Pseudo Judicial Review
A
A
A
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), baik secara teoretis maupun historis dilatarbelakangi oleh perkembangan konsep dan praktik judicial review(JR) yaitu kewenangan pengadilan untuk menguji suatu produk hukum.
JR merupakan konsekuensi dari prinsip negara hukum (nomokrasi) yang dijalankan beriringan dengan prinsip negara demokrasi.
Salah satu ciri negara hukum modern adalah dianutnya prinsip supremasi konstitusi. Untuk mengawal supremasi konstitusi diperlukan kewenangan pengadilan untuk menilai konsistensi suatu produk hukum terhadap produk hukum yang lebih tinggi dan berpuncak pada konstitusi.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran ketika MA Amerika Serikat memutus kasus Marbury vs Madison yang menandai kelahiran kewenangan JR serta usulan Hans Kelsen tentang perlunya pengadilan khusus untuk mengawal konstitusi.
Dalam perkembangan JR juga ditempatkan sebagai salah satu instrumen saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antar cabang kekuasaan dalam negara, khususnya antara kekuasaan pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan.
Dalam skala yang lebih luas JR menjadi instrumen bagi warga negara untuk menggugat produk hukum yang dibuat negara jika hukum tersebut merugikan hak konstitusional warga negara.
***JR di Indonesia mengalami perkembangan signifikan sejak pembentukan MK pada 2003. Kewenangan MK yang sering disebut sebagai JR adalah kewenangan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (PUU).
Melalui kewenangan ini, MK melakukan pengujian terhadap suatu undang-undang atau suatu ketentuan dalam undangundang yang didalilkan pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Jika MK menilai bahwa ketentuan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, MK akan menyatakan ketentuan dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Final berarti merupakan putusan pertama dan terakhir, tidak ada upaya hukum lagi sehingga berkekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam sidang pengucapan putusan.
Sejak saat itu pula putusan MK berlaku mengikat. Sesuai objek perkara berupa peraturan berisi norma hukum, yang memiliki ciri umum dan abstrak, putusan MK mengikat umum (erga omnes), tidak hanya mengikat para pihak yang beperkara.
*** Selain wewenang memutus PUU, UUD 1945 juga memberikan kepada MK wewenang lain yaitu memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara (SKLN), pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu (PHPU), dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum presiden dan atau wakil presiden. Wewenang yang telah dijalankan MK sesuai perkara yang diterima adalah PUU, SKLN, dan PHPU.
Dari praktik penanganan perkara dan putusan terhadap tiga jenis perkara tersebut, JR tidak hanya terdapat pada perkara PUU, tetapi unsur-unsurnya juga terdapat pada perkara SKLN dan PHPU.
Dalam dua perkara tersebut MK secara tidak langsung melakukan JR, yang dalam istilah hakim konstitusi Haryono disebut sebagai pseudo judicial review.
Perkara SKLN merupakan perkara sengketa konstitusional antarlembaga negara dalam ”perebutan” atau ”ketidakjelasan” wewenang antara satu lembaga dan lembaga negara lain.
Setiap lembaga negara dalam menjalankan wewenang dan berhubungan dengan lembaga negara lain tentu memiliki dasar hukum yang diatur dalam UUD 1945. Karena itu, akar masalah SKLN biasanya terletak pada UU.
MK dalam memutus perkara ini akan merujuk pada UUD 1945 untuk menentukan garis konstitusional kewenangan lembaga negara yang bersengketa. Dengan sendirinya MK melakukan reviu terhadap UU yang menjadi dasar pelaksanaan wewenang lembaga negara yang bersengketa, apakah telah sesuai garis konstitusi atau sebaliknya, tidak konsisten dengan konstitusi.
Dengan demikian, walaupun putusan SKLN merupakan putusan terhadap perkara konkret sengketa antara dua atau lebih lembaga negara, putusan itu terkait aturan yang bersifat abstrak dan umum.
Karena itu, putusan SKLN memiliki sifat sebagai putusan JR yang mengikat umum, bukan hanya mengikat lembaga negara yang bersengketa. Apalagi dikaitkan dengan sifat putusan yang final sehingga pada saat diucapkan sudah berlaku sebagai hukum positif yang harus dijadikan dasar, baik untuk putusan maupun pembentukan hukum selanjutnya.
Pseudojudicial review juga terdapat dalam putusan-putusan PHPU. Sebagai instrumen utama pelaksanaan demokrasi, penyelenggaraan pemilu diatur dalam beberapa UU.
Pada saat memeriksa perkara PHPU, MK tentu menggunakan berbagai UU yang terkait penyelenggaraan pemilu sebagai dasar memutus. Kendati demikian, sebagai pengadilan konstitusi, MK tetap harus menempatkan konstitusi sebagai pedoman utama.
