal dan negara bagian, katakanlah provinsi. Memang kapasitas pemerintah daerah kita masih terbatas, tetapi mereka dapat diberdayakan dalam mengelola program ini. BLSM sudah memilih kantor pos untuk menyalurkan dan berarti program ini dilakukan tersentral.
Hal tersebut tentu mengurangi waktu belajar pemerintah daerah dalam mengelola program ini. Jika program ini akan diperluas dan diperdalam dengan sumber dana pajak kendaraan bermotor, pemerintah daerah diharapkan tetap menggunakan jasa perbankan daerah masing-masing. Dengan menggunakan jasa perbankan, politisasi bantuan ini dapat dikurangi dan lebih memberadabkan masyarakat (bawah).
Para kakek dan nenek di perdesaan dan kelompok miskin kota mungkin tidak mengenal buku tabungan perbankan atau ATM, tetapi cucu mereka yang sekarang (diasumsikan) sedang sekolah bisa membantu. Para cucu akan menaruh respek lebih baik dengan program semacam ini.
PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammdiyah Surakarta
Dana tersebut diperoleh dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang menyebabkan pemerintah memiliki kelebihan kas di tangan. Dari dana itu kemudian pemerintah mengalokasikan dana program welfare, antara lain untuk beras rakyat miskin, perbaikan perumahan, bantuan sekolah, kesehatan, dan yang paling kontroversial adalah BLSM alias Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. Pemerintah beberapa kali melakukan pemberian seperti ini setiap kali menaikkan harga BBM yang dulu disebut BLT.
Dua gubernur yang sangat penting, yaitu Gubernur DKI dan Jawa Tengah, terang-terangan menyampaikan sikap tidak mendukung program BLSM. Seperti namanya bantuan sementara, tentulah ini program dadakan yang tidak berbasis konsep dan implementasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Program dan anggaran ini semacam uang sogok pemerintah supaya rakyat terhibur sementara. Mengulangi program BLT, dimungkinkan bahwa mereka yang berada pada usia produktif (prime age) juga memperoleh dana ini. Hal demikian bersifat disinsentif karena mendidik rakyat usia produktif untuk memperoleh pembayaran tanpa imbal jasa.
Disinsentif semacam ini diperingatkan para ahli keuangan negara. Hal semacam ini juga merusak budaya bangsa yang menjunjung sikap perwira, harga diri rakyat sebagai insan bermartabat. Sistem politik selama reformasi yang menempatkan orang kaya (saja) yang mencalonkan diri mesti memberikan uang mahar ke partai, kepada petugas pengawas, dan bagi-bagi kepada rakyat miskin ditambah program semacam BLSM ini sungguh merusak martabat rakyat. Pendidikan bernegara yang sangat buruk.
Siapakah Target yang Tepat?
Dalam khasanah keuangan negara, semua program welfare dialokasikan dengan permanen selama target masih memiliki suatu sifat atau keadaan tertentu. Semua target dibatasi dan diatur dalam undang-undang atau peraturan yang rigid. Tentulah hal ini hanya dapat diimplementasikan dengan sistem administrasi yang baik dan matang.
Program welfare meliputi beberapa program, yaitu pensiun bagi manula, bantuan anak tergantung, bantuan pangan, bantuan kesehatan, bantuan keluarga sangat miskin, bantuan selama PHK dan belum menemukan pekerjaan baru, bantuan kecelakaan kerja, dan bantuan bencana alam. BLSM yang paling kontroversial mestinya digunakan untuk mengintroduksi pensiun. Bantuan ini sebaiknya diberikan bagi seluruh rakyat yang memasuki usia nonproduktif dan pantas mendapat kehormatan karena selama ini telah memberi sesuatu kepada negara secara langsung (membayar pajak) atau secara tidak langsung dengan jalan menjadi pekerja murah supaya ekonomi menjadi menarik bagi investor dan pertumbuhan menjadi tinggi.
Manula pantas menjadi sasaran BLSM dan seharusnya menjadi permanen selama mereka hidup. Manula sangat terukur karena usia tercantum dalam kartui dentitas yang kapan mulai mereka mendapat santunan tergantung dari harapan hidup dan berapa anggaran pemerintahtersedia. Jikaanggaran pemerintah tidak mencukupi, usia mulai mendapat santunan diundur mendekati harapan hidup rata-rata. Untuk Indonesia dengan harapan hidup 63 tahun, pensiun mungkin bisa diberikan pada 3 tahun terakhir.
Berapa besarannya, sekali lagi, tergantung dari alokasi uang pemerintah dan data kependudukan usia manula. Modernisasi, monetisasi, orientasi migrasi sudah memecah keluarga sedemikian rupa dan mungkin meninggalkan para manula tak terurus dengan baik. Dana bantuan manula (pensiun) yang tentu saja besarnya tak seberapa kurang lebih setara BLSM harus diberikan secara permanen sesuai dengan permasalahan manula yang tidak mungkin makin surut.
Program ini sebagai pengganti nilai tradisional keluarga besar (extended family) yang mulai luntur. Dan program ini menandai masuknya Indonesia menjadi negara modern. Pensiun bagi seluruh manula seterusnya, setelah dirintis dengan dana BBM ini, tentu saja akan menjadi bagian BPJS yang akan dimulai tahun depan. Barubaru ini DPR juga mengusulkan agar subsidi BBM yang masih diterima orang kaya diminta kembali dalam wujud pengembalian subsidi yang disatukan dengan pajak kendaraan bermotor.
Sebagaimana serangkaian tulisan kami di harian ini sebelumnya, pajak kendaraan untuk memungut kembali subsidi yang dinikmati suatu target group sangat feasible. Kendaraan bermotor merupakan sasaran yang terukur dan jelas serta sudah teradministrasi dengan baik. Memungut subsidi kembali dengan meningkatkan pajak kendaraan bermotor akan berakibat sebagai berikut. Pertama, tidak ada efek kenaikan harga umum yang mendorong meningkatnya angka kemiskinan.
Kedua, akan mengurangi laju konsumsi kendaraan dan sekaligus laju konsumsi BBM, meningkatkan kas di tangan masyarakat dan dapat mengalokasikannya di bidang investasi produktif, dan selanjutnya menurunkan pengangguran. Ketiga, dukungan politik luas karena mengenai si kaya saja. Keempat, kapasitas keuangan negara meningkat lagi dan dana program welfare akan dapat diperluas dan diperdalam.
Pelaksana Program Welfare
Di negara maju program welfare dilaksanakan oleh pemerintah lokal dan negara bagian, katakanlah provinsi. Memang kapasitas pemerintah daerah kita masih terbatas, tetapi mereka dapat diberdayakan dalam mengelola program ini. BLSM sudah memilih kantor pos untuk menyalurkan dan berarti program ini dilakukan tersentral.
Hal tersebut tentu mengurangi waktu belajar pemerintah daerah dalam mengelola program ini. Jika program ini akan diperluas dan diperdalam dengan sumber dana pajak kendaraan bermotor, pemerintah daerah diharapkan tetap menggunakan jasa perbankan daerah masing-masing. Dengan menggunakan jasa perbankan, politisasi bantuan ini dapat dikurangi dan lebih memberadabkan masyarakat (bawah).
Para kakek dan nenek di perdesaan dan kelompok miskin kota mungkin tidak mengenal buku tabungan perbankan atau ATM, tetapi cucu mereka yang sekarang (diasumsikan) sedang sekolah bisa membantu. Para cucu akan menaruh respek lebih baik dengan program semacam ini.
PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammdiyah Surakarta
(hyk)