Pada saat MK menemukan ketidaksesuaian antara UU yang mendasari pelaksanaan pemilu dan konstitusi, MK dengan sendirinya akan mereviu UU tersebut.
Beberapa putusan PHPU yang di dalamnya MK juga mereviu UU antara lain dapat dilihat pada putusan MK yang membolehkan pengajuan sengketa antarcalon anggota legislatif dalam satu partai politik dengan syarat diajukan oleh DPP partai politik yang bersangkutan.
Padahal dalam UU yang dimaksud dengan PHPU adalah sengketa antara peserta pemilu dan penyelenggara pemilu.
Pemberian legal standing kepada bakal calon kepala daerah. Padahal dalam UU, legal standing hanya dimiliki pasangan calon kepala daerah.
Di samping itu, walaupun objek PHPU di dalam UU hanya terkait perbedaan hasil penghitungan suara, berdasarkan putusan MK, objek permohonan dapat berupa dalil telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
Putusan-putusan MK yang secara tidak langsung mereviu dan bahkan ”mengubah” ketentuan dalam UU tersebut dijatuhkan saat MK berpandangan bahwa ketentuan UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945.
Sepanjang terkait hasil pemilu memang seolah-olah hanya mengikat para pihak yaitu penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pihak lain yang terkait pelaksanaan putusan MK.
Namun, terkait dengan reviu yang dilakukan secara tidak langsung atas ketentuan UU, baik dalam perkara PHPU maupun SKLN, akan memiliki sifat mengikat umum (erga omnes).
Artinya, hukum in concreto yang telah dibuat MK harus dipatuhi dan dilaksanakan semua pihak sebagaimana MK juga selalu menjadikan putusannya sebagai rujukan dalam putusan selanjutnya.
**** Pseudo judicial reviewadalah pengujian UU terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh MK bukan melalui perkara PUU, melainkan saat memeriksa dan memutus perkara lain yaitu perkara PHPU dan SKLN. Pseudo judicial review adalah pengujian konstitusionalitas secara tidak langsung terhadap ketentuan UU.
Karena dilakukan bukan dalam perkara PUU, tentu saja amar putusan MK tidak akan menyatakan bahwa ketentuan UU tertentu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pendapat dan reviu MK ini biasanya terdapat pada bagian pertimbangan hukum putusan, khususnya pendapat mahkamah yang mendasari putusan (ratio decidendi).
Walaupun tidak menjadi amar putusan, pseudo judicial review memiliki kekuatan mengikat, sejajar dengan putusan JR dalam PUU.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumni Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang
JR merupakan konsekuensi dari prinsip negara hukum (nomokrasi) yang dijalankan beriringan dengan prinsip negara demokrasi.
Salah satu ciri negara hukum modern adalah dianutnya prinsip supremasi konstitusi. Untuk mengawal supremasi konstitusi diperlukan kewenangan pengadilan untuk menilai konsistensi suatu produk hukum terhadap produk hukum yang lebih tinggi dan berpuncak pada konstitusi.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran ketika MA Amerika Serikat memutus kasus Marbury vs Madison yang menandai kelahiran kewenangan JR serta usulan Hans Kelsen tentang perlunya pengadilan khusus untuk mengawal konstitusi.
Dalam perkembangan JR juga ditempatkan sebagai salah satu instrumen saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antar cabang kekuasaan dalam negara, khususnya antara kekuasaan pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan.
Dalam skala yang lebih luas JR menjadi instrumen bagi warga negara untuk menggugat produk hukum yang dibuat negara jika hukum tersebut merugikan hak konstitusional warga negara.
***JR di Indonesia mengalami perkembangan signifikan sejak pembentukan MK pada 2003. Kewenangan MK yang sering disebut sebagai JR adalah kewenangan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (PUU).
Melalui kewenangan ini, MK melakukan pengujian terhadap suatu undang-undang atau suatu ketentuan dalam undangundang yang didalilkan pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Jika MK menilai bahwa ketentuan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, MK akan menyatakan ketentuan dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Final berarti merupakan putusan pertama dan terakhir, tidak ada upaya hukum lagi sehingga berkekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam sidang pengucapan putusan.
Sejak saat itu pula putusan MK berlaku mengikat. Sesuai objek perkara berupa peraturan berisi norma hukum, yang memiliki ciri umum dan abstrak, putusan MK mengikat umum (erga omnes), tidak hanya mengikat para pihak yang beperkara.
*** Selain wewenang memutus PUU, UUD 1945 juga memberikan kepada MK wewenang lain yaitu memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara (SKLN), pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu (PHPU), dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum presiden dan atau wakil presiden. Wewenang yang telah dijalankan MK sesuai perkara yang diterima adalah PUU, SKLN, dan PHPU.
Dari praktik penanganan perkara dan putusan terhadap tiga jenis perkara tersebut, JR tidak hanya terdapat pada perkara PUU, tetapi unsur-unsurnya juga terdapat pada perkara SKLN dan PHPU.
Dalam dua perkara tersebut MK secara tidak langsung melakukan JR, yang dalam istilah hakim konstitusi Haryono disebut sebagai pseudo judicial review.
Perkara SKLN merupakan perkara sengketa konstitusional antarlembaga negara dalam ”perebutan” atau ”ketidakjelasan” wewenang antara satu lembaga dan lembaga negara lain.
Setiap lembaga negara dalam menjalankan wewenang dan berhubungan dengan lembaga negara lain tentu memiliki dasar hukum yang diatur dalam UUD 1945. Karena itu, akar masalah SKLN biasanya terletak pada UU.
MK dalam memutus perkara ini akan merujuk pada UUD 1945 untuk menentukan garis konstitusional kewenangan lembaga negara yang bersengketa. Dengan sendirinya MK melakukan reviu terhadap UU yang menjadi dasar pelaksanaan wewenang lembaga negara yang bersengketa, apakah telah sesuai garis konstitusi atau sebaliknya, tidak konsisten dengan konstitusi.
Dengan demikian, walaupun putusan SKLN merupakan putusan terhadap perkara konkret sengketa antara dua atau lebih lembaga negara, putusan itu terkait aturan yang bersifat abstrak dan umum.
Karena itu, putusan SKLN memiliki sifat sebagai putusan JR yang mengikat umum, bukan hanya mengikat lembaga negara yang bersengketa. Apalagi dikaitkan dengan sifat putusan yang final sehingga pada saat diucapkan sudah berlaku sebagai hukum positif yang harus dijadikan dasar, baik untuk putusan maupun pembentukan hukum selanjutnya.
Pseudojudicial review juga terdapat dalam putusan-putusan PHPU. Sebagai instrumen utama pelaksanaan demokrasi, penyelenggaraan pemilu diatur dalam beberapa UU.
Pada saat memeriksa perkara PHPU, MK tentu menggunakan berbagai UU yang terkait penyelenggaraan pemilu sebagai dasar memutus. Kendati demikian, sebagai pengadilan konstitusi, MK tetap harus menempatkan konstitusi sebagai pedoman utama.
Pada saat MK menemukan ketidaksesuaian antara UU yang mendasari pelaksanaan pemilu dan konstitusi, MK dengan sendirinya akan mereviu UU tersebut.
Beberapa putusan PHPU yang di dalamnya MK juga mereviu UU antara lain dapat dilihat pada putusan MK yang membolehkan pengajuan sengketa antarcalon anggota legislatif dalam satu partai politik dengan syarat diajukan oleh DPP partai politik yang bersangkutan.
Padahal dalam UU yang dimaksud dengan PHPU adalah sengketa antara peserta pemilu dan penyelenggara pemilu.
Pemberian legal standing kepada bakal calon kepala daerah. Padahal dalam UU, legal standing hanya dimiliki pasangan calon kepala daerah.
Di samping itu, walaupun objek PHPU di dalam UU hanya terkait perbedaan hasil penghitungan suara, berdasarkan putusan MK, objek permohonan dapat berupa dalil telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
Putusan-putusan MK yang secara tidak langsung mereviu dan bahkan ”mengubah” ketentuan dalam UU tersebut dijatuhkan saat MK berpandangan bahwa ketentuan UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945.
Sepanjang terkait hasil pemilu memang seolah-olah hanya mengikat para pihak yaitu penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pihak lain yang terkait pelaksanaan putusan MK.
Namun, terkait dengan reviu yang dilakukan secara tidak langsung atas ketentuan UU, baik dalam perkara PHPU maupun SKLN, akan memiliki sifat mengikat umum (erga omnes).
Artinya, hukum in concreto yang telah dibuat MK harus dipatuhi dan dilaksanakan semua pihak sebagaimana MK juga selalu menjadikan putusannya sebagai rujukan dalam putusan selanjutnya.
**** Pseudo judicial reviewadalah pengujian UU terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh MK bukan melalui perkara PUU, melainkan saat memeriksa dan memutus perkara lain yaitu perkara PHPU dan SKLN. Pseudo judicial review adalah pengujian konstitusionalitas secara tidak langsung terhadap ketentuan UU.
Karena dilakukan bukan dalam perkara PUU, tentu saja amar putusan MK tidak akan menyatakan bahwa ketentuan UU tertentu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pendapat dan reviu MK ini biasanya terdapat pada bagian pertimbangan hukum putusan, khususnya pendapat mahkamah yang mendasari putusan (ratio decidendi).
Walaupun tidak menjadi amar putusan, pseudo judicial review memiliki kekuatan mengikat, sejajar dengan putusan JR dalam PUU.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumni Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang
(lns